TASIKMALAYA (Suaramuslim.net) – Di tengah pandemi Covid-19, perjuangan guru prasejahtera lebih berat. Mereka harus menyisihkan anggaran untuk membeli kuota internet bahkan meminjam gawai temannya karena ketidakpunyaan. Di momentum 75 tahun kemerdekaan Indonesia, inilah potret perjuangan guru di tengah himpitan ekonomi serta pandemi yang sedang melanda seluruh negeri.
Bertahun-tahun Muhammad Kamaludin mengajar di MI Swasta Cileunjang Kelas Jauh di Bojonggambir, Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat. Sejak berdiri tahun 2014 silam, kondisi sekolah sangat memprihatinkan. Lantai tanah, dinding bilik bambu serta tiang sekolah berbahan dasar kayu menjadi bangunan inti sekolah. Jumlah murid yang cukup banyak sedangkan ruang kelas yang sempit dan penuh debu jika banyak aktivitas harus menjadi teman dekat murid dan guru yang melakukan belajar-mengajar di Cileunjang.
Perjuangan Kamal serta guru-guru yang mengajar di MIS Cileunjang pun berbuah manis. Pada bulan Maret lalu, sekolah yang berada di puncak bukit yang dikelilingi kebun teh itu direnovasi oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT) dibantu warga sekitar secara swadaya.
Saat ini, terbangun empat ruang baru yang tiga di antaranya untuk murid, sedangkan satu ruang lainnya untuk ruang guru. Kamal mengatakan, walau masih kurang tiga ruang kelas lagi agar semua siswa bisa merasakan bersekolah layaknya anak-anak di tempat lain, ia, para guru, serta murid yang sekarang bertambah menjadi sekitar 90 siswa sudah sangat bahagia bisa menikmati fasilitas yang jauh lebih layak di sekolahnya.
“Ini pun ada ruang baru kami semua sudah sangat senang,” ungkap Kamal, Ahad (16/8).
Sayang, murid serta guru di Cileunjang saat ini belum bisa menikmati ruang kelas baru tersebut. Pandemi Covid-19 memaksa mereka melakukan kegiatan belajar-mengajar dari rumah. Walau Kamal mengatakan, di wilayahnya termasuk zona hijau dari sebaran Covid-19, ia sebagai guru serta pengurus sekolah tak ingin memaksakan adanya kegiatan sekolah. Ia tak ingin mendapatkan sanksi dari dinas terkait serta ingin memastikan bahwa guru dan murid benar-benar aman dari virus Covid-19.
Terhitung sejak Maret, guru dan murid mulai melakukan kegiatan belajar-mengajar jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi. Namun, berbagai kendala serta tantangan pun muncul dan dirasakan murid, bahkan guru. Di MIS Cileunjang Kelas Jauh ada tiga orang guru yang tak memiliki perangkat gawai untuk mendukung kegiatan belajar. Mereka pun terpaksa meminjam gawai teman sesama gurunya untuk memberikan pelajaran ke murid-murid.
“Guru yang tidak punya android ada tiga orang. Setiap mengajar mereka minjam HP guru lainnya. Untuk guru mengajar lewat HP pun agak sulit, begitu juga murid yang sulit memahami pelajaran secara daring,” tutur Kamal yang juga sebagai perintis MIS Cileunjang Kelas Jauh ini.
Selain terkendala perangkat telepon pintar, guru serta murid MIS Cileunjang Kelas Jauh pun mengeluhkan biaya kuota internet yang harus mereka miliki. Mayoritas guru dan murid di sana berasal dari keluarga prasejahtera. Sehingga, belajar jarak jauh yang memerlukan biaya untuk internet dirasa berat. Begitu pun dengan guru yang di hari-hari normal hanya mendapatkan gaji lebih kurang Rp300 ribu per bulan, itu pun harus dirapel per tiga bulan, dan saat ini harus mengeluarkan uang untuk membeli kuota internet.
Kamal mengatakan, tahun 2020 ini ia sebagai guru merasa perjuangannya paling berat. Selain harus rela mengeluarkan biaya tambahan untuk internet di saat gajinya rendah, ia juga merelakan menghabiskan waktu tanpa riuhnya anak-anak. Kamal dan guru lainnya yang terbiasa mendengar dan melihat murid pun saat ini merasakan sedih karena untuk sementara waktu harus berpisah dari mereka.
Di momen kemerdekaan yang dibarengi dengan adanya pandemi Covid-19 ini, Global Zakat-ACT ingin mengajak masyarakat bisa terlibat membantu guru-guru di seluruh penjuru negeri.
Koordinator Program Sahabat Guru Indonesia Riski Andriana mengatakan, Global Zakat-ACT hingga kini telah menyerahkan biaya hidup ke ribuan guru di seluruh Indonesia. Namun, itu belum cukup karena masih banyak guru yang belum mendapatkan biaya serupa.
“Yang kami rasakan selama ini saat menyerahkan biaya hidup ialah ungkapan terima kasih dari guru yang menjadi pahlawan pendidikan. Hal itu karena banyak dari mereka yang masih prasejahtera dan harus mencari pekerjaan lain demi memenuhi kebutuhan hidup,” jelas Riski.
Reporter: Chamdika Alifa
Editor: Muhammad Nashir