Suaramuslim.net – Isra Mikraj merupakan salah satu terminal paling penting dalam sirah Nabiyullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan bahkan dalam perjalanan dakwah Islam sepanjang masa seluruhnya. Karena tak berselang lama setelah peristiwa ini terbentang lebar jalan kemenangan dakwah Islam, dengan terjadinya bai’atul aqabah I dan II dengan para pioner Islam dari generasi pertama sahabat Anshar, yang akhirnya berbuah hijrah Islam secara total dan menyeluruh dari Mekkah ke Madinah.
Peristiwa fenomenal dalam sejarah dakwah Baginda Sayyidina Rasulillah, biasa di-hari raya-kan dan diperingati oleh kaum muslimin pada setiap tanggal 27 Rajab. Padahal yang penting bahkan yang terpenting dari Isra Mikraj dan dari setiap momen sirah yang lain, bukanlah peng-hari raya-an dan peringatannya. Melainkan bagaimana dan apa yang harus serta bisa kita ambil darinya, berupa ibrah, hikmah, pelajaran, makna, pesan, misi dan semacamnya, bagi keimanan, keislaman, perjuangan dakwah, dan kehidupan kita secara umum.
Karena meskipun telah disepakati di antara seluruh ulama Islam sepanjang sejarah akan kebenaran dan kepastian kejadiannya, tapi di saat yang sama terdapat perbedaan dan perselisihan pendapat yang sangat lebar dan banyak terkait penentuan waktu Isra Mikraj. Dan itu tidak hanya tentang hari atau tanggal dan bulannya, melainkan juga terkait dengan tahun terjadinya peristiwa dahsyat dan luar biasa tersebut.
Memang semua telah berijma’ bahwa, Isra Mikraj terjadi sebelum hijrah ke Madinah. Namun kapan tepatnya sebelum hijrah itu? Tidak ada yang bisa memastikannya di sini. Dan jarak perbedaan pandangan para ulama sangatlah luas sekali. Mulai dari pendapat bahwa, Isra Mikraj dialami oleh Nabi tercinta shallallahu alaihi wasallam pada tahun pertama diangkat menjadi nabi dan rasul (pilihan Imam Ath-Thabari), sampai mazhab yang mengatakan bahwa ia terjadi satu tahun sebelum peristiwa hijrah, yakni pada bulan Rabiul Awwal tahun 13 Kenabian.
Selebihnya ada pendapat-pendapat lain yang mentarjih bahwa Isra Mikraj terjadi pada tahun ke-5 kenabian (tarjih Imam An-Nawawi dan Al-Qurthubi), atau pada tanggal 27 Rajab tahun 10 kenabian (pilihan Al-Manshurfuri, ulama India), atau pada bulan Ramadhan tahun 12 kenabian, atau pada Muharram tahun 13 kenabian (lihat Ar-Rahiq Al-Makhtum, hal: 124) atau mungkin juga masih ada pendapat-pendapat lainnya lagi.
Dan karena tidak adanya dalil sahih (kuat) yang sarih (tegas), maka tidak bisa dipilih secara meyakinkan mana di antara pendapat-pendapat di atas yang paling kuat. Melainkan mungkin hanya bisa ditarjih secara umum dan global saja bahwa, Isra Mikraj terjadi sebelum hijrah pada akhir tahun 10 kenabian atau sesudahnya. Karena Ummul Mukminin Khadijah radhiyallahu anha wafat pada bulan Ramadhan tahun 10 kenabian, dan itu sebelum diwajibkannya salat fardhu 5 waktu.
Padahal tidak ada perselisihan bahwa, perintah pewajiban salat fardhu tersebut adalah pada malam Isra Mikraj!
Jadi sekali lagi, yang terpenting dan bahkan yang penting dari kejadian Isra Mikraj bukanlah penentuan tanggal, hari, bulan dan tahunnya, juga bukan perayaan dan peringatannya. Melainkan yang penting dan terpenting adalah ibrah, hikmah, pelajaran, makna, pesan, misi, dan semacamnya, yang bisa dan harus kita ambil darinya, bagi keimanan, keislaman, perjuangan dakwah, dan juga kehidupan kita secara umum.
Maka mari selalu fokus pada aspek-aspek ini saat menyikapi setiap penggal peristiwa penting dan momen istimewa dari sirah dan sejarah!
Isra Mikraj terjadi pada saat beban tekanan perjuangan dakwah terhadap Rasulullah dan juga para sahabat, telah benar-benar sampai dan mencapai puncaknya pada periode Mekkah. Khususnya denga gugurnya dua sosok terpenting dan terdekat bagi Baginda Nabi, yang sekaligus merupakan dua orang penyangga utama dakwah, yakni istri tercinta Ummul Mukminin Khadijah radhiyallahu anha dan pamanda Beliau Abu Thalib.
Sampai-sampai tahun 10 kenabian di saat Khadijah dan Abu Thalib wafat secara hampir berbarengan, dikenal sebagai ‘amul huzn, yakni tahun kesedihan khususnya bagi Sang Rasul mulia dan umumnya bagi sahabat setia radhiyallahu anhum.
Maka waktu dinaikkan ke langit tujuh dan Sidratil Muntaha itu, ibaratnya Nabi tercinta kita membawa akumulasi dan tumpukan seluruh beban persoalan hidup dan ujian perjuangan dakwah dari muka bumi. Dan begitu Nabi diturunkan kembali dari langit tertinggi ke bumi, langsung di malam berkah itu pula, dengan antara lain membawa syariah salat fardhu lima waktu, semua beban masalah itu pun lepaslah sudah.
Jadi hikmahnya, Rasululullah di-isra’ mi’raj-kan, dengan kehendak agung Allah langsung bukan oleh keinginan dan rencara Nabi sendiri, adalah untuk “dihibur” dan sekaligus diberi solusi tuntas atas beragam beban persoalan hidup dan problematika dakwah di bumi.
Oleh karena itu, saat ada masalah, persoalan dan problem apa pun dalam hidup ini, janganlah pernah sekali-kali berpikir untuk mencari dan menemukan solusinya dari bumi pula. Melainkan adukanlah semua beban masalah, persoalan dan problem hidup itu kepada Dzat Yang di atas. Dan temukanlah solusi pada tatanan yang diturunkan dari langit. Sedangkan langkah mencari solusi masalah bumi dari bumi pula, tak akan pernah menyelesaikannya, melainkan justru hanya akan menambah banyak masalah dan semakin merunyamkannya.
Soalnya, bumi ini memang dicipta, diadakan dan dikehendaki sebagai tempat masalah. Sedangkan solusi bagi semua, adanya justru di langit dan pada apa yang bersumber dari langit. Bahkan termasuk rezeki kita pun ada di langit. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan di langitlah terdapat rezekimu, dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang itu adalah benar seperti perkataan yang kamu ucapkan” (QS. Adz-Dzariyat: 22-23).
Sebagai oleh-oleh utama dari rihlah (perjalanan) bumi-langit yang penuh berkah, ibadah salat juga ibarat mikraj bagi setiap mukmin untuk menuju, menghadap dan mengadu kepada Allah. Dan boleh jadi karena begitu istimewanya cara pensyariatan itulah, maka salat memiliki kedudukan yang sangat istimewa pula di antara seluruh kewajiban fardhu Islam.
Di samping penempatannya di urutan kedua langsung setelah dua kalimat syahadat, di antara lima rukun Islam, salat adalah merupakan rukun amal dan ibadah paling vital, sebagai parameter utama dan pertama ketakwaan serta kesalehan setiap muslim, dan sekaligus di saat yang sama juga menjadi benteng terakhir pertahanan keislaman seseorang.
Maka Allah-pun berfirman (yang artinya): “Jadikanlah sabar dan salat sebagai wasilah penolongmu (dalam segala kepentingan dan urusan). Sungguh salat itu berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (baik dalam salat secara khsusus, maupun dalam hidup secara umum) (QS. Al-Baqarah: 45).
Sementara itu Rasululullah bersabda (yang artinya): “Kumandangkanlah iqamah wahai Bilal. Dan buatlah kita rehat dengan salat” (HR. Abu Dawud dan lain-lain).
Beliau shallallahu alaihi wasallam juga bersabda (yang artinya): “Dan dijadikanlah penyejuk hatiku di dalam salat” (HR. An-Nasai dan lain-lain).
Nah, bila rehat-nya Rasululullah dan juga ketenteraman serta kesejukan hati Beliau, adalah justru di dalam salat, lalu perenungannya adalah, serehat apa, setenteram apa dan sesejuk apa hati kita saat bermunajat kepada Allah Ta’ala dalam setiap salat kita?
Sebagai penutup perenungan Isra Mikraj ini, penting diingatkan bahwa, derajat maqam tertinggi seorang hamba di sisi Allah, adalah maqam totalitas ‘ubudiyah (penghambaan diri kepada-Nya). Karenanya, saat di-isra’ mi’raj-kan untuk bertemu, menghadap dan berdalog langsung dengan Allah di langit ketujuh dan Sidratil Muntaha itu, Rasululullah shallallahu alaihi wasallam justru disebut dengan julukan ‘abdihi (hamba-Nya).
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net
