Suaramuslim.net – Ini adalah kisah seorang pemuda, yang dikenal sebagai tukang bubur di depan Kampus Universitas Al Azhar di Kairo Mesir. Seorang guru Al Qur’an tak dikenal di Kota Haifa Palestina, yang berasal dari Suriah. Seorang Ustadz yang ketika di Jenin, berdakwah kepada para pecandu madat sambil menghadap papan permainan dadu di cafe-cafe. Namun, pemuda inilah yang namanya masih menggema, bahkan 100 tahun lamanya setelah ia syahid.
Namanya menghancurkan tank-tank canggih, mengoyak sistem pertahanan militer terkuat dalam sejarah manusia, dan dilarang dikisahkan atau ditulis di media karena sangat berbahaya bagi kezaliman. Ia adalah putra seorang Syaikh di Suriah.
Suriah, tepat di awal abad 20 diserang pasukan Perancis. Perang besar pecah, nyaris menghancurkan Suriah berkeping-keping. Sementara Kaum Muslimin terombang-ambing, kekurangan ilmu dan sosok yang dapat memimpin mereka untuk bertempur. Dalam keadaan inilah, Sang Syaikh meyakini bahwa anaknya kelak akan menyelamatkan negeri Suriah dengan ilmu. Ayahnya mengirimnya ke kampus terbaik dunia saat itu, Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia belajar Ilmu syariat, Ilmu thariqat dan ilmu berjihad.
Saat menuntut ilmu, ia melihat ada keadaan yang sama dengan yang terjadi di negara asalnya. Penjajahan! Suriah dijajah Perancis, sementara Inggris leluasa menginjak-injak Mesir.
Dari sanalah ide perjuangan bebas dari penjajahan dimulai. Bersama seorang sahabatnya, ia mengumpulkan modal perjuangan dengan berjualan bubur di depan kampus. Perjuangan terus berlanjut ketika studinya selesai dan ia kembali ke Suriah.
Di Suriah ia mengajar Al Qur’an untuk anak-anak di siang hari, dan mengajar baca tulis orang dewasa di malam hari. Dalam kelas-kelas inilah, ia selalu menyelipkan semangat revolusi untuk merdeka dari penjajahan.
Ia sempat mengadakan perjalanan ke Istanbul dan dimuliakan sebagai pengkhotbah lulusan Universitas Al Azhar Mesir. Di Ibu Kota Kaum Muslimin inilah, tekadnya semakin kuat. Sekarang waktunya untuk melawan penjajah. Ia kembali ke kampung halamannya.
Usahanya dulu mengobarkan semangat perjuangan mulai menyala. Madrasah yang ia dirikan makin besar, cabangnya semakin banyak. Orang-orang senang belajar di sana karena tanpa biaya. Ia lalu menjual rumahnya dan membeli 34 pucuk senjata api. Itulah senjata api pertamanya. Ia membentuk pasukan, berlatih menembak dan mulai berani melakukan operasi militer menyergap tentara Perancis.
Namanya menjadi terkenal sebagai salah satu pemimpin revolusi Suriah. Ia pun diburu Pasukan Perancis dan di ancam hukuman mati. Ia lalu melarikan diri ke Palestina. Sepertinya, inilah rencana besar Allah untuk Palestina.
Pemuda ini mengamati tanda akhir zaman saat pengungsi Yahudi yang melarikan diri dari kekejaman Nazi meminta bantuan orang-orang di Palestina. Koloni pengungsi yang makin membesar itu membuatnya sadar, orang Yahudi itu jika dibiarkan, akan menginjak-injak Masjidil Aqsha.
Murid-muridnya mulai dibagi tugas. Pengajian rumahan berubah menjadi barak militer. Brigade perlawanan Palestina pertama ini siap menghadang Inggris dan Zionis. Di antara syarat untuk menjadi anggota brigade adalah “Mahir berbahasa Arab Fusha, hafal Al Qur’an 30 juz, ada di shaf pertama Shalat Subuh, Puasa Sunnah Senin Kamis, Puasa Ayamul Bidh.”
Namanya hingga hari ini mengganggu tidur kaum Zionis hingga lebih seratus tahun bahkan setelah syahidnya. Di tanggal 20 November 1935, ia syahid dengan puluhan lubang peluru di tubuhnya. Ia adalah orang pertama yang memimpin perlawanan terhadap Zionis di Tanah Palestina. Dialah Izzudin Al Qassam.