Dialog imajiner dengan B.J. Habibie (Seri-4); Inspirasi sejarah berdirinya ICMI

Suaramuslim.net – Pagi itu, sebutlah Ahad, 9 Februari 2025, aku tengah melaju di jalanan yang relatif masih sepi, menuju Taman Dayu Pandaan. Udara segar dan ruang terbuka yang luas tampaknya menjadi tempat terbaik untuk merenggangkan tubuh dan pikiran. Di dalam mobil yang meluncur dengan tenang, aku bisa menikmati indahnya panorama sepanjang jalan yang kami lalui. Dan, pastinya kesempatan baik untuk merenung.

Di tengah perenungan itu, aku merasa ada yang hadir di sampingku. Aku menoleh. Terbayang, di kursi penumpang sampingku, duduk dengan tenang, sosok yang tak asing bagiku: Bapak B.J. Habibie.

Aku tidak bisa menahan diri, dan langsung bertanya dengan penuh rasa ingin tahu:

“Pak Habibie…!? Apakah benar ini Anda…?”

Pak Habibie menarik napas dalam, lalu menjawab dengan suara yang lembut, namun tegas:

“Ah, ini bukan hal yang aneh, bukan? Saya selalu hadir di dekat orang-orang yang tulus berusaha memberi kebaikan, terutama kepada mereka yang peduli dengan nasib bangsa ini. Termasuk Anda, yang sedang berusaha menyemangati para pengurus ICMI untuk tidak lelah dalam berkontribusi.”

Aku terkejut, kata-katanya begitu menenangkan. Aku mencoba mengungkapkan keterkejutanku:

“Tapi Pak… Saya hanya sedang berpikir tentang bagaimana cara saya bisa menulis cerita tentang ICMI, tentang bagaimana sejarahnya bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang. Dan tiba-tiba, Bapak hadir di sini. Saya benar-benar terkejut.”

Pak Habibie tersenyum kecil.

“Terkadang, saat kita merenung dengan sungguh-sungguh, jawaban datang dari arah yang tidak terduga. Saya hadir bukan untuk menjawab pertanyaanmu, tapi untuk mengingatkanmu tentang perjalanan panjang dan penuh arti dari ICMI itu sendiri.”

Aku terdiam sejenak. Namun keinginan untuk tahu lebih banyak, tak bisa ditahan. Aku pun memulai pertanyaan berikutnya:

“Oh iya, Pak. Bagaimana awal mula terbentuknya ICMI? Saya ingin sekali membagikan kisah ini dengan cara yang bisa menyentuh hati, terutama bagi generasi muda saat ini.”

Dengan suara yang tenang, Pak Habibie mulai membuka kisahnya:

“ICMI lahir dari sebuah pertemuan kecil di masjid kampus Universitas Brawijaya, Malang, pada Februari 1990. Waktu itu saya belum pernah bertemu dengan mereka, mahasiswa-mahasiswa itu… Sebelum akhirnya menemui saya di Jakarta…”

“…Mereka datang dengan kegelisahan. Mereka merasa bahwa umat Islam Indonesia terpecah-pecah, terkotak-kotak. Mereka sadar bahwa jika kita terus berjuang secara terpisah-pisah, hasilnya tidak akan optimal. Mereka merasa perlu ada wadah yang bisa menyatukan potensi intelektual umat Islam Indonesia.” (Abdurrahim, Imaduddin, 1991, hal. 20).

Aku terdiam, membayangkan pertemuan kecil para aktivis mahasiswa UB di Masjid Kampus saat itu. Aku lalu terbayang betapa masjid kampus yang terkenal dengan nama “Masjid Raden Patah” itu dulu adalah juga saksi sejarah buat aku dan kawan-kawan aktivis UB lainnya saat kami sama-sama menjadi aktivis kampus di kurun waktu 1982-1986.

Sesaat kemudian aku tersadar untuk melanjutkan dialog dengan Pak Habibie.

“Jadi, benar-benar dimulai dari sebuah diskusi kecil, ya Pak?”

Pak Habibie mengangguk pelan, seraya berkata:

“Ya, sebuah diskusi yang sederhana, namun penuh semangat dan tanggung jawab. Mereka menyadari bahwa kita membutuhkan wadah yang bisa mempertemukan seluruh cendekiawan Muslim, yang tidak hanya terfokus pada satu tempat atau kelompok saja, tetapi merangkul seluruh Indonesia. Wadah yang mampu memberi kontribusi nyata untuk kemajuan bangsa, bukan hanya untuk umat Islam semata.” (Dawam Rahardjo, 1991, hal. 35).

Aku lalu bertanya lebih dalam, mencoba menggali perasaan Pak Habibie saat itu:

“Bagaimana perasaan Bapak saat itu? Apa yang membuat Bapak yakin untuk ikut terlibat?”

Pak Habibie menyandarkan tubuhnya dengan santai, tetapi matanya terlihat penuh semangat:

“Saya merasa tergerak. Saya bukan hanya seorang ilmuwan, bukan hanya seorang birokrat. Saya adalah bagian dari bangsa ini. Ketika mereka datang kepada saya dengan penuh keyakinan, saya merasa itu adalah panggilan yang tidak bisa saya abaikan…”

“…Saya berkata pada mereka, bahwa saya bersedia memimpin, tapi harus mengikuti prosedur yang benar. Sebagai seorang menteri, saya harus meminta izin dari Presiden Soeharto. Dan saya meminta mereka untuk mengumpulkan dukungan tertulis dari cendekiawan Muslim.” (Habibie, 1991, hal. 55).

Aku menyadari, betapa besar tantangan yang harus dihadapi saat itu. Aku mengangguk, dan sempat berkata:

“Tentu itu bukan langkah mudah, ya Pak Habibie.”

Pak Habibie tersenyum bijak:

“Betul. Tapi saya selalu percaya bahwa jika niatnya baik dan tulus, tidak ada yang tidak mungkin. Akhirnya, Presiden Soeharto memberi izin. Dan pada 7 Desember 1990, ICMI resmi berdiri di Malang…”

“…Kita tidak hanya mendirikan organisasi. Kita mengemban tugas yang lebih besar: memperbaiki nasib bangsa Indonesia dengan melibatkan para cendekiawan Muslim yang peduli pada negara.” (Rahardjo, 1991, hal. 60).

Aku menyadari betapa besar amanah yang diemban oleh Pak Habibie. Aku melanjutkan dengan pertanyaan lain:

“Dan saat itu, Bapak terpilih menjadi Ketua Umum pertama, kan?”

Pak Habibie mengangguk dengan penuh kerendahan hati:

“Benar. Saya merasa terhormat, tetapi lebih dari itu, saya merasa itu adalah amanah besar. ICMI bukan tentang saya atau nama besar saya. ICMI adalah tentang kontribusi kita bersama untuk kemajuan umat dan bangsa.” (Habibie, 1993, hal. 30).

Aku terdiam, merenung. Lalu melanjutkan bertanya:

“Pak Habibie, apakah Bapak sudah membayangkan saat itu bahwa ICMI akan berkembang pesat, dengan pengaruh besar di berbagai sektor? Ataukah Bapak sempat khawatir akan banyak cendekiawan Muslim yang tidak peduli?”

Pak Habibie menyentuh pundakku dengan lembut sambil berucap:

“Saya tidak bisa memprediksi masa depan. Tapi yang saya tahu, kita harus terus berjuang. Keberhasilan ICMI tidak diukur dari seberapa besar nama kita, tetapi dari seberapa besar manfaat yang bisa kita berikan untuk umat dan bangsa.” (Dawam Rahardjo, 1991, hal. 75).

Aku pandangi beliau dengan pandangan penuh hormat, merasa semakin yakin dengan kata-kata beliau.

“Pak Habibie, apa pesan Bapak untuk generasi muda, agar mereka merasa terpanggil untuk melanjutkan perjuangan ICMI?”

Pak Habibie tersenyum lembut:

“Pesan saya sederhana saja: Jangan pernah berhenti berusaha. Teruslah belajar, terus memberi manfaat untuk orang lain. Di ICMI, kita bukan hanya bertanggung jawab kepada umat Islam, tapi juga kepada bangsa Indonesia. Jangan lelah untuk terus berkontribusi.” (Habibie, 1991, hal. 90).

Saya terdiam. Suasana dalam mobil terasa hening. Karena betapapun, kehadiran beliau itu adalah imajinasi saya. Satu hal yang pasti, semangat ICMI yang lahir di Malang pada 7 Desember 1990 itu, harus tetap hidup dalam diri kita semua, para cendekiawan ICMI, di mana pun kita berada.

Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
Menjelang Silakwil ICMI Jatim, 15 Februari, Kampus UB

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.