Suaramuslim.net – Ada ungkapan yang populer di sebagian masyarakat bahwa ”Tidak mengapa gemuk, yang penting itu sehat!”
Benarkah ungkapan itu?
Ada yang membedakan antara gemuk dan gendut, gemuk itu kelebihan berat badan yang merata di seluruh tubuhnya. Sedangkan gendut itu kelebihan berat badan di perut (buncit).
Bisa jadi gemuk atau gendut itu sehat kalau lingkar pinggangnya 35 inci untuk wanita dan 40 inci untuk pria. Atau bisa jadi gemuk itu sehat kalau tidak memiliki gula darah tinggi, kolesterol dan tekanan darah yang tinggi. Namun biasanya justru kalau sudah obesitas maka tiga hal itu akan muncul.
So… Inti dari gemuk atau gendut itu adalah kelebihan lemak (obesitas) dan semua hal yang berlebihan itu tidak baik! Inilah yang terkandung di motivasi Q.S. Al-A’raf ayat 31.
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Diksi ‘israf’ (berlebihan) dengan berbagai derivatnya di Al-Qur’an disebut sebanyak 23 kali dan selalu konotasinya negatif.
Di samping disebut negatif ada dua ayat yang memberikan penegasan bahwa ‘israf’ (sikap yang berlebihan) itu tidak dicintai Allah. Lihat Q.S. Al-An’am ayat 141 dan Al-A’raf ayat 31.
Begitu negatifnya terkait israf itu sehingga ada ungkapan ahli hikmah;
لا سرف في الخير و لا خير في السرف
“Tidak ada berlebihan dalam kebaikan dan tidak ada kebaikan dalam hal yang berlebihan.”
Bahkan dalam bersedekahpun tidak boleh berlebihan seperti yang diungkap Q.S. Furqon ayat 67.
وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا
“Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.”
Apa itu israf?
Israf itu adalah lawan dari kata at-tawassuth (moderat), i’tidal (berimbang) atau dalam bahasa kita israf adalah tidak proporsional, tidak berimbang.
Dari ayat di atas bisa dipahami bahwa israf dilarang dalam segala hal termasuk masalah makanan dan kebutuhan tubuh manusia.
Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsir Al-Munir ketika menafsirkan ayat 31 Al-A’raf tadi dengan menukil pernyataan sebagian ulama salaf.
Allah telah mengumpulkan semua ilmu kedokteran dalam setengan ayat di atas (Al A’raf 31). Dikisahkan bahwa Khalifah Harun Ar Rasyid memiliki seorang dokter Kristen yang cerdas.
Ia berkata kepada Ali bin Husain. “Dalam kitabmu tidak ada ilmu kedokteran sama sekali, padahal ilmu itu ada dua macam; ilmu yang terkait agama dan ilmu yang terkait badan (anatomi tubuh).”
Maka Ali bin Husain menjawabnya, “Allah telah mengumpulkan ilmu kedokteran itu dalam setengah ayat di kitab kami.”
Dokter Kristen berkata, “Ayat yang mana?”
Ali menjawab, “Yaitu Firman-Nya kuluu wasyrabuu wa laa tusrifuu… (QS Al A’raf 31).”
Kemudian dokter Kristen itu bertanya lagi, “Rasulmu tidak menerangkan ilmu kedokteran sama sekali.”
Ali menjawab, “Rasulullah mengumpulkan ilmu kedokteran dalam kalimat yang ringkas.
ما مَلَأ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا من بطن، بِحَسْبِ ابن آدم أُكُلَاتٍ يُقِمْنَ صُلْبَه،ُ فإن كان لا مَحَالةَ، فَثُلُثٌ لطعامه، وثلث لشرابه، وثلث لِنَفَسِهِ
“Tidaklah manusia memenuhi wadah yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suap yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika memang harus melebihi itu, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga untuk nafasnya.”
Berkatalah dokter Kristen itu, “Tidaklah kitabmu dan nabimu meninggalkan ilmu kedokteran sedikitpun kepada Jalinus.”
Perhatikan uraian Ali bin Husain yang menyatakan bahwa ayat dan hadis itu mengandung nilai kedokteran yang tinggi. Karena inti kesehatan adalah لا سرف في البطن (laa sarafa fil bathni) yaitu tidak boleh berlebih dalam urusan lemak perut.
Ketika urusan perut berlebihan maka akan memunculkan keburukan lainnya seperti gula darah, kolesterol, tekanan darah, yang semuanya ikutan berlebih.
Rasulullah perutnya sixpack
So… Berlebihan terhadap makanan akan mengakibatkan berlebihnya lemak dalam tubuh, dan itu biasanya kebanyakan menumpuk di perut.
Jika menjadikan ayat di atas dan sunnah Nabi menjadi panutan untuk tidak israf dalam makanan dan minuman, maka sudah tentu perutnya akan rata. Inilah tubuh yang ideal proporsional. Konon perut Nabi Muhammad rata dengan dada.
Dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Tidaklah aku melihat perut Rasulullah ﷺ melainkan yang aku ingat seperti kertas-kertas yang digulung satu sama lain.” (Abu Dawud Ath-Thayalisi dalam Musnadnya No. 1619).
Dalam sebuah riwayat konon Ummu Hani’ melihat perut Nabi itu sixpack di saat Nabi selesai Mi’raj ke langit. Sebagaimana diketahui bahwa kejadian Isra’ Mi’raj Nabi itu pada tahun ke-10 kenabian, sedangkan beliau diangkat jadi Nabi pada usia 40, berarti saat Mi’raj usia beliau sekitar 50 tahun.
Amazing..! Di usia 50 tahun perut Rasulullah sangat ideal.
Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa perut dan dada Nabi datar di antaranya riwayat dari Ummu Ma’bad;
“Tidaklah perut Nabi itu besar yang membuatnya aib/cepat capek. Sesungguhnya perut Nabi itu datar dengan dadanya.”
Demikian juga riwayat dari Aisyah yang menyebutkan perut Nabi berlipat seperti kain Qibthi (Mesir).
So… Perut Nabi yang sixpack atau rata dengan dada sudah tentu terkait dengan tidak israfnya beliau dalam makanan dan minuman. Menjaga makan dengan pola yang proporsional dan sehat.
Dan tidak benar bahwa perut Nabi itu gendut dan gemuk di akhir usianya berdasarkan sebuah riwayat dari Aisyah.
“Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan witir 9 rakaat, setelah beliau mulai baddana (usia lanjut, bukan baduna yang berarti gemuk) dan berdaging (gempal), beliau shalat 7 rakaat. Kemudian shalat 2 rakaat sambil duduk. (Ahmad, 26651 dan Al-Bukhari, 4557).
Perut Rasulullah tidak gendut sampai akhir usianya
1. Pernyataan Dr. Samih Muhammad Al Bilah di www.alukah
“Sesungguhnya ada salah paham terhadap bacaan baduna, yang benar baddana yang berarti sudah usia sepuh sehingga fisik tidak sekuat sebelumnya.
Diperkuat pula dalam kamus bahasa Arab, bahwa kalimat بدّن/baddana berarti كبُر في العمر, usia lanjut. Albadanu adalah ar rajulu al musinnu yaitu seseorang yang berumur tua.
2. Justru sebaliknya di beberapa riwayat Nabi Muhammad tidak menyenangi orang yang perutnya gendut
Jika bertemu orang seperti ini beliau berkata:
لَوْ كَانَ هَذَا فِي غَيْرِ هَذَا لَكَانَ خَيْرًا لَكَ
“Andai gendut ini tidak di sini, niscaya itu lebih baik bagimu.” (Ahmad, 15868).
Bahkan orang gendut digolongkan oleh Nabi sebagai bukan generasi yang terbaik, perhatikan riwayat ini.
“Sebaik-baik umatku adalah masyarakat yang aku di utus di tengah mereka (para sahabat), kemudian generasi setelahnya. Kemudian datang kaum yang suka menggemukkan badan, mereka bersaksi sebelum diminta bersaksi.” (Muslim, 6636 dan Ahmad, 7322).
Imam Al Qurtubhi memberikan komentarnya atas hadis itu ketika menafsirkan surat Muhammad ayat 12 sebagai berikut.
Hadis ini adalah celaan bagi orang gemuk. Karena gemuk yang bukan bawaan penyebabnya banyak makan, minum, santai, foya-foya, selalu tenang, dan terlalu mengikuti hawa nafsu. Ia adalah hamba bagi dirinya sendiri dan bukan hamba bagi Tuhannya, orang yang hidupnya seperti ini pasti akan terjerumus kepada yang haram.
Namun jika gemuk itu sifatnya alami karena gen keturunan bukan karena pola makan yang tidak sehat maka hal itu tidak tercela sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi.
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa gemuk yang tercela bukanlah semata-mata gemuk secara alami saja, tetapi terkait dengan sikap makan dan minum yang berlebihan. Beliau rahimahullah berkata:
“Maknanya bukan murni menjadi gemuk. Para ulama menjelaskan bahwa yang tercela yaitu yang mengusahakan menjadi gemuk. Adapun yang gemuk secara alami (dari awal), tidak termasuk dalam hadis ini. Maksudnya adalah orang yang sengaja mengusahakan gemuk dengan terlalu berlebihan makan dan minum dari ukuran normal.” (Syarh Shahih Muslim, 16: 67).
Dari penjelasan itu menunjukkan kepada kita bahwa sifat perut Nabi Muhammad itu nampak ideal karena pola makannya terjaga dengan bagus dan sehat.
Bagaimana cara Nabi Muhammad menjalankan pola makan yang sehat itu?
1. Makan tidak sampai kekenyangan
Pola makan makan Nabi tidak sampai membuatnya kenyang namun cukup seimbang. Perhatikan riwayat berikut ini.
نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع
“Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.”
Sekalipun riwayat ini masih diperselisihkan namun isinya shahih (benar secara ilmiah). Karena Ibnu Hajar memberikan komentar terkait makan yang masuk perut berlebihan:
“Larangan kekenyangan dimaksudkan pada kekenyangan yang membuat penuh perut dan membuat orangnya berat untuk melaksanakan ibadah dan membuat angkuh, bernafsu, banyak tidur dan malas. Bisa jadi hukumnya berubah dari makruh menjadi haram sesuai dengan dampak buruk yang ditimbulkan (misalnya membahayakan kesehatan).”
Nampak jelas dari riwayat di atas bahwa Nabi kalau makan tidak sampai kenyang. Ini searah dengan riwayat lainnya;
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ ، فَضَيِّقُوا مَجَارِيَهُ بِالْجُوعِ
“Sesungguhnya setan itu menyusup dalam aliran darah anak Adam, maka persempitlah jalan masuknya dengan lapar (puasa).” (Al-Bukhari dan Muslim).
Maka lapar itu justru membuat manusia sehat jasmani dan rohani, asal bukan kelaparan.
2. Olahraga dan tidak makan di malam hari sebelum tidur
Sebenarnya makanan yang masuk ke tubuh manusia akan menjadi kalori untuk membuat manusia hidup beraktivitas. Namun jika kalori yang masuk berlebih dibanding dengan kalori yang keluar maka akan menumpuk menjadi lemak. Itulah kenapa Nabi menganjurkan untuk olahraga seperti berkuda, memanah dan berenang.
”Segala sesuatu yang di dalamnya tidak mengandung dzikrullah merupakan perbuatan sia-sia, senda gurau, dan permainan, kecuali empat (perkara), yaitu senda gurau suami dengan istrinya, melatih kuda, berlatih memanah, dan mengajarkan renang.” (An-Nasa’i).
Hadis itu memberikan motivasi agar manusia selalu berolahraga agar tubuh menjadi sehat.
Supaya kalori tidak menumpuk di tubuh manusia, Nabi tidak makan malam selepas Isya karena dikhawatirkan setelah Isya akan tertidur dan itu membuat kalori tidak terbakar secara maksimal.
Ini tersirat dalam riwayat berikut. Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلاَةَ الْمَغْرِبِ ، وَلاَ تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ
“Apabila makan malam sudah tersaji, maka dahulukanlah makan malam tersebut dari shalat Maghrib. Dan janganlah kalian tergesa-gesa dari makan kalian.” (Al-Bukhari, 672 dan Muslim, 557).
Sekalipun ada makna lain dari hadis itu, namun bisa dipahami bahwa ‘asya (makan malam) itu tidak dimakan di malam hari namun di sore hari atau sebelum Maghrib.
So makan malam itu sebelum Isya, sebagaimana ada istilah:
العَشاء قبل العشاء
Asya’ (makan malam) sebelum Isya.
3. Banyak minum air putih
Minum air putih minimal 2 liter sehari sangat membuat badan sehat di samping dapat menghilangkan dahaga dan memberikan kesegaran pada tubuh.
Al-Qur’an telah menyebutkan manfaat air yang dapat memberikan kehidupan yang seimbang di dalam tubuh manusia.
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاء كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak juga beriman?” (Al-Anbiya: 30).
Begitu pentingnya air bagi tubuh sehingga Nabi Muhammad selalu mengawali makan kurma ruthob (basah) atau tamr (kurma kering) atau seteguk air putih.
Nabi selalu mengawali berbuka puasa dengan air putih setelah kurma, itu tersirat dalam doa beliau selepas berbuka;
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
“Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah.” (Abu Daud, 2357, Ad-Daruquthni 2/401).
Kalimat dzahaba azh-zhama’u, rasa haus telah hilang sebagai indikator meminum air putih. Artinya Rasulullah ketika mengawali berbuka tidak dengan makanan yang berlebihan seperti, gorengan, kolak, dan minuman manis serta ditambah makan utama (makan besar).
4. Tidak berlebihan dalam konsumsi
Tubuh manusia membutuhkan zat gula, protein dan lainnya namun kalau berlebih akan membahayakan tubuh itu sendiri. Karena itu asupan makan dengan gizi yang seimbang dan proporsional harus dilakukan manusia agar sehat.
Coba bayangkan ada seseorang yang makan dengan nasi ditambah mie, kemudian ada lauk ikan, setelah makan itu semua meminum minuman manis dan ditutup dengan makanan manis lagi. Inilah israf (tidak proporsional), karena telah menyantap makanan apa saja yang disukai bukan apa saja yang dibutuhkan.
Memang tidak terasa di awal-awal, namun nanti dengan bertambahnya usia, perut akan membuncit dan itu akan menjadi awal munculnya berbagai penyakit.
Nabi Muhammad berpesan kepada kita.
من الإسراف أن تأكل ما اشتهيت
“Salah satu ciri berlebihan (al-isrāf) Anda makan setiap yang Anda inginkan.” (Ibnu Majah No 3345 dari Anas bin Mâlik).
Artinya dalam nasihat Nabi tersebut ada sebuah anjuran untuk menyantap makanan sekadar yang dibutuhkan tubuh bukan yang disenangi, karena hal itu masuk kategori israf yang tidak baik bagi kesehatan tubuh. Wallahu a’lam.