Suaramuslim.net – Ada yang menarik untuk digali di Surat Al Mulk ayat 2.
ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Sebenarnya ayat di atas memberikan banyak pemahaman motivasi kepada manusia agar bisa hidup lebih baik. Dan di antara motivasi yang bisa dipahami dari ayat tersebut adalah Allah mendahulukan kata “al maut” baru kemudian kalimat “al hayat.” Why?
Siklus hidup manusia yang diyakini umat Islam adalah, hidup (di dunia) lalu mati lalu hidup lagi (di akhirat). Allah tidak menyebut kehidupan yang pertama (di dunia), tetapi langsung menyebut mati (al maut) lalu hidup (al hayat) di akhirat.
Analisanya
- Allah langsung menyebut mati mengandung pengertian bahwa sebelumnya telah berlangsung kehidupan (di dunia) sehingga tidak perlu disebut.
- Menyiratkan bahwa kehidupan di dunia ini bukanlah kehidupan yang sebenarnya sehingga manusia semestinya tidak perlu powerfull mengejarnya. Karena dunia nilainya tidak lebih dari seharga sayap nyamuk.
Dari Sahl bin Sa’id as-Sa’idi radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya dunia ini di sisi Allah senilai harganya dengan sayap nyamuk niscaya Allah tidak akan memberi minum barang seteguk sekalipun kepada orang kafir.” (Hadis hasan sahih riwayat At-Tirmidzi).
Dunia itu tempat tinggal sementara, dan sebentar banget dibandingkan kehidupan kelak nanti di akhirat. Dunia itu bukan tempat tinggal manusia, tapi tempat meninggalnya, yaitu meninggalkannya menuju akhirat.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada apa antara aku dengan dunia ini? Tidaklah aku berada di dunia ini kecuali bagaikan seorang pengendara/penempuh perjalanan yang berteduh di bawah sebuah pohon. Kemudian dia beristirahat sejenak di sana lalu meninggalkannya.” (Hadis hasan sahih riwayat At-Tirmidzi).
Sebaliknya manusia powerfull di dunia ini untuk mengumpulkan bekal kehidupan yang sebenarnya (di akhirat). Di ayat lain dari surat inipun sudah tersirat bahwa tidak perlu powerfull dalam kehidupan duniawi kecuali menjadi media untuk akhiratnya.
هُوَ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ ذَلُولٗا فَٱمۡشُواْ فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُواْ مِن رِّزۡقِهِۦۖ وَإِلَيۡهِ ٱلنُّشُورُ
“Dialah yang menjadikan bumi mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya.” (Al-Mulk: 15).
Di ayat ini urusan kerjaan (duniawi), perintahnya hanya “berjalanlah!” Yaitu tidak powerfull.
Karena itu di ayat kedua Al-Mulk yang kita bahas tadi ada kalimat liyabluwakum (supaya Dia menguji kalian) yang memberikan pengertian bahwa dalam kehidupan dunia ini agar dapat meraih amalan yang berkualitas (ahsanu amala) harus melalui ujian-ujian Allah.
Bukankah kualitas sesorang itu ditentukan dari keberhasilan dalam menghadapi ujian? So, powerfull di dunia dengan tidak berorientasi akhirat akan membuat gagalnya menghadapi ujian Allah, yaitu gagal menjadi pribadi yang ahsanu amala, puncak aktifitas yang terbaik menurut-Nya.
Seseorang yang target hidupnya selalu ahsanu amala (amal yang berkualitas) adalah orang yang cerdas atau al kayyis.
”Orang yang cerdas adalah orang yang menyiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian. Sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang jiwanya selalu mengikuti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan kepada Allah.”
So, bagaimana menjadi pribadi yang selalu beramal ahsanu amala?
Sesungguhnya yang Allah nilai dari amalan manusia adalah kualitasnya, bukan kuantitas amalnya. Inilah di antara makna ahsanu amala, bukan aktsaru amala (amalan yang banyak).
Menurut Fudhail bin Iyadh ketika beliau menafsirkan ayat, “Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya,” beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan paling showab (sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Al Fudhail bin ‘Iyadh lalu berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak sesuai ajaran Nabi, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 20, Darul Muayyad, cetakan pertama, 1424 H).
Ulama yang lain menambahkan dengan kriteria yang ketiga, yaitu istiqamah dan ini menjadi penyempurna dari kedua kriteria di atas.
So, ikhlas, ittiba’, dan istiqamah atau three is adalah komponen-penting menuju kualitas amal (ihsanul amal) yaitu amalan yang terbaik. Dan ini harus dilakukan sungguh-sungguh agar berhasil, karena godaannya berat.
Ikhlas itu berat…
Ittiba’ juga berat…
Istiqamah apalagi…
Namun jika seseorang mengetahui akan sia-sianya amalan jika tidak didasari ikhlas, ittiba’ dan ditambah penyempurnanya yaitu istiqamah tentu ia akan bersungguh-sungguh powerfull untuk melaksanakan ketiganya.
Allah juga berfirman.
وَقَدِمۡنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُواْ مِنۡ عَمَلٖ فَجَعَلۡنَٰهُ هَبَآءٗ مَّنثُورًا
”Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqan: 23).
Karena itulah Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengungkapkan dengan sebuah perumpamaan terkait dengan ikhlas, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.”
Apalagi jika tanpa ittiba’ pula, sungguh sia-sialah amalannya seperti debu yang bertebaran di udara tiada berguna karena dihindari manusia. Inilah perumpamaan amalan yang tidak berkualitas sama sekali.
Wallahu A’lam