Suaramuslim.net – Ada sebuah nama yang bergema di belantara sejarah, melintasi batas-batas geografis, agama, dan budaya, yaitu: Ibnu Sina, atau yang di Barat dikenal sebagai Avicenna. Sosok ini tidak hanya meninggalkan jejak besar dalam dunia kedokteran, tetapi juga menjadi simbol kejeniusan manusia yang tidak mengenal batas.
Ibnu Sina lahir pada tahun 980 di Afshana, sebuah desa kecil dekat Bukhara, wilayah yang kini menjadi bagian dari Uzbekistan. Di usia yang begitu belia, ia sudah menunjukkan bakat luar biasa.
Pada usia 10 tahun, ia telah menghafal Al-Qur’an sepenuhnya, 30 juz, sebuah prestasi yang mengawali perjalanan intelektualnya. Tidak hanya itu, ia juga mempelajari ilmu filsafat, matematika, dan astronomi dengan antusiasme yang menggelora. Sepertinya tak ada waktu baginya untuk “bermain-main.”
Namun, yang menjadikannya sosok legendaris adalah perannya dalam dunia kedokteran. Di usia 16 tahun, Ibnu Sina telah mulai mempraktikkan pengobatan. Ia tidak hanya sekadar menguasai teori-teori medis dari para pendahulunya seperti Hippocrates dan Galen, tetapi juga melakukan inovasi luar biasa.
Karyanya yang paling monumental, Al-Qanun fi al-Tibb (The Canon of Medicine), menjadi kitab suci ilmu kedokteran di dunia Barat dan Timur selama lebih dari 500 tahun. Bayangkan, di saat banyak bangsa masih berkutat dengan mitos-mitos medis, Ibnu Sina sudah bicara tentang pentingnya diagnosis yang akurat dan terapi berbasis bukti.
Apa rahasia Ibnu Sina? Jawabannya ada pada kerja keras, rasa ingin tahu yang tak pernah padam, dan keberanian untuk melawan arus.
Dalam salah satu bab di Al-Qanun, ia menulis tentang penyakit menular dan bagaimana air serta udara dapat menjadi media penyebarannya. Gagasannya ini, yang dianggap terlalu maju untuk zamannya, baru diterima dunia medis secara luas berabad-abad kemudian.
Berhenti sampai di situ sebagai ilmuwan dan ahli kedokteran? Tidak. Ibnu Sina bukan hanya seorang ilmuwan. Ia juga seorang pemimpin spiritual, seorang filsuf yang menyelam dalam samudra makna kehidupan.
Dalam filsafatnya, ia berbicara tentang hubungan antara jiwa dan tubuh, tentang pentingnya menjaga keseimbangan fisik dan mental. Konsep ini sangat relevan, bahkan di era modern ini, di mana kesehatan mental menjadi perhatian utama.
Namun, hidup Ibnu Sina tidak selalu berjalan mulus. Ia sering kali diusir dari satu tempat ke tempat lain karena intrik politik. Meski begitu, pengasingan tidak pernah membuatnya berhenti berkarya. Bahkan, beberapa karyanya yang paling penting justru lahir di masa-masa sulit ini.
Sebuah pelajaran besar bagi kita semua: keterbatasan bukanlah alasan untuk berhenti bermimpi.
Generasi Z perlu diajak belajar banyak dari Ibnu Sina. Dalam era serba instan ini, di mana informasi begitu mudah diakses tetapi sulit dicerna, kita perlu membekali Generasi Z untuk mengambil pelajaran dari Ibnu Sina.
Apa pelajarannya? Ibnu Sina mengajarkan pentingnya proses. Ia membaca, merenung, meneliti, dan menulis dengan penuh kesabaran. Dalam setiap karyanya, ada kedalaman, ada refleksi, ada dedikasi. Itulah yang membuat warisannya abadi.
Kini, lebih dari seribu tahun sejak masa hidupnya, nama Ibnu Sina tetap hidup. Tidak hanya di buku-buku teks kedokteran, tetapi juga di hati mereka yang percaya pada kekuatan ilmu pengetahuan.
Bagi kita, Ibnu Sina adalah inspirasi. Ia adalah pengingat bahwa dengan kerja keras, iman, dan kecintaan pada ilmu, kita bisa menaklukkan keterbatasan, menciptakan perubahan, dan meninggalkan jejak yang tak terhapuskan.
Dalam konteks Indonesia, semangat Ibnu Sina ini seharusnya menjadi inspirasi bagi para cendekiawan Muslim, termasuk organisasi seperti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
ICMI memiliki tanggung jawab moral untuk melahirkan karya-karya monumental yang relevan dengan tantangan zaman. Dengan memadukan ilmu pengetahuan modern, nilai-nilai keislaman, dan kepedulian sosial, ICMI dapat menjadi motor penggerak bagi kemajuan bangsa. Figur dan ikon Ibnu Sina perlu dipertimbangkan dalam organisasi ICMI sebagai inspirasi.
Para cendekiawan Muslim Indonesia perlu meneladani ketekunan dan keberanian Ibnu Sina dalam menghadapi rintangan. Para aktivis di ICMI harus menjadi pemikir dan inovator yang mampu menjawab masalah-masalah besar, mulai dari isu pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi.
Selain itu, dengan mendekatkan generasi muda, khususnya Generasi Z, pada ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual, para cendekiawan di ICMI dapat membentuk generasi baru yang kritis, kreatif, dan berkarakter.
Seperti yang ditulis Ibnu Sina, “Manusia adalah makhluk berpikir; tugasnya adalah memahami dunia dan memperbaikinya.” Mari kita jalani pesan ini. Seperti Ibnu Sina, mari kita berkarya, berinovasi, dan memberikan yang terbaik bagi umat manusia.