Ketika hakim korupsi, penegakan hukum hanya jadi ilusi di negeri ini

Tegaknya Hukum Berdasarkan Adilnya Hakim

Suaramuslim.net – Ada sebuah pepatah tua: jika benteng terakhir keadilan runtuh, maka kehancuran negeri tinggal menunggu waktu. Dalam konteks Indonesia hari ini, pepatah itu terasa nyata ketika kita menyaksikan kabar tiga hakim diduga menerima suap miliaran rupiah untuk membebaskan pelaku korupsi ekspor CPO. Lebih dari sekadar aib hukum, ini adalah tindakan subversif yang menggerogoti fondasi negara hukum dari dalam.

Tiga hakim; Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom; diduga menerima suap sebesar Rp22,5 miliar. Dana itu mengalir lewat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang ditengarai menerima total Rp60 miliar dari pengacara terdakwa kasus korupsi. Sebagai imbalannya: para terdakwa dilepas, dan keadilan dibungkam.

Subversi dari balik jubah kehakiman

Subversif, dalam pengertian klasik, merujuk pada tindakan yang merongrong kewibawaan negara. Biasanya dikaitkan dengan ancaman bersenjata atau pemberontakan ideologi. Tapi hari ini, tindakan paling berbahaya terhadap negara hukum justru lahir dari meja sidang yang sunyi, dari palu hakim yang dibeli, dan dari jubah yang kehilangan moral.

Hakim bukan sekadar pelaksana undang-undang. Ia adalah simbol tertinggi kepercayaan rakyat pada sistem. Ketika hakim memperdagangkan keputusannya, maka runtuhlah seluruh mitos bahwa hukum adalah panglima. Negara yang fondasi hukumnya lapuk tidak ubahnya rumah tanpa tiang. Ia bisa rubuh kapan saja, hanya menunggu gempa sosial berikutnya.

“Asal bayar, semua bisa bebas”

Selama ini, publik sering bersuara lirih: hukum di Indonesia bisa dibeli. Kini, suara lirih itu menjelma pekik kemarahan. Kasus ini bukan hanya membenarkan kecurigaan publik, tetapi menguatkan satu persepsi berbahaya: bahwa kejahatan bukan lagi perkara moral, melainkan perkara harga. Asal mampu membayar, semua bisa beres.

Bayangkan dampaknya. Petani sawit kecil yang ditindas tengkulak tidak akan percaya lagi pada keadilan. Aktivis antikorupsi akan putus harapan. Generasi muda akan melihat pengadilan bukan sebagai tempat mencari keadilan, melainkan tempat “negosiasi elite.” Lebih jauh lagi, rakyat bisa kehilangan kepercayaan terhadap seluruh sistem kenegaraan.

Negara harus hadir dengan tegas

Sudah saatnya negara memandang kejahatan di ranah peradilan sebagai extraordinary crime. Bahkan lebih dari itu, sebagai tindakan subversif sipil yang merusak dari dalam. Jika negara tegas terhadap aksi terorisme yang mengancam fisik warga, maka negara juga harus tegas terhadap aksi para hakim yang merampas keadilan rakyat lewat uang.

Langkah hukum terhadap para hakim ini harus menjadi panggung keterbukaan, bukan sekadar proses administratif yang sunyi. Publik perlu menyaksikan bahwa negara tidak bermain mata. Karena dalam perkara ini, bukan hanya individu yang salah, tapi ada sistem yang membusuk dan harus dibersihkan.

Reformasi peradilan tidak cukup dengan menambah regulasi. Kita butuh revolusi budaya di tubuh lembaga hukum. Seleksi hakim harus berbasis integritas, bukan sekadar portofolio akademik. Komisi Yudisial mesti diberi taji yang lebih tajam. Dan yang tak kalah penting: budaya tutup mulut dalam lingkungan hukum harus dihentikan. Perlindungan whistleblower harus nyata, bukan basa-basi.

Jangan tunggu krisis lebih dalam

Jika kita abai terhadap kasus ini, kita sedang memelihara bom waktu. Ketika publik sudah benar-benar kehilangan kepercayaan, maka celah-celah kecil akan membesar jadi retakan sosial. Dan ketika keadilan tidak bisa dicari di pengadilan, masyarakat akan mencari jalannya sendiri, yang bisa sangat destruktif.

Kita harus ingat, negara bukan hanya dibangun dari batu dan semen. Ia berdiri di atas kepercayaan. Dan kepercayaan itu, sekali hancur, tidak mudah dikembalikan. Maka jangan main-main dengan kepercayaan rakyat.

Negara hukum bukan komoditas

Negara hukum tidak akan pernah bisa bertahan jika hukum dijadikan komoditas. Apalagi jika pedagangnya adalah hakim. Saat ini, kita tidak sedang bicara soal tiga orang hakim. Kita sedang bicara tentang nasib sistem hukum kita ke depan.

Apakah kita akan biarkan sistem ini terus dijual dengan diskon besar? Atau kita berani membersihkannya meski harus menabrak kenyamanan para elite? Itu pilihan kita bersama. Tapi satu yang pasti: kalau keadilan terus diperjualbelikan, maka yang akan bangkrut bukan hanya hokum, tapi seluruh negeri.

Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur
Penulis Buku: “A to Z Korupsi”, Buku: “Agama Mengajarkan Antikorupsi”
Dosen Pendidikan Anti Korupsi pada Universitas Dr. Soetomo Surabaya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.