Meriahnya penyambutan Erdogan, jejak panjang persaudaraan Indonesia dan Turki

Suaramuslim.net – Suasana itu begitu meriah, penuh kehangatan. Presiden Prabowo Subianto menyambut kedatangan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Istana Negara dengan totalitas yang luar biasa.

Ini bukan sekadar protokol diplomatik biasa. Di balik senyum dan jabat tangan erat itu, ada sesuatu yang lebih besar; sebuah pengakuan terhadap sejarah panjang hubungan dua bangsa. Hubungan yang bukan hanya berdiri di atas fondasi politik atau perdagangan, melainkan hubungan yang terjalin dari iman, dakwah, dan peradaban Islam yang pernah menyatukan keduanya.

Turki bukan sekadar mitra dagang atau sekutu strategis. Ia adalah saudara seiman yang telah lama hadir dalam lembaran sejarah Nusantara. Hubungan ini telah dimulai jauh sebelum republik ini lahir, bahkan jauh sebelum nama Indonesia dikenal dunia.

Hubungan itu diawali oleh para utusan dakwah yang datang membawa cahaya Islam, yang jejaknya masih bisa kita lihat hingga hari ini.

Maulana Malik Ibrahim: Jejak awal misi dakwah Kekhalifahan Utsmani

Di ujung akhir kejayaan Majapahit, datanglah seorang ulama besar dari tanah asing. Namanya Maulana Malik Ibrahim, dikenal di kalangan masyarakat sebagai Wong Agung. Namun, kehadirannya di Nusantara bukan sekadar kebetulan sejarah. Ia bukan hanya seorang pengembara biasa yang mencari keuntungan. Maulana Malik Ibrahim adalah bagian dari misi dakwah besar yang mendapat restu dan dukungan bahkan perintah dari Khalifah Turki Utsmani.

Dalam misi dakwahnya, Maulana Malik Ibrahim tidak hanya menyampaikan syariat Islam, tetapi juga memberikan sumbangan nyata bagi masyarakat Jawa. Ia memperkenalkan sistem irigasi modern, membendung sungai-sungai besar untuk membuka lahan persawahan yang lebih produktif. Sistem pengairan ini menjadi fondasi bagi pertanian di wilayah Gresik dan sekitarnya, yang saat itu masih bergantung pada teknik tradisional tadah hujan.

Lebih dari itu, ia membangun pusat-pusat pendidikan Islam, mengajarkan tauhid dan akhlak kepada masyarakat. Perlahan tetapi pasti, Islam mulai diterima bukan dengan paksaan, melainkan dengan keteladanan dan manfaat nyata bagi kehidupan masyarakat.

Inilah metode dakwah yang diwariskan oleh Kekhalifahan Utsmani; metode yang mengutamakan pembangunan peradaban, memberikan solusi kehidupan sebelum syiar terbuka.

Jejak Walisongo: Misi dakwah yang tersusun rapi

Maulana Malik Ibrahim membuka jalan bagi para wali lainnya. Dari tangan para Walisongo, dakwah Islam menyebar dengan cara yang sistematis dan damai. Ada Sunan Ampel yang membangun pusat pendidikan di Surabaya, Sunan Kalijaga yang merangkul tradisi lokal untuk mendekatkan Islam kepada rakyat kecil, hingga Sunan Giri yang terkenal dengan strategi dakwah politiknya di kerajaan-kerajaan Nusantara.

Namun, perlu kita ingat bahwa para wali ini bukan sekadar ulama lokal yang muncul tanpa hubungan dengan dunia luar. Mereka adalah bagian dari jaringan ulama internasional, yang mendapat inspirasi dari pusat dunia Islam, termasuk dari Kekhalifahan Utsmani.

Hubungan Nusantara dengan Turki bukan sekadar hubungan horizontal antarkerajaan, melainkan hubungan vertikal yang menyambung langsung dengan pusat kekhalifahan Islam.

Semangat jihad di masa Perang Diponegoro

Pada abad ke-19, ketika Pangeran Diponegoro mengangkat senjata melawan kolonialisme, jejak hubungan dengan Turki kembali muncul. Diponegoro bukan hanya seorang pejuang lokal, tetapi seorang pemimpin spiritual yang mengobarkan jihad fi sabilillah melawan penindasan. Bendera perangnya dihiasi dengan simbol-simbol Islam, mengingatkan kita pada panji-panji pasukan Turki Utsmani.

Ada kabar yang menyebutkan bahwa hubungan diplomatik dan moral antara para ulama di Nusantara dan Turki tetap terjaga selama masa ini. Meskipun tidak ada bukti dokumentasi pengiriman pasukan secara langsung, semangat jihad yang menyala di Nusantara jelas terinspirasi oleh perjuangan umat Islam di belahan dunia lain, termasuk Turki.

Mataram dan Kekhalifahan: Gelar Khalifatullah Sayyidin Panatagama

Di era Sultan Agung Mataram, hubungan ini bertransformasi dalam bentuk simbolik. Sultan Agung mengambil gelar Khalifatullah Sayyidin Panatagama, gelar yang diadopsi dari tradisi kekhalifahan Islam. Bagi Sultan Agung, Mataram bukan sekadar kerajaan lokal, melainkan bagian dari dunia Islam yang lebih luas. Hubungan ini tidak selalu terwujud dalam bentuk fisik, tetapi secara ideologis Mataram adalah bagian dari dunia Islam yang dipimpin oleh Turki Utsmani.

Solidaritas di zaman modern

Ketika Perang Dunia I meletus dan Kekhalifahan Utsmani berada di ambang kehancuran, umat Islam di Nusantara menunjukkan solidaritasnya. Surat kabar dan media di Hindia Belanda ramai memberitakan perjuangan Turki Utsmani melawan kekuatan Eropa. Beberapa ulama menggalang dana dan doa untuk mendukung perjuangan mereka.

Hingga kini, hubungan itu tetap hidup. Dalam bentuk yang lebih modern, Turki dan Indonesia terus bekerja sama di berbagai bidang: pendidikan, militer, dan ekonomi. Tetapi, di balik semua itu, ada hubungan yang tak bisa digantikan oleh sekadar kerja sama formal. Hubungan itu adalah hubungan iman.

Penyambutan meriah Presiden Erdogan adalah simbol dari hubungan itu. Sebuah pengakuan bahwa sejarah tidak bisa dipisahkan dari masa kini. Sebuah pengingat bahwa hubungan ini tidak akan pernah berakhir selama kita terus menjaga warisan iman dan peradaban yang pernah dirintis oleh para pendahulu kita.

Sejarah itu belum selesai. Turki dan Indonesia akan terus berjalan di jalur yang sama; jalur dakwah, jalur iman, dan jalur peradaban Islam.

Agus M Maksum
DPW Bakomubin Jawa Timur Bidang Komunikasi, Informasi, Ristek dan Inovasi

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.