Suaramuslim.net – Bom bunuh diri biasanya terjadi di daerah konflik, utamanya yang fokus membela tanah air dari penjajah dan bisa juga di daerah yang awalnya damai sentosa. Namun karena motif jahat yang dilakukan segelintir orang, lantas berubahlah daerah damai itu menjadi daerah mencekam bagi warga yang berdomisili di sana.
Bom yang diledakkan di daerah yang aman dan damai tentu perbuatan biadab. Di kawasan Timur tengah, peristiwa bom bunuh diri dianggap tertinggi di dunia. Terlebih lagi pasca tragedi WTC 11 September. Kasus bom bunuh diri paling menghebohkan adalah bom bunuh diri yang dilakukan ekspatriat asal Inggris di kota Madinah. Tercatat 6 orang dinyatakan meninggal dunia (Arabnews.com, 5 Juli 2016).
Perlu diketahui pembaca laman Suaramuslim.net, selama tahun 2000 hingga 2004, terdapat 472 serangan bom bunuh diri di 22 negara. Menewaskan lebih dari 7.000 orang dan melukai puluhan ribu orang. Dalam bukunya The Moral Logic and Growth of Suicide Terrorism, (2006), Scott Atran mengutip analisis dari ilmuwan politik Universitas Chicago, Robert Pape bahwa “95 persen peristiwa bom bunuh diri bukan karena motif agama, melainkan motif politis.”
Di Indonesia, bom bunuh diri sudah tak terhitung lagi. Mulai bom Bali (jilid 2), Bom hotel JW Marriot yang menewaskan salah satu petinggi semen PT. Holcim hingga bom bunuh diri yang dilakukan satu keluarga di Surabaya. Akan tetapi ada orang ngawur, kengawurannya melebihi aktor peledakan bom di Bali dan hotel JW Marriot, Jakarta. Pelaku ini meledakkan diri di Masjid Mapolresta Cirebon tahun 2011. Bom yang diledakkan ketika salat Jumat ini menewaskan sang pelaku dan melukai beberapa jamaah lainnya.
Baru-baru ini, oknum pengendara ojek online meledakkan diri di Polrestabes Medan. Menurut keterangan polisi seperti diwartakan laman Kompas (13/11/2019), para korban masih menjalani perawatan intensif. Sementara itu, pelaku bom bunuh diri, RMN, dinyatakan tewas di tempat kejadian.
Sekilas jika melihat contoh-contoh tragedi bom bunuh diri di atas, wajar jika berasumsi bahwa orang awam mengira muslim menjadi pelopornya. Padahal sebetulnya bukan. Disebutkan dalam Terrorist Suicide Bombings: Attack Interdiction, Mitigation, and Response, (CRC Press, 2012), bahwa peristiwa bom bunuh diri pertama terjadi tahun 1881. Saat mengemudi di salah satu jalan utama St. Petersburg, Alexander Czar II dari Rusia terluka parah karena ledakan granat dan meninggal beberapa jam setelah itu.
“Czar dibunuh oleh Ignacy Hryniewiecki (1856-1881) yang langsung tewas saat meledakkan diri bersama granat yang ia bawa.” Bom bunuh diri yang menimpa Czar lebih ke motif politis. Tidak seperti yang dilakukan pejuang Palestina dan pelaku bom bunuh diri di Cirebon.
Di dalam fikih klasik, belum ada pembahasan hukum bom bunuh diri (suicide bombing). Saya ingat akan memoar Ali Imron Sang Pengebom (Penerbit Republika, 2007). Terpidana seumur hidup kasus bom Bali (Jilid 1) itu punya pandangan bahwa “melakukan bom bunuh diri atau menyerang dengan cara bunuh diri seperti yang terjadi pada bom Bali dan JW Marriott atau pada aksi semisal itu adalah tidak pada tempatnya, maka tidak bisa dibenarkan. Adapun bagi yang melakukan bom bunuh diri yang sudah meninggal dunia, siapa pun tidak ada yang mengetahui keadaan mereka yang sesungguhnya kecuali Allah saja.”
Syeikh Yusuf Al-Qardhawi seperti diungkap M. Hashim Kamali dalam buku Membumikan Syariah (2013), membolehkan pemboman bunuh diri oleh pejuang Palestina. Menurut beliau, hal itu merupakan tindakan pengorbanan (‘amaliyyat fida’iyyah). Bukan hanya Qardhawi yang membolehkan, Prof. Muhammad at-Thanthawi, syeikh di Al-Azhar membolehkan bom bunuh diri jika musuh menargetkan penduduk sipil, dikategorikan sebagai jihad dan kematian untuk tujuan terhormat.
Akhir kata, bagi yang berminat melakukan bom bunuh diri, sebaiknya mengurungkan niatnya. Alangkah baiknya sisa umur digunakan untuk menebar kebaikan kepada orang sekitar. Wallahu a’lam.
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net