Suaramuslim.net – Dari Masjid Baitul Akhiroh Kelurahan Nginden Jangkungan, Kecamatan Sukolilo Surabaya, Pengurus Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Provinsi Jawa Timur menyampaikan dukungan atas usulan Dewan Dawah Pusat untuk ditetapkannya tanggal 3 April sebagai Hari NKRI.
“Kami menindak lanjuti keputusan Rakorwil Dewan Da’wah Jatim di Trawas, Mojokerto tahun 2022 lalu, dan Ketua Dewan Da’wah Jatim periode sebelumnya, almarhum Pak Tamat Anshory Ismail dan almarhum Pak Sudarno Hadi untuk menyokong usaha pengurus Dewan Da’wah Pusat agar 3 April ditetapkan sebagai Hari NKRI,” kata Ahmad Busyairi Mansur, Ketua Majelis Pertimbangan Dewan Da’wah Jatim.
Pengurus Dewan Da’wah Pusat, lanjut Ahmad Busyairi, istiqamah mendorong agar tanggal 3 April ditetapkan sebagai Hari NKRI dengan pertimbangan momen sejarah yang melatarbelakanginya.
Pada tanggal 3 April 1950, Mohammad Natsir Ketua fraksi Partai Masyumi, pada sidang parlemen dengan mantap mengusulkan sebuah ide brilian agar Indonesia kembali menjadi sebuah negara kesatuan, NKRI, meninggalkan RIS (Republik Indonesia Serikat) bentukan Belanda yang telah mencabik-cabik Indonesia menjadi negara-negara bagian.
Di Masjid Baitul Akhiroh, Nginden tersebut bersama para jamaah mereka kompak memekikkan yel-yel “3 April Hari NKRI. NKRI harga mati!”
Mohammad Natsir dan Mosi Integral
Ketua Umum Dewan Da’wah Pusat, Dr. Adian Husaini pernah menulis sebuah artikel khusus dengan judul “Jangan lupakan 3 April: Hari Kembalinya NKRI setelah Mosi Integral Mohammad Natsir”.
Dalam artikel itu disebutkan bahwa Konferensi Inter-Indonesia antara delegasi Republik Indonesia dengan BFO, Bijeenskomst voor Federal Overleg, sebuah komite bentukan Belanda di Yogyakarta tanggal 19-22 Juli 1949 menghasilkan keputusan dibentuknya RIS.
Pembentukan BFO merupakan upaya Belanda “mengepung” Republik Indonesia. Negara BFO adalah Negara Dayak Besar, Negara Indonesia Timur, Negara Borneo Tenggara, Negara Borneo Timur, Negara Borneo Barat, Negara Bengkulu, Negara Biliton, Negara Riau, Negara Sumatera Timur, Negara Banjar, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, Negara Jawa Timur, dan Negara Jawa Tengah. Dengan demikian Negara Republik Indonesia hanyalah di sebagian pulau Jawa, Madura, dan Sumatera.
Selama dua setengah bulan, Natsir melakukan berbagai lobI yang tidak mudah terutama dengan negara-negara bagian di luar Jawa.
Kemudian pada tanggal 3 April 1950 Mohammad Natsir sebagai Ketua Fraksi Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) mengajukan apa yang dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” di depan parlemen untuk menyatukan kembali Republik Indonesia yang telah tercabik-cabik menjadi negara-negara bagian berhimpun kembali menjadi NKRI, yang diumumkan secara resmi pada tanggal 17 Agustus 1950.
Mosi Integral Natsir menunjukkan secara gamblang akan komitmen ke-Indonesiaan tokoh-tokoh Islam.
“Bahwa kecintaan kepada NKRI bukanlah basa-basi. Jangan gegabah melabeli umat Islam anti NKRI. Justru sebaliknya, ide dan perjuangan untuk kembali kepada NKRI dilakukan oleh seorang Mohammad Natsir yang tokoh Islam,” tandas Adian Husaini.
Bung Hatta, lanjut Adian bahkan mengatakan bahwa tanggal 3 April 1950 merupakan Proklamasi kedua setelah Proklamasi pertama tanggal 17 Agustus 1945.
Presiden Soekarno ketika ditanya siapa yang pantas menjadi Perdana Menteri pertama NKRI mengatakan bahwa tidak ada lain yang pantas sebagai Perdana Menteri kecuali Mohammad Natsir, penggagas Mosi Integral.
Mohammad Matsir dan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia
Pasca Masyumi membekukan diri pada tahun 1967, Mohammad Natsir bersama sejumlah tokoh yakni Prof Dr. H.M.Rasyidi, KH. Hasan Basri, KH. Taufiqurahman, Prawoto Mangkusasmito, H. Nawawi Duski, H. Buchori Tamam, Abdul Hamid, dan H. Abdul Malik Ahmad mendirikan Yayasan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia pada tanggal 26 Februari 1967.
Jika sebelumnya Mohammad Natsir berdakwah melalui politik, yaitu melalui partai Masyumi, maka setelah didirikannya Dewan Da’wah dia berpolitik melalui jalan dakwah, berdakwah tanpa meninggalkan perjuangan politik.
Dewan Da’wah yang didirikannya memiliki lima fungsi, sebagaimana termaktub dalam Anggaran Rumah Tangga Dewan Da’wah Pasal 13: sebagai pengawal aqidah, penegak syari’ah, perekat ukhuwah, pengokoh NKRI, dan yang terakhir sebagai pendukung solidaritas dan dunia Islam.