Suaramuslim.net – Beberapa hari lalu, tepatnya 3 Juli 2020, ITB memperingati hari jadinya yang ke-100. Tidak diragukan lagi, ITB adalah kebanggaan bangsa Indonesia.
Walaupun bukan alumni ITB, sebagai alumni ITS, saya ikut berbangga Indonesia memiliki ITB. Anak bungsu saya pun alumni ITB. Saya ingin memberikan refleksi soal pendidikan teknik di Indonesia.
Saya ingat sewaktu lulus SMA 1980, terinspirasi oleh BJ Habibie, saya memutuskan untuk memilih Teknik Perkapalan ITS. Ini pilihan yang aneh bagi cah Semarang seperti saya.
Pertama, bagi cah Semarang, ITS praktis tidak dikenal dan memilih Surabaya (ke Timur) adalah pilihan yang aneh. Hampir semua teman-teman sekelas saya memilih Barat (ITB, UI, atau IPB) atau Selatan (UGM, UNS, UKSW atau AKABRI).
Kedua, teknik perkapalan adalah pilihan yang tak terbayangkan saat kebanyakan teman-teman IPA saya memilih teknik sipil, teknik arsitektur, teknik kimia, teknik mesin, teknik elektro, pertambangan, atau kedokteran.
Sedikit yang memilih keguruan atau pertanian.
Eksistensi Teknik Perkapalan ITS sendiri pernah banyak menimbulkan kontroversi. Bagi saya, ini aneh karena negeri ini kepulauan. Bahkan konsorsium pendidikan teknik pernah menilai teknik perkapalan tidak layak berdiri sebagai departemen sendiri. Hampir teknik perkapalan ITS dihapus dan diserap menjadi bagian dari Teknik Mesin.
Adalah BJ. Habibie yang menyelamatkan Teknik Perkapalan ITS dalam Simposium Dunia Maritim di ITS pada 1970-an.
Banyak guru besar teknik senior di ITB berpikir bahwa teknik perkapalan seharusnya ada di bawah teknik mesin. Ini menjelaskan mengapa teknik perkapalan tidak dikembangkan di ITB.
Saya curiga memang Belanda tidak menginginkan bangsa ini menguasai teknik perkapalan. Sebagai negara kepulauan, bagaimana mempersatukannya tanpa teknik perkapalan?
Syukurlah Bung Karno memutuskan menegerikan ITS dengan Fakultas Teknik Perkapalan sebagai penciri ITS pada tahun 1960.
Dengan bantuan USSR waktu itu, Teknik Perkapalan ITS dan juga Unpati Ambon dikembangkan. Banyak dosennya adalah alumni perguruan tinggi USSR di Odessa, Vladiwostok atau perwira TNI AL berpendidikan USSR. Koleksi perpustakaan dan peralatan bengkel-bengkelnya buatan USSR.
Pada saat hampir semua produk teknik diimpor dari luar negeri, terutama dari Cina saat ini, saya ingin memberi catatan yang relevan bagi pengembangan pendidikan teknik negeri ini.
Pertama, pendidikan tinggi teknik muncul sebagai kebutuhan penelitian dan pengembangan kemampuan rancangbangun barang-barang teknik di masyarakat.
Budaya makership harus sudah berkembang baik di masyarakat. Pekerjaan-pekerjaan pertukangan kayu, batu, logam, kulit, dll yang menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan masyarakat sehari-hari dihargai dan dihormati. Sayang sekali hingga saat ini, pekerjaan “kasar” ini kurang dihargai di Indonesia.
Gengsi SMK dan Politeknik lebih rendah daripada SMA dan Universitas. Ini menghambat kapasitas teknologi bangsa ini.
Kedua, pendidikan warga muda (termasuk pendidikan formal jenjang menengah) disediakan untuk memberi keterampilan produktif bagi warga muda. Pendidikan ini dipadukan dengan skema magang di satuan-satuan produksi masyarakat.
Hasilnya adalah pemuda yang mandiri, bertanggungjawab, sehat dan produktif. Setelah bekerja beberapa tahun, sebagian kecil dari kelompok ini yang memiliki bakat akademik, setelah lolos seleksi, bisa melanjutkan pendidikan tinggi untuk menjadi sarjana, magister atau doktor di berbagai disiplin ilmu.
Jika pendidikan warga muda ini sukses, kebutuhan pendidikan tinggi tidak perlu sebanyak ini. Umur 17-18 tahun sudah mampu bekerja atau memiliki bisnis sendiri. Banyak universitas saat ini dibangun untuk menambal kegagalan pendidikan menengah.
Ketiga, untuk pendidikan tinggi teknik harus dipadukan dengan teaching industry, seperti pendidikan dokter harus dipadukan dengan teaching hospital. Pendidikan tinggi teknik seharusnya berakhir di bengkel, tidak hanya di laboratorium komputer, yang menghasilkan produk-produk teknik yang laku di pasar.
Pengalaman saya membina ITS Maritime Challenge yang melibatkan kegiatan pembuatan perahu kayu 12 meter di bengkel kayu menunjukkan bahwa pendidikan teknik yang baik harus melibatkan bengkel produksi.
Keempat, belajar dari pandemi ini, keluarga harus menjadi tumpuan pengembangan makership yang menjadi basis bagi kemampuan teknologi bangsa agromaritim ini.
IT bisa membantu untuk pengembangan kreativitas konvivial tanpa menimbulkan ketergantungan, terutama pada pasokan energi yang besar.
Ini bagi saya adalah Habibienomics yaitu sebuah ekonomi yang dipijakkan pada makership.