Suaramuslim.net – Sunan Ampel menjadi guru bagi Sunan – Sunan sesudahnya. Salah satu metode dakwahnya, Sunan Ampel menikahkan para keluarganya, santrinya, dengan raja atau anak raja. Jadilah hubungan kekeluargaan Islam yang erat dan turun temurun.
Setiap kamis malam Jumat masjid dan makamnya selalu ramai. Masyarakat dari berbagai daerah berlalu lalang untuk berziarah. Makamnya masih terawat dengan baik, masjidnya pun demikian. Gaya arsitektur, gurat-gurat kayu masjidnya, masih asli hingga hari ini. Masih apik.
Itulah sedikit gambaran dari kompleks makam Sunan Ampel Surabaya. Pendakwah Islam di bumi nusantara yang namanya masih terawat dan masih akan terus terjaga. Darinya, Islam bisa dikenalkan kepada penduduk nusantara. Hingga masyarakat berbondong-bondong memeluk agama Islam tanpa ada yang memaksa.
Sunan Ampel atau nama aslinya Raden Rahmat lahir di Champa. Ayahnya bernama Maulana Malik Ibrahim, ibunya adalah putri kedua Baginda Kiyan. Adapun kakak sulung ibunya adalah Dewi Sasmitraputri permaisuri Prabu Kertawijaya atau Brawijaya I (1447-1451 M).
Kelahirannya belum bisa dipastikan, menurut Dr. Hoesein Djajadiningrat dalam Critische Beschouwing van de sejarah Banten hanya tahun wafatnya dapat diperhitungkan berdasar tahun wafat pamannya, yakni Prabu Brawijaya, Raja Majapahit. Prabu Brawijaya makamnya ditulis 370 H, yaitu 1448/1449 M. Sunan Ampel sendiri wafat sembilan belas tahun kemudian, berarti beliau wafat pada 1467 M.
Raden Rahmat datang ke Jawa bersama saudara tuanya yang bernama Ali Musada (Ali Murtadho) dan saudara sepupunya yang bernama Raden Burereh (Abu Hurairah). Ia menetap di Tuban. Setelah tinggal di Tuban beberapa lama, ia berangkat ke Majapahit menemui bibinya, Dewi Sasmitraputri.
Setelah beberapa lama menetap di Majapahit, ia ingin kembali ke Champa. Namun tidak diperbolehkan oleh Prabu Brawijaya, sebab di Champa terjadi peperangan dan Champa juga hancur karena diperangi oleh Raja Koci asal Vietnam.
Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo mengatakan, sebagai ganti tidak pulang ke Champa, Prabu Brawijaya menggantinya dengan menempatkan Raden Rahmat dan saudaranya di Gresik juga dinikahkan dengan perempuan setempat.
Menurut Serat Walisana, Raja Majapahit tidak langsung mengangkat Raden Rahmat di Ampeldenta, melainkan menyerahkannya kepada Adipati Surabaya bawahan Majapahit bernama Arya Lembusura, yang beragama Islam.
Arya Lembusura dikisahkan mengangkat Raden Rahmat sebagai imam di Surabaya dengan gelar sunan dan kedudukan wali di Ngampeldenta dilakukan oleh Raja Majapahit. Dengan demikian, Raden Rahmat lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel.
Setelah menjadi imam di Surabaya, Raden Rahmat menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri Arya Teja dari Tuban. Menurut Sedjarah Dalem, Arya Teja dari Tuban menikahi putri Arya Lembusura dan menurunkan bupati-bupati Tuban.
Jadi Nyai Ageng Manila yang dinikahi Raden Rahmat adalah cucu perempuan Arya Lembusura. Oleh karena terhitung cucu menantu Arya Lembusura, maka pada saat Arya Lembusura mangkat, Raden Rahmat menggantikan kedudukannya sebagai Penguasa Surabaya, dan Raden Rahmat sebagai bupati pertama di Surabaya.
Merekatkan Hubungan Kekerabatan
Menurut Widji Saksono dalam Mengislamkan Tanah Jawa, para Wali selalu menerapkan siasat yang bijaksana, kalau dari dalam babad menceritakan bahwa para Wali itu kaya akan ilmu kesaktian ada benarnya, itu disebabkan lantaran kemampuan dan kelihaian mereka mengatur siasat dan strategi. Karenanya menguntungkan bagi ajaran Islam yang mereka sampaikan.
Raden Rahmat membentuk jaringan kekerabatan melalui berbagai perkawinan para penyebar Islam dengan putri-putri penguasa bawahan Majapahit. Dengan cara itu, ikatan kekeluargaan di antara umat Islam menjadi kuat.
Menurut Sedjarah Dalem, disebutkan bahwa putri Arya Lembu Sura menikah dengan penguasa Tuban, Arya Teja, dan menurunkan bupati-bupati Tuban. Lewat tokoh Prabu Brawijaya yang juga menikahi bibi Raden Rahmat, hubungan dengan Arya Lembu Sura terjalin.
Itu sebabnya, setelah Prabu Brawijaya menyerahkan Raden Rahmat kepada penguasa Surabaya beragama Islam, Arya Lembu Sura, dia tidak saja mengangkatnya menjadi imam di Ampel tetapi menikahkannya pula dengan Nyai Ageng Manila, putri penguasa Tuban, Arya Teja, yaitu menantu Arya Lembu Sura.
Demikianlah, Raden Rahmat memiliki hubungan kekerabatan dengan penguasa Tuban, Arya Teja sekaligus dengan penguasa Surabaya, Arya Lembu Sura.
Lewat hubungan kekerabatan dengan penguasa Surabaya, Arya Lembu Sura itulah yang pada gilirannya membawa Raden Rahmat pada kedudukan sebagai bupati, penguasa Surabaya, menggantikan kedudukan Arya Lembu Sura. Jadi bisa dikatakan Raden rahmat adalah bupati pertama di Surabaya.
Di waktu yang berbeda, Sunan Ampel mengajak Adipati Aria Damar dari Palembang untuk masuk Islam. Berkat keramahan dan kebijaksanaan Raden Rahmat, Aria Damar kemudian masuk Islam bersama istrinya, yang kemudian diikuti pula oleh hampir segenap anak negerinya.
Ajaran Sunan Ampel
Di dalam babad Tanah Jawi digambarkan bahwa selain mengajari murid-muridnya membaca Al-Qur’an, Raden Rahmat juga mengajari kitab tentang ilmu syariat, tarekat, dan ilmu hakikat, baik lafal maupun makna. Raden Rahmat digambarkan mencontohkan kehidupan yang zuhud dengan melakukan riyahah ketat.
Menurut penafsiran Sjamsudduha dalam Sejarah Sunan Ampel: Guru Para Wali di Jawa dan Perintis Pembangunan Kota Surabaya, ajaran Sunan Ampel berangkat dari tiga kata: bi nashrih, tubadil, dan daim dengan kunci bi ru’yatil fu’ad. Ilmu yang diajarkan itu hanya bisa dipahami melalui mata hati dan mata batin.
Inti ajaran beliau adalah fa innama tuwallu fatsamma wajhullah. Kabiran alhamdulillah katsiran, fasubhanallahi bukratan wa ashila, inni wajjahtu wajhiya.
Raden Rahmat selain mengajarkan ilmu syariat juga mengajarkan tarekat dan hakikat, yang dalam Babad Tanah Jawi naskah Drajat mengajarkan ilmu tasawuf dengan laku suluk.
Dalam menjalankan ajaran Islam berupa salat, Sunan Ampel mendapat tantangan karena salat dengan gerakan-gerakan ritualnya dianggap aneh. Di dalam Babad Tanah Jawi digambarkan bagaimana orang-orang menertawakan Sunan Ampel karena melakukan ibadah salat yang dianggap aneh.
Namun Sunan Ampel sangat sabar menghadapi semua celaan. Bahkan, saat dicela karena memilih-milih makanan; menolak makan babi dan katak tetapi memilih makan daging kambing yang apak; Sunan Ampel tetap sabar dan tidak marah.
Sunan Ampel sangat ahli perihal masalah kekeluargaan dan kerumahtanggaan, sebagai inti sosial paling elementer lembaga keluarga dan rumah tangga mendapat perhatian khusus pula. Untuk ini, Sunan Ampel memikirkan dan menyusun aturan-aturan perdata kekeluargaan.
Dalam hal ini mencakup perkara dan hukum perkawinan yang bersangkutan dengan peminangan, nikah, talak, dan rujuk. Dilengkapi pula dengan hukum-hukum keluarga, dan upacara-upacaranya seperti azan dan iqamah ketika bayi lahir, pemberian nama, aqiqah, khitan, dan sebagainya.
Perlengkapan yang diperlukan bagi kesejahteraan rumah tangga, mendapat perhatian dan diislamisasikan oleh para Wali.
Sumber:
1. Sunyoto, Agus. Atlas WaliSongo. Depok: Pustaka IIMaN, 2016.
2. Saksono, Widji. Mengislamkan Tanah Jawa. Bandung: Mizan, 1996.