SURABAYA (Suaramuslim.net) – Setelah 18 bulan berlalu sejak sekolah-sekolah ditutup demi menekan penyebaran virus Covid-19, kini pemerintah mendorong puluhan juta anak untuk kembali ke sekolah seiring pandemi yang kian terkendali.
Kemunculan klaster sekolah yang semakin banyak seiring pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas, menimbulkan dilema: mempertahankan (BDR) dengan kerugian peserta didik yang semakin signifikan, atau terus mendorong PTM terbatas dengan harga mahal kasus penyebaran virus akan kembali melonjak.
Untuk memahami lebih dalam dilema antara BDR dan PTM ini, Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) melakukan survei terhadap 98 kepala sekolah, 515 guru dan 826 peserta didik dari 114 satuan pendidikan setingkat SD-SMP yang tersebar di 9 provinsi.
Hasilnya, IDEAS mengungkap terjadi penurunan kualitas pendidikan secara signifikan ketika Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang diterapkan sejak awal pandemi melanda.
Sebanyak 50,9% guru meyakini peserta didiknya mengalami penurunan capaian belajar di beberapa mata pelajaran dan bahkan 37,0% guru meyakini peserta didiknya menurun capaian belajarnya di seluruh mata pelajaran.
Hanya 12,1% guru yang meyakini capaian belajar peserta didiknya tidak menurun di masa pandemi.
“Efek dari PJJ ini adalah learning loss. Waktu pembelajaran peserta didik jauh menurun sebanyak 50%, interaksi guru dengan murid juga menurun dan ini akan berefek pada kualitas prestasi akademik maupun non akademik peserta didik,” ujar Peneliti IDEAS, Ahsin Aligori dalam talkshow Ranah Publik, Senin (22/11/21).
Lebih jauh, penurunan capaian belajar peserta didik di masa pandemi ini paling banyak dialami oleh peserta didik dari kelompok rentan.
Kelompok rentan yang dimaksud yaitu peserta didik yang sejak awal bersekolah (sebelum pandemi) capaian belajarnya sudah rendah, diikuti kemudian peserta didik dari keluarga miskin, dan peserta didik dengan kedua orang tua bekerja.
“Dengan kata lain, dampak redistributif BDR di masa pandemi sangat mencemaskan, yaitu yang lemah semakin jauh tertinggal, yang miskin semakin tidak mampu mengejar si pandai yang kaya,” tutur Ahsin.
Hasil survei IDEAS juga menunjukkan, dalam persepsi peserta didik, BDR adalah substitusi yang jauh dari sepadan dengan PTM.
Berturut-turut sebesar 53,5% dan 31,1% peserta didik menyatakan BDR lebih tidak menyenangkan dan jauh lebih tidak menyenangkan dibandingkan dengan PTM. Hanya 15,4% peserta didik yang menyatakan BDR tidak lebih buruk dibandingkan PTM.
Dengan pembelajaran BDR di masa pandemi, sebesar 74,7% peserta didik merasa dirinya menjadi tidak lebih pintar dibandingkan dengan sebelum pandemi.
Selaras dengan temuan dari persepsi guru, sebesar 51,4% peserta didik menyatakan prestasi belajarnya di masa pandemi menurun di beberapa mata pelajaran. Bahkan 11,8% peserta didik merasa prestasi belajarnya di masa pandemi menurun di seluruh mata pelajaran.
Ahsin mengatakan dari hasil riset ini, kita khawatir kehilangan generasi saat ini.
“Ketika pendidikan memiliki kualitas yang rendah, maka berdampak pada pengetahuan peserta didik yang rendah pula,” katanya.
Banyak juga peserta didik yang dengan mudahnya dinaikkan kelasnya, padahal realitanya tidak mengikuti kegiatan pembelajaran jarak jauh dengan sungguh-sungguh.
Tidak hanya berefek pada prestasi akademik, dari sisi sosial dan humaniora juga berpengaruh.
“Selama PJJ tidak ada interaksi tatap muka antara sekolah dan siswa efeknya pada terganggunya penumbuhan karakter anak saat bersosialisasi,” papar Ahsin.
Menghadapi kemungkinan terburuk ke depan, menyiapkan desain BDR yang lebih nyaman, menyenangkan, dan terjangkau, menjadi keharusan yang mendesak.
“Temuan dari survei menunjukkan bahwa terdapat peluang BDR semakin diterima peserta didik ketika kelemahan BDR semakin direduksi dan keunggulan PTM semakin banyak diadopsi,” kata Ahsin.
BDR secara penuh (100%) adalah pilihan yang tidak bijaksana, namun PTM secara penuh juga beresiko tinggi dan juga bukan sesuatu yang sangat diinginkan dan diminta oleh peserta didik.
Ada beberapa faktor yang bisa membuat BDR setara kualitasnya dengan PTM yaitu, Pertama guru dan orang tua/wali murid fasih dengan teknologi pendidikan.
Kedua, kemampuan guru menyiapkan bahan ajar yang menyenangkan dan tidak bergantung sepenuhnya pada kuota internet. PJJ tanpa kuota internet dan inovasi pembelajaran berbasis luring untuk mereka yang minim akses pembelajaran daring, menjadi krusial.
Faktor ketiga yang menjadi pamungkas adalah pelibatan orang tua/wali murid yang intensif dalam pelaksanaan BDR. Membangun komitmen orang tua/wali dalam menemani anak belajar, dengan dukungan komunitas, tokoh masyarakat dan aparat pemerintah lokal, menjadi salah satu praktik terbaik yang bisa direplikasi.