Suaramuslim.net – Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren sudah disahkan anggota DPR. Jika elite PBNU dan PKB telah sepakat, maka tidak dengan persyarikatan Muhammadiyah. Hingga tulisan ini terbit, belum terdengar nada keberatan dari Pengelola Pesantren Al-Zaytun di Indramayu, ma’had orang-orang Salafi dan Pesantren Syiah (YAPI Bangil).
“Muhammadiyah berkeberatan dengan definisi pesantren yang ada dalam UU. Selain itu ada banyak pasal lain yang harus diubah sebagai turunan dari definisi pesantren tersebut,” ujar Abdul Mu’ti seperti diwartakan Detik.com (20/9/2019).
Jejak Muhammadiyah dalam membangun lembaga pendidikan informal ditunjukkan melalui pondok pesantren, boarding school dan pondok tahfiz. Boarding School di Muhammadiyah sebutannya “Muhammadiyah Boarding School” (MBS). Pondok Tahfiz Quran milik Muhammadiyah bisa dijumpai di Yogyakarta dan Ngantang, Kabupaten Malang.
Ciri Khas Pesantren Muhammadiyah
Pondok pesantren Muhammadiyah tersebar di sejumlah kota dan kabupaten. Ponpes Modern Muhammadiyah Kwala Madu di Kabupaten Langkat, Ponpes Darul Arqom, Metro, Lampung, Pesantren Darul Arqam di Garut, Ponpes Muhammadiyah At-Tajdid di Cepu, Ponpes Modern Imam Syuhodo, Kabupaten Sukoharjo, Pesantren Sains (Trensains) di Sragen, Ponpes Muhammadiyah Kudus, Ponpes Muhammadiyah al-Munawwaroh, kota Malang, Pesantren Muhammadiyah di Ponorogo hingga Ponpes Modern Muhammadiyah al-Furqon di Banjarmasin.
Pondok pesantren Muhammadiyah punya ciri khas yang perlu diketahui orang awam. Ditinjau dari status kepemilikan, pesantren adalah amal usaha Muhammadiyah (AUM), di bawah supervisi pengurus cabang dan pengurus daerah Muhammadiyah (PDM).
Pola kepemimpinan pesantren Muhammadiyah tak seperti di pesantren yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama (NU). Di Muhammadiyah, kepemimpinan bersifat kolektif. Ada direktur (Mudir) dan dewan pengasuh yang dibatasi durasi waktu seperti halnya jabatan presiden dan kepala daerah. Sewaktu-waktu bisa diberhentikan di tengah jalan. Entah di demonstrasi santri atau dianggap PDM tak membawa kemajuan dan perubahan positif bagi pesantren.
Mudir dan pengasuh pesantren pastilah kader Muhammadiyah. Di pesantren Muhammadiyah Ponorogo dan kota Malang, pengasuhnya tergabung ke dalam Korps Muballigh Muhammadiyah. Selain itu berdasar Pedoman Islami Warga Muhammadiyah, pengasuh, guru hingga karyawan berhak mendapat gaji yang layak. Tradisi menggaji pengasuh jelas berbeda dengan kultur pesantren yang berafiliasi dengan NU.
Sebagian besar Pesantren Muhammadiyah berjenis “khalaf” bukan salaf. Dari cikal bakal pendirian, Pesantren Muhammadiyah ada yang berbentuk “pesantren yang ada sekolahnya” dan “sekolah yang ada pesantrennya.” Jenis pertama dilengkapi Madrasah Diniyah (Madin) seperti Pesantren Al-Munawwaroh kota Malang. Sementara jenis kedua seperti Pesantren Muhammadiyah, Balong, Ponorogo dan SPEAM Pasuruan. Pelajaran Madin dipisah dari kurikulum yang dirilis pemerintah.
Ciri khas berikutnya, sebagian pesantren Muhammadiyah terdapat unit panti asuhan. Panti asuhan ini memberi beasiswa bukan hanya bagi keluarga berlatar Muhammadiyah, tetapi bagi masyarakat umum. Ditinjau struktur kurikulum, selain Madin, pesantren Muhammadiyah dilengkapi Kemuhammadiyahan, Hizbul Wathan serta Tapak Suci.
Ritual keagamaan di pesantren Muhammadiyah mudah dikenali. Salat Subuh tanpa qunut, tidak ada ritual tahlilan, bahkan tradisi peringatan haul pendiri dan pengasuh pesantren. Pengasuh Pesantren Muhammadiyah tidak punya wiridan khusus dan amaliah tarekat Sufi sebagaimana dikenal pada pengasuh pesantren yang berafiliasi ke NU. Apakah Muhammadiyah anti tasawuf? Menjawab hal ini perlu artikel tersendiri.
Fasilitas di pesantren Muhammadiyah tergantung kondisi finansial dan pola manajemen pesantren. Menu makan tak berbeda dengan pesantren Salaf. Tempe penyet, tahu, sayur lodeh, hingga telur dadar. Kamar tidur tidaklah semewah Pondok Pesantren Amanatul Ummah, Pacet, Mojokerto.
Di dalam area pesantren Muhammadiyah takkan ditemukan area pemakaman pendiri dan keluarga pengasuh seperti di Pesantren Lirboyo, Tebuireng, Al-Amien di Sumenep dan Pesantren Darussalam Gontor. Sebabnya karena durasi kepemimpinan mudir dan pengasuh yang bersifat sementara.
Terakhir, saran bagi Persyarikatan Muhammadiyah. Pertama, bentuklah majelis yang khusus menangani pondok pesantren. Tidak sama antara mengembangkan universitas, sekolah dengan pesantren. Pesantren lebih rumit. Orang-orang yang duduk di majelis ini wajib berlatar pesantren. Kalau mengandalkan supervisi PCM dan majelis Dikdasmen di PDM, jelas tidak maksimal.
Kedua, perlu diperjelas misi didirikannya suatu pondok pesantren? Mencetak kiai yang faqih atau sekadar kader biasa. Sebaiknya fokus pada mencetak kiai, pasalnya di persyarikatan terjadi kelangkaan. Penceramah sudah banyak, sementara masih langka kiai yang faqih.
Ketiga, pesantren Muhammadiyah harus mengikis budaya memperalat santri. Contohnya santriwati disuruh mencucikan pakaian bu Nyai, menjadi juru kampanye caleg berlatar Muhammadiyah hingga diminta menjaga hewan peliharaan milik kiai. Budaya seperti ini bertentangan dengan slogan ‘Islam berkemajuan’. Wallahu a’lam.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net