Suaramuslim.net – Wacana mencalonkan kembali Jokowi sebagai presiden untuk periode ketiga telah digaungkan.
M. Qodari, Direktur Eksekutif Indo Barometer, menjadi motor untuk melakukan kampanye itu. Dia berpandangan bahwa menduetkan Jokowi dengan Prabowo di Pilpres 2024 sebagai solusi untuk menghilangkan adanya polarisasi ekstrem yang selama ini sudah terbentuk di masyarakat.
Sementara Refly Harun, pakar hukum tata negara justru mengampanyekan sebaliknya. Dia mengatakan bahwa memperpanjang tiga periode jabatan presiden bukan hanya semakin mempolarisasi masyarakat, tetapi melakukan pembusukan konstitusi.
Ketika masyarakat tidak respek lagi pada kinerja rezim saat ini, justru muncul upaya memperburuk keadaan dengan mencalonkan kembali. Terlebih lagi, Prabowo kembali diusung untuk disandingkan. Prabowo dipandang sebagai sosok yang tak layak dijadikan pemimpin karena track record buruk saat pencapresan lalu.
Kampanye Mencemaskan
Qodari berusaha meyakinkan publik bahwa polarisasi semakin tajam sebagai latar belakangnya. Dengan melanjutkan kepemimpinan Jokowi akan mempersatukan masyarakat.
Sebaliknya, Refly Harun menilai itu sebagai upaya merusak konstitusi dan mengoyak demokrasi. Dia tak ingin orang menyampaikan ide dan pikiran atau gagasan berbuah dikriminalisasi. Apa yang menjadi alasan Qodari dinilainya sangat lemah.
Saat ini saja, Prabowo sudah bergabung dalam rezim Jokowi. Alih-alih memperkuat Indonesia dan meningkatkan kepercayaan anak bangsa, eksistensi Prabowo justru memperparah situasi bangsa Indonesia.
Kalau dalam kampanye tahun 2019 lalu, Prabowo saat berpasangan dengan Sandiaga Uno mengkampanyekan siap berjuang mati-matian untuk meningkatkan kemandirian, ketahanan pangan dan menjaga harga diri bangsa. Namun setelah kalah justru mau diajak masuk dalam kabinet lawan politiknya.
Alih-alih mewujudkan janji-janjinya, dia justru tidak berdaya, dan menerima tanpa bisa berbuat apa-apa melihat semakin melemahnya bangsa ini. Masuknya tenaga kerja Cina, lemahnya kekuatan militer, kriminalisasi ulama, pembungkaman terhadap suara kritis hingga hancurnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan Prabowo tidak berperan apa-apa.
Kondisi bangsa yang demikian ini, masyarakat tidak berdaya dan tidak tahu harus menyampaikan aspirasinya. Terjadinya polarisasi dan disparitas di tengah masyarakat karena rezim ini tidak menunjukkan sikap responsif atas situasi ini. Terlebih lagi peran buzzers yang memperoleh angin segar begitu bebas melakukan pembullyan terhadap pihak-pihak yang kritis terhadap rezim ini.
Situasi seperti ini semakin memperparah polarisasi di antara komponen di masyarakat.
Situasi inilah yang dibaca oleh Qodari sebagai kondisi yang membahayakan. Dia kemudian menginisiasi untuk mengusung kembali Jokowi, untuk berpasangan dengan Prabowo, dengan harapan bersatunya masyarakat.
Padahal polarisasi itu disebabkan oleh kinerja rezim ini yang kurang maksimal, serta perilaku buzzers yang memperoleh ruang bebas melakukan apa saja.
Pelemahan Institusi
Gagasan Qodari untuk menghentikan polarisasi, dengan menyandingkan Jokowi-Prabowo, bukan hanya salah alamat, tetapi justru semakin memperlebar jurang polarisasi. Hal ini justru akan menjerumuskan rezim ini untuk terus membuat kebohongan publik.
Dikatakan melakukan kebohongan publik, karena menjadikan polarisasi sebagai bahan dagangan untuk meraih keuntungan mempertahankan kekuasaan.
Terlebih lagi aturan ambang batas capres yang diwacanakan belakangan ini sangat jelas akan memicu polemik yang berpotensi konflik. Betapa tidak, dengan adanya ambang batas (20 persen) dimungkinkan akan muncul calon tunggal, karena tidak ada partai yang memiliki suara sebagaimana ambang batas itu.
Dengan demikian, apa yang dikampanyekan Qodari tidak lebih sebagai upaya akal-akalan menutup-nutupi kepentingan yang tersembunyi. Adapun memberi solusi atas adanya polarisasi, dengan mengusung Jokowi-Prabowo, akan semakin memperparah keadaan.
Ujung dari semua ini sebagai sebuah pembusukan terhadap rezim di satu sisi, sementara di sisi lain rezim ini tidak menyadari kalau ada pihak-pihak yang akan menjerumuskan dirinya.
Di sinilah relevansi dan kontribusi Refly Harun ketika ingin meng-counter gagasan Qodari. Upaya Refly Harun ini selayaknya didukung guna menegakkan konstitusi yang saat ini secara kasat mata ditafsirkan sesuai dengan kepentingan jangka pendek.
Menolak wacana presiden tiga periode harus terus digaungkan, karena rezim ini sudah mampu mengontrol dan mengendalikan seluruh komponen bangsa. Bagi rezim ini, tidak sulit mengamandemen UUD pasal 7, untuk diubah sehingga membolehkan presiden tiga periode.
Dengan kata lain, keberadaan DPR selama ini tidak lebih sebagai legalisasi bagi rezim untuk memuluskan agenda politiknya. Para anggota legislatif di mata publik dipandang tidak lagi memiliki daya kritis terhadap kebijakan pemerintah. Fungsi DPR bukan lagi menjadi penyalur dan pejuang aspirasi masyarakat, tetapi justru mengkhianati suara konstituennya.
Hal ini juga terjadi pada institusi-instusi yang lain, dalam hal ini polisi, tentara, dan Badan Intelijen Negara (BIN) yang berubah dari alat negara menjadi alat kekuasaan. Demikian pula Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), serta lembaga peradilan seperti hakim, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), yang sudah berubah dari penegak keadilan menjadi pembenar kebijakan rezim.
Perubahan fungsi dari semua institusi, yang menjadi pembela dan pembenar kepentingan penguasa, telah membuat polarisasi di tengah masyarakat. Oleh karena itu, kalau gagasan Qodari ini tidak memperoleh perlawanan sebagaimana yang diperjuangkan Refly Harun, maka akan mempercepat proses pembusukan politik kebangsaan ini.
Ketika mengkritik pemerintah dipandang sebagai menghasut, dan mengkriminalisasi, maka yang terjadi adalah otoritarianisme melebihi era Orde Baru. Betapa tidak, ketika demokrasi hanya sebatas ritual tanpa memperhatikan substansinya, maka sebenarnya masyarakat ini sudah tiada dan konstitusi telah membusuk.
Hal ini dikarenakan semua komponen bangsa tidak lagi menjalankan fungsinya secara optimal, serta hanya menjadi alat politik kelompok kepentingan. Situasi ini layak disebut sebagai pembusukan konstitusi secara kolektif.
Yogyakarta, 22 Juni 2021
Dr. Slamet Muliono Redjosari
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.