Korupsi selalu selesai di Istana, tidak berlanjut di penjara

Suaramuslim.net – Kasus dugaan korupsi yang melibatkan angka fantastis kembali mengguncang negeri ini. Kali ini, jumlahnya mencapai ratusan triliun rupiah, mengundang keprihatinan dan tanda tanya besar: Negara apa ini? Bangsa apa kita ini? Mengapa setiap hari yang dibicarakan hanya soal korupsi dengan angka yang semakin besar?

Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, dalam sebuah forum diskusi, mengungkapkan kegelisahannya. Ia bahkan ragu apakah bangsa ini benar-benar telah sampai pada titik kegilaan seperti ini.

“Apakah iya kita segila ini? Saya ragu. Saya tidak yakin kita sudah sampai pada level ini. Tapi faktanya, wajah-wajah yang mengenakan rompi oranye itu, wajah-wajah muda. Apakah kita mengalami kaderisasi dalam soal korupsi?” ujar Sudirman dengan nada prihatin.

Korupsi yang terjadi kali ini disebut sebagai salah satu yang terbesar dalam sejarah Indonesia. Ironisnya, para pelaku yang ditangkap bukanlah tokoh lama, melainkan generasi baru yang seharusnya membawa perubahan.

“Saya ingin menyampaikan berkali-kali di forum ini, ini negara apa? Ini bangsa apa? Kok tidak pernah berhenti urusan seperti ini? Angkanya semakin naik, tetapi pola dan modusnya tetap sama,” tegasnya.

Korupsi: Selesai di istana, bukan ke penjara

Dalam perdebatan tersebut, Sudirman menyinggung bagaimana korupsi di sektor energi sudah lama terjadi dan selalu berakhir di lingkar kekuasaan.

“Ketika saya dipanggil Pak Jokowi pertama kali sebagai Menteri, saya sudah sampaikan bahwa menyelesaikan masalah energi dan mafia di dalamnya bukan soal teknis, tapi soal kelurusan pemimpin negara. Karena saya tahu, dari dulu, setiap upaya memberantas mafia energi selalu berakhir di sekitar lingkar kekuasaan. Mereka tidak tersentuh hukum. Mereka diselesaikan, bukan dituntaskan,” ungkapnya.

Hal ini menguatkan anggapan bahwa banyak kasus korupsi besar di Indonesia yang tidak berakhir dengan hukuman berat bagi para pelaku utama. Alih-alih diproses hingga tuntas, kasus-kasus ini justru “diselesaikan” di tingkat kekuasaan tertinggi.

Salah satu narasumber lainnya, Bung Rey, mengungkapkan keheranannya terkait jumlah uang yang dikorupsi.

“Saya kira uang 1 triliun saja sudah lebih dari cukup bagi seseorang, tapi ini ratusan triliun! Untuk apa uang sebanyak itu? Mereka ini bukan politisi yang butuh modal kampanye, bukan pebisnis besar yang perlu investasi besar. Ini membuat kita bertanya-tanya, uang itu sebenarnya untuk siapa?” katanya.

Menurutnya, korupsi di Indonesia bukanlah tindakan individu, melainkan kerja kolektif yang terstruktur.

“Korupsi di negeri ini selalu dilakukan secara berjamaah. Tidak mungkin seseorang melakukan ini sendirian. Mereka memiliki protektor di atasnya, entah itu pimpinan holding, menteri, atau bahkan lebih tinggi lagi,” katanya.

Ketika korupsi menjadi sistematis

Dalam forum tersebut, disoroti pula bagaimana skandal korupsi kali ini menunjukkan pola yang berulang dari kasus-kasus sebelumnya.

“Setiap lima tahun, kita kehilangan begitu banyak uang. Anehnya, ini selalu terjadi menjelang tahun politik. Apakah ini kebetulan? Ataukah ada pola sistematis bahwa korupsi ini memang dijadikan alat untuk mengumpulkan dana kekuasaan?” ujar Bung Rey.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa seolah-olah tidak ada niat dari pemerintah untuk benar-benar memberantas korupsi.

“Yang terjadi hanyalah perputaran orang. Pemain lama masuk penjara, pemain baru masuk ke sistem, lalu kembali lagi korupsi. Ini bukan pembersihan, ini hanya daur ulang!” Katanya.

Kasus yang melibatkan angka ratusan triliun ini menunjukkan bahwa korupsi bukan lagi sekadar penyimpangan, melainkan sudah menjadi sistem yang melekat dalam birokrasi.

“Dulu kita marah pada Petral karena dianggap terlalu dominan dalam impor minyak. Pemerintah pun membubarkannya. Tapi sekarang? Penggantinya justru lebih dahsyat korupsinya! Artinya, sistemnya tidak berubah, hanya orangnya yang berganti,” kata Bung Rey.

Salah satu hal yang mencolok dalam kasus ini adalah keterlibatan tokoh-tokoh di lingkaran kekuasaan. Sejumlah nama besar disebut-sebut memiliki peran dalam skandal ini, tetapi sampai saat ini belum ada kejelasan apakah mereka akan diproses hukum atau tidak.

“Kalau benar-benar ada kemauan untuk memberantas korupsi, maka harus dicek dulu, siapa yang memiliki konflik kepentingan? Siapa yang menikmati hasilnya? Tapi kalau hanya sekadar menangkap beberapa orang, itu bukan solusi. Itu hanya ilusi pemberantasan korupsi!” Tegasnya.

Prabowo akan ubah sistem?

Banyak pihak kini menanti bagaimana pemerintahan Presiden Prabowo Subianto akan menyikapi kasus ini. Apakah akan ada perubahan sistem yang nyata, ataukah hanya pergantian pelaku seperti yang sudah terjadi selama dua dekade terakhir?

“Yang paling penting sekarang adalah bagaimana kemauan politik di level tertinggi. Apakah kita hanya akan melihat satu per satu aktor ditangkap, lalu lima tahun lagi muncul kasus serupa dengan angka yang lebih besar? Ataukah kita benar-benar akan menghancurkan sistem korupsi yang sudah mengakar?” Pungkas Bung Rey.

Masyarakat kini hanya bisa menunggu, apakah skandal korupsi terbesar ini akan benar-benar dibongkar hingga ke akar, ataukah akan kembali menghilang dalam pusaran kekuasaan.

Satu hal yang pasti, korupsi jumbo di negeri ini selalu selesai di Istana, tidak berlanjut di penjara.

Agus M Maksum
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.