Suaramuslim.net – Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) menjadi simbol pengakuan sekaligus keselamatan. Dikatakan simbol pengakuan karena hampir semua kelompok keagamaan mengaku dan menjadikannya sebagai legalitas, baik formal maupun kultural. Dikatakan simbol keselamatan karena dengan menyematkan simbol Aswaja maka kelompoknya tidak akan diganggu oleh masyarakat.
Sebaliknya, terhadap simbol Wahabi, sebagian besar kelompok keagamaan ingin menghindar dan bahkan berupaya menghilangkan keterkaitan dengannya baik secara tersembunyi maupun terbuka.
Dengan kata lain, Wahabi benar-benar menjadi stigma buruk yang harus dihindari, dan kalau perlu menolak mengaitkan akar sejarah dan kelahirannya dengan dengan Wahabi.
Padahal Wahabi merupakan gerakan pemurnian yang ingin membersihkan nilai-nilai agama dari budaya atau tradisi yang tercampur aduk, dan mengotori kemurnian ajaran agama itu sendiri. Kesalahpahaman inilah yang membuat kontestasi Aswaja-Wahabi tidak lagi bernuansa akademik, tetapi bernuansa kepentingan dan politik.
Aswaja dan Simbol Keselamatan
Fenomena menyematkan dan mendeklarasikan diri sebagai Aswaja, dan menolak keterkaitan dengan Wahabi merupakan awal mula dan akar munculnya konflik antar kelompok keagamaan.
Ketika mengaku Aswaja tulen seraya menstigma buruk Wahabi, maka sama saja melempar api permusuhan kepada saudara muslim. Terlebih lagi, menstigma Wahabi untuk menyelamatkan kepentingan politik dan memperkuat eksistensinya, maka tercipta penghalang besar untuk melakukan rekonsiliasi.
Terlebih lagi, menstigma buruk Wahabi tapi kurang memahami sejarah perjuangan Muhammad bin Abdul Wahab yang berupaya melakukan gerakan pemurnian, maka yang terjadi bukan hanya kebencian pada sang pejuang pemurnian, tetapi akan melahirkan sejarah permusuhan terhadap pengikut Wahabi.
Gerakan pemurnian tidak lain sebagai refleksi atas kegelisahan Muhammad bin Abdul Wahab ketika melihat praktik ritual keagamaan masyarakat yang bercampur dengan budaya lokal dan berujung kesyirikan.
Ketidakpahaman terhadap gerakan pemurnian itu semakin kompleks ketika mengaitkan Wahabi dengan kebijakan luar negeri Arab Saudi. Seolah-olah kebijakan luar negara Arab Saudi sebagai representasi Wahabi tanpa mengaitkan dengan politik suatu negara.
Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab pun tidak terlepas dari konteks sosial, dan dalam mewujudkan gerakan pemurniannya bisa jadi ada kekurangan, dan mungkin ada pihak lain yang berseberangan melakukan gerakan perlawanan, sehingga menghabisi misi utama dalam memurnikan agama ini.
Hal ini juga berlaku semua hasil pemikiran seseorang, yang sangat dipengaruhi oleh lingkungannya.
Ulama tidak sama dengan nabi yang ma’shum, dan di dalam pemikirannya pasti ada kelemahan. Dan sangat mungkin kelemahan yang ada pada ulama yang satu dapat disempurnakan oleh ulama lain, bukan justru saling mempertentangkan hingga menyingkirkan spirit utamanya.
Konteks sosial konsep Aswaja yang dikembangkan NU, lahir di tanah Jawa, tidak lepas dari pengaruh alam sekelilingnya, dengan tradisinya berbeda dengan tradisi masyarakat Hasan Al-Asy’ari yang dikelilingi orang Arab yang penuh dengan budaya Arab.
Ketika Islam datang ke Jawa, masyarakat Jawa telah ratusan tahun dipengaruhi oleh agama dan budaya Hindu-Budha, serta adat Jawa. Kepercayaan terhadap mistik sangat tinggi.
Demikian juga berkembangnya Islam Nusantara, juga tidak lepas dari pengaruh tradisi-tradisi Jawa, hingga ada yang ekstrem mengatakan bahwa kalau kita menerima Islam Nusantara berarti menolak Islam yang datang dari Arab.
Konflik dan Politik Adu Domba
Seringnya terjadi perbedaan yang ditonjolkan pasti akan menimbulkan percekcokan, perpecahan, dan pertentangan umat Islam di hampir dalam segala aspek. Dalam tradisi masyarakat, percekcokan merupakan hal biasa dan wajar karena tidak ada satu masyarakat pun yang lepas dari silang selisih.
Namun hal yang tak wajar hingga hilang rahmatan lil alamin ketika timbul gelombang saling mengucilkan, pemutusan hubungan, hilang komunikasi atau dalam bentuk pengkafiran oleh satu kelompok terhadap yang lain baik individu maupun kelompok tertentu, sehingga terjadi konflik berkepanjangan, hingga hilang persaudaraan muslimnya.
Ketidaksetujuan dengan Wahabi terkadang bukan semata perbedaan ideologi, tetapi karena ada kepentingan kelompok yang ingin diperjuangkan. Bahkan ada infiltrasi kekuatan besar untuk mengadu domba dan melemahkan umat Islam.
Ketika umat Islam lemah, maka kekuatan besar itu bisa berbuat apa saja terhadap umat Islam, baik untuk mendapatkan kepentingan ekonomi, politik, maupun kepentingan untuk menyingkirkan Islam.
Menarik apa yang pernah dipikirkan Buya Hamka bahwa isu Wahabi digunakan sebagai alat politik dan senjata untuk mematikan umat Islam yang ingin kembali kepada tauhid murni serta melawan penjajahan.
Dalam sejarah Indonesia, banyak pejuang dahulu yang terilhami oleh Wahabi dalam melawan penjajahan. Salah satunya adalah Imam Bonjol yang ingin menegakkan tauhid, hingga sempat mengancam kekuatan kolonial Belanda. Soekarno sendiri kagum dengan ajaran Wahabi, ketika berkomunikasi lewat surat dengan A. Hasan (PERSIS).
Gerakan pemurnian bukan hanya tumbuhnya perilaku beragama, tetapi bisa mendorong untuk keluar dari kejumudan dalam ber-Islam. Bahkan gerakan pemurnian inilah yang menginspirasi tokoh-tokoh Islam hingga bangkit melawan kekuatan para penjajah.
Alih-alih berpandangan positif terhadap Wahabi, yang berkembang di kalangan kelompok keagamaan, justru terjadi reproduksi tuduhan sesat terhadap Wahabi hingga mengkafirkannya. Implikasinya, komunitas Islam tidak berhenti bergolak dan saling bermusuhan hingga berupaya menghilangkan eksistensi satu kelompok dengan kelompok lain.
Di sinilah kemenangan kekuatan besar, yang memiliki kebencian kepada Islam, yang terus berusaha melemahkan Islam guna melanggengkan hegemoninya untuk terus bercokol di Indonesia.
Di sinilah keberhasilan menggunakan simbolisme Aswaja dalam menggerakkan sejumlah elemen di masyarakat, untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap Wahabi.
Penggunaan simbol Aswaja bukan lagi untuk mengerakkan masyarakat agar tumbuh spirit keagamaannya, hingga tumbuh semangat (ghirah) kecintaan pada Islam. Yang terjadi justru hilangnya nilai persaudaraan sesama muslim, yang ternodai oleh semangat mengokohkan eksistensi kelompoknya di tengah masyarakat.
Surabaya, 9 Februari 2021
Dr. Slamet Muliono Redjosari
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya