Suaramuslim.net – Era Industri Digital 4.0 telah menjadi life style warga masyarakat kita, baik tua (kaum baby bomers/generasi kolonial) maupun muda (kaum milenial) apalagi generasi Z yang lahir setelah tahun 2000-an.
Bahkan trend ini akan segera menciptakan sebuah masyarakat yang disebut society 5.0, sebuah masyarakat yang kehidupannya sangat bergantung pada teknologi digital.
Sementara sebenarnya, industri 4.0 yang sekarang kita nikmati ini masih pada fase semu.
Ekonomi sebenarnya masih di-drive oleh perusahaan startup digital raksasa, namun perusahaan raksasa tersebut masih dalam masa bakar uang, masih belum mendapatkan profit dari transaksi jual beli atau jual jasanya, mereka bahkan masih merugi.
Artinya besarnya perusahaan-perusahaan raksasa digital tersebut masih ditopang oleh masuknya uang dari investor untuk dibakar guna mempertahankan dan menambah user, karena user sebenarnya masih labil, user menggunakan aplikasi bukan karena terpenuhi kebutuhan dasarnya tapi karena promo-promo yang menggila.
Namun ketika para raksasa digital itu akan sampai pada strategi exit-nya, maka menjadi pertanyaan besar, apakah mereka masih akan exist dengan strategi bakar uangnya? Apakah mereka masih akan memberikan discount, harga murah dan berbagai kemudahan lainnya, atau justru mereka akan terjebak pada layanan yang menjadi mahal dan mencekik? Karena kini saatnya mereka mereka harus mengembalikan uang ratusan triliun rupiah yang telah dibakar selama ini.
Berita terakhir yang kita baca misalnya Gojek berstatus Decacorn valuasi 140 T merger dengan Tokopedia valuasi 98 T menjadi GOTO. Perusahaan GOTO hasil merger segera akan IPO dengan target memperoleh uang 580 T dari lantai bursa.
Sangat mudah dibaca bahwa investor akan mencari untung dari profitiking saham perdana, bukan dari profit putaran bisnis atas jasa jual barang dan jasa dari aplikasinya.
Saya khawatir target IPO GOTO yang sangat tinggi sebesar 580 T adalah strategi exit para mafia investor untuk mengembalikan uang yang telah dibakar dari dua raksasa digital Gojek dan Tokopedia sebanyak 240 T.
Uang yang dibakar sebanyak 240 T itulah yang telah menjadi “narkoba” yang menjadikan kelompok milenial menjadi addict, kecanduan berbagai layanan Gojek dan Tokopedia mulai dari cashback, discount, harga murah, iklan gratis, free ongkir, dan itu semua memakan uang 240 T untuk dibakar.
Lalu dari mana investor balik modal? Merger menjadi GOTO lalu IPO di bursa saham dan menarget penjualan saham 580 T itulah jawabannya!
Kalau itu tercapai maka investor akan mendapatkan untung 340 T dari IPO.
Sementara valuasi perusahaan digital adalah user, bila user sudah tidak mendapatkan lagi cashback, discount, free ongkir dan berbagai subsidi dari bakar uang maka apakah user masih loyal?
Bagaimana kalau muncul aplikasi sejenis yang sedang bakar uang, apakah user tidak akan berpindah ke lain hati, sebagaimana berpindahnya user BBM messenger ke WA sehingga RIM perusahaan penyelenggara BBM nyungsep!
Pertanyaan besarnya, apakah keuntungan 340 T dari IPO akankah dibakar lagi untuk mempertahankan user yang menjadi dasar valuasi perusahaan? Silakan dipikir sendiri.
Memandirikan Ekonomi Masyarakat dengan Platform Community Digital 4.0 untuk Membentuk Society 5.0 yang Berdaulat
Bukankah ini potensial menjadi Buble Economy seperti diperingatkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, Digital Power Concentration akan mengarah pada buble economy yang siap memicu krisis ekonomi.
Lalu bagaimana kita mempersiapkan diri menghadapi strategi exit para pemain raksasa digital, bila memang mereka exit?
Kita harus ciptakan platform digital 4.0 yang loyalitas usernya bukan dari bakar uang. Startup Digital yang user engagement/loyalitas usernya di-drive dari gerakan sosial dari ikatan komunitas saling membutuhkan, bukan dari cara instan bakar uang yang berpotensi menimbulkan bubble ekonomi.
Kita harus membangun kesadaran masyarakat untuk membangun Gerakan Ekonomi Komunitas dengan Tekonologi Digital 4.0 dan menciptakan Platform Digital 4.0 untuk menjadikan gerakan itu berjalan mengikuti life style yang sudah terbentuk.
Kota seperti Surabaya dan kota besar lainnya bisa memulai ini. Bisa kita mulai dengan pemberdayaan komunitas yang ada di kota, sehebat apapun produk korporat dia butuh market/pasar, pasar adalah anggota komunitas.
Bila anggota komunitas berkomitmen untuk saling memenuhi kebutuhan antar anggota melalui platform digital dalam komunitas maka saling memenuhi kebutuhan anggota komunitas bisa menjadi energi pengikat untuk kemandirian komunitas pada hal-hal mendasar misalnya sembako dan kebutuhan sehari-hari misalnya beras, gula, minyak, sabun cuci, kacang goreng, bumbu dapur, camilan produk rumah tangga dsb-nya.
Membangun kesadaran ekonomi komunitas bisa kita mulai dari komunitas-komunitas yang yg ada di Surabaya misalnya kelurahan RT/ RW, ibu-ibu arisan, dll.
Komunitas sudah ada dan mereka punya modal leadership yang kuat untuk dibangun kesadaran kemandirian dimulai dari kebutuhan sembako dan kebutuhan harian.
Bila masing-masing pemimpin membangun kesadaran kolektif dalam lingkup komunitas di wilayahnya untuk bisa saling memenuhi kebutuhan antar anggota komunitas, maka itu sudah menjadi pengganti bakar uang untuk masing-masing anggota loyal menggunakan platform digital yang dipakai oleh masing-masing komunitas.
Produk kebutuhan rumah tangga sehari-hari, sangat bisa diisi dan didominasi oleh produk rumahan industri skala rumah tangga. Seperti misalnya sabun cuci, sabun mandi, pasta gigi, resep bumbu-bumbu dapur yang sehat hasil racikan sendiri dengan packaging yang layak untuk di-delivery.
Camilan dan makanan ringan seperti kacang goring, kacang telur dan camilan sehat, semua itu adalah produk rumahan yang putarannya cukup besar. Setiap anggota komunitas bisa punya produk yang tersedia dengan mudah di marketplace community untuk bisa saling terhubung dan bisa dipesan antar anggota komunitas.
Perbedaan keahlian masing-masing rumah tangga dalam memproduksi barang akan menimbulkan perbedaan kebutuhan untuk saling memenuhi dengan anggota komunitas lainnya, terjadilah proses transaksi tukar menukar yang disebut jual beli. Proses jual beli yang dibangun atas kesadaran bersama untuk saling memenuhi kebutuhan sesama anggota komunitas.
Inilah yang perlu kita siapkan sebagai bumper atau pengganti bila para raksasa digital telah habis masa bakar uangnya. Jangan sampai kehidupan kita tercekik oleh layanan yang awalnya murah banyak discount menjadi layanan yang mencekik. Belajarlah dari para driver ojek online yang awalnya mendapatkan subsidi dari bakar uang menjadi sekarang harus setor pada perusahaan aplikasi.
Platform Digital 4.0 Berbasis Ekonomi Untuk Kesejahteraan Bersama
Dalam pasal 33 UU 45 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau kepemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang per orang.
Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangunan perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Perekonomian berdasar atas demokrasi, kemakmuran bagi segala orang. Sebab itu monopoli dagang korporat asing harus diimbangi oleh kesadaran komunitas yang didorong oleh pemimpin lokal yang punya visi kuat, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai secara bersama.
Kalau tidak, maka tampuk produksi jatuh ke tangan orang perorang yang adalah korporat asing yang powerful modal dan berkuasa dan rakyat yang banyak akan ditindasnya.