SURABAYA (Suaramuslim.net) – Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) menandainya Hari Lahir (Harlah) ke-11 pada 2 Juli 2024 dengan melakukan deklarasi menuju kampus bebas sampah plastik.
Ini dilakukan dalam acara sidang senat terbuka yang ditandai dengan orasi ilmiah berjudul “Reformasi Paradigma Pendidikan Menghadapi Tantangan “Anthropocene” yang disampaikan oleh Ir. Wardah Alkatiri, M.A., Ph.D. Bersamaan dengan itu diluncurkan pula penjernih air, Unusa Water dan Insenerator.
Lewat orasi ilmiah itu Unusa mencanangkan diri sebagai kampus menuju bebas sampah plastik, sejalan dengan tema pada peringatan satu abad atau 100 tahun Nahdlatul Ulama, Merawat Jagat Membangun Peradaban. Semua pimpinan Unusa melalui penandatanganan di atas kain putih bersama-sama berkomutmen untuk melakukan itu.
Dalam orasi ilmiahnya Wardah Alkatiri mengatakan, krisis lingkungan global yang saat ini terjadi tidak hanya berasal dari faktor-faktor alami, tetapi juga secara signifikan dipengaruhi oleh intervensi manusia.
Fenomena seperti pemanasan global, polusi udara dan air, serta kehilangan biodiversitas adalah bukti nyata dari dampak destruktif dari kegiatan manusia terhadap alam.
“Dalam menghadapi krisis lingkungan yang bersifat antropogenik ini, kita tidak bisa hanya bergantung pada solusi teknologi semata. Perubahan mendasar diperlukan dalam cara kita memahami hubungan antara manusia dan alam, serta dalam cara kita mendidik generasi masa depan,” katanya.
Wardah mendukung konsep dekolonisasi ilmu sebagai tonggak utama dalam reformasi pendidikan. Menurutnya, ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang sosial dan humaniora, harus dibebaskan dari kerangka pemikiran kolonial yang mendasar.
“Pendidikan kita harus membebaskan diri dari paradigma antroposentris yang telah mendominasi selama ini, di mana manusia diposisikan sebagai pusat segalanya, bahkan atas biaya kerusakan alam yang tak terhitung jumlahnya,” jelas Wardah.
Wardah menjelaskan, dekolonisasi ilmu akan membuka jalan bagi pendekatan theosentris, di mana kehadiran manusia di bumi dilihat sebagai bagian dari sebuah harmoni yang lebih besar, bukan sebagai penguasa yang eksploratif.
“Kita perlu mengembangkan generasi yang tidak hanya memiliki pengetahuan teknis, tetapi juga memiliki kedalaman spiritual dan empati terhadap alam dan makhluk hidup lainnya,” ucap Wardah.
Reformasi ini, menurutnya, bukan hanya tentang mengubah kurikulum pendidikan, tetapi juga tentang mengubah paradigma masyarakat secara lebih luas.
“Pendidikan harus menjadi pendorong utama perubahan sosial dan ekologis. Kita perlu mengajarkan anak-anak kita untuk menjadi agen perubahan yang mampu mempertahankan keberlanjutan planet ini dan membangun masyarakat yang adil dan harmonis,” tutupnya.
Unusa water dan insinerator
Berkait dengan peluncuran Unusa Water sebagai solusi inovatif untuk pengelolaan air bersih dan insinerator untuk solusi ramah lingkungan untuk pengelolaan limbah di pondok pesantren, Ketua Center For Environmental Health of Pesantren (CEHP) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unusa, Achmad Syafiuddin, Ph.D, mengungkapkan, Unusa Water dirancang untuk memurnikan berbagai jenis air seperti air selokan, sungai, rawa, dan sumur menjadi air layak konsumsi atau keperluan sehari-hari.
“Dibandingkan dengan metode tradisional yang hanya mengurangi lumpur tanpa mencapai standar kualitas air yang baik, Unusa Water menjanjikan hasil yang lebih baik dan aman,” katanya.
Saifuddin menjelaskan, teknologi ini bekerja melalui tiga konsep utama; filtrasi, adsorpsi, dan disinfeksi bakteri menggunakan sistem UV.
“Proses filtrasi dan adsorpsi bertanggung jawab untuk menghilangkan partikel dan kontaminan, sementara sistem UV memastikan air bebas dari bakteri berbahaya. Kesederhanaan teknologi ini membuatnya mudah dioperasikan dan dirawat, bahkan oleh masyarakat awam. Salah satu keunggulan signifikan Unusa Water adalah kemampuan untuk mengolah air dari sumber yang sangat tercemar menjadi air bersih yang layak minum,” ungkapnya.
Sedang untuk peluncuran insenerator, hadir dari keprihatinan para peneliti di CEHP Unusa terhadap masalah pengelolaan sampah yang tidak memadai di pondok pesantren.
“Tujuan utamanya untuk menyediakan solusi efektif dan ramah lingkungan dalam pengelolaan sampah, khususnya di lingkungan pondok pesantren yang sering menghadapi kendala dalam pengelolaan limbah rumah tangga,” kata Syafiuddin, yang namanya tercatat sebagai dua persen peneliti top dunia yang dirilis oleh Elsevier dan Stanford University.
Unusa incinerator memiliki keunggulan signifikan dibandingkan dengan insinerator konvensional. Sistem pembakaran dirancang agar tidak mengeluarkan asap, sehingga relatif tidak mencemari lingkungan. Sampah dibakar secara maksimal di dalam tungku, kemudian asap dilewatkan melalui pipa berisi air untuk menurunkan suhu. Setelah itu, asap disemprot dengan air sehingga semua partikel asap larut dalam air dan ditampung menjadi pupuk cair jika sampah yang dibakar adalah organik.
Syafiuddin menambahkan, pada tahap awal, Unusa Insinerator menargetkan pengelolaan sampah rumah tangga di pesantren.
“Kami terus mengembangkan sistem ini agar dapat digunakan untuk berbagai jenis limbah, termasuk limbah medis,” ungkapnya.
Syafiuddin menjelaskan, keuntungan utama dari penggunaan Unusa Insinerator adalah dampak positifnya terhadap lingkungan.
“Dengan tidak mengeluarkan asap, sistem ini membantu mengurangi polusi udara dan memberikan solusi pengelolaan limbah yang lebih bersih,” jelasnya.