Suaramuslim.net – Setiap 21 April, potret Raden Ajeng Kartini muncul di layar kaca dan linimasa media sosial: berbusana kebaya, bersanggul rapi, dan berhias kutipan tentang “cahaya di tengah kegelapan.” Di sekolah-sekolah, anak-anak perempuan berdandan ala Kartini, menyanyikan lagu “Ibu Kita Kartini” dengan penuh semangat. Lalu, setelah itu? Semua kembali seperti semula.
Perayaan simbolik itu tak jarang mengalihkan perhatian dari pertanyaan yang lebih penting: sudah seberapa jauh perjuangan Kartini berjejak di zaman kita? Apakah perempuan Indonesia hari ini benar-benar merdeka dalam pikiran, pendidikan, dan pilihan hidupnya?
Kartini, sebagaimana tercermin dari surat-suratnya yang dikumpulkan dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, menempatkan pendidikan sebagai jantung dari emansipasi perempuan (Soeroto, 1979).
Ia bukan hanya menuntut sekolah untuk kaum hawa, melainkan juga ruang berpikir dan bernalar. Bagi Kartini, menjadi perempuan bukan berarti menjadi bayangan lelaki, tapi menjadi pribadi merdeka yang sadar akan potensi intelektualnya.
Namun, satu abad lebih setelah ia wafat, kenyataan hari ini masih menyimpan paradoks. Data dari BPS mencatat bahwa partisipasi pendidikan tinggi perempuan memang meningkat. Tapi angka itu belum selaras dengan partisipasi perempuan di sektor formal yang strategis, terutama dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Pendidikan tak otomatis melahirkan emansipasi, jika tak diikuti dengan perubahan sistem dan kultur.
Pengamat sosial menyebutkan, salah satu hambatan terbesar perempuan hari ini justru datang dari norma yang tak kunjung usang. Perempuan yang terlalu “ambisius” kerap dicap mengabaikan kodrat. Sementara yang memilih jadi ibu rumah tangga kadang dianggap tak cukup produktif. Di tengah dua stigma itu, perempuan seakan selalu dituntut membuktikan sesuatu, baik di ranah domestik maupun publik.
Di sinilah relevansi pemikiran Kartini belum selesai diuji. Bukan sekadar membicarakan soal “hak”, tapi soal bagaimana membentuk sistem yang memungkinkan perempuan berpikir bebas, memilih bebas, dan tetap dihargai apapun pilihannya.
Sebagai organisasi yang menghimpun kaum intelektual muslim, ICMI memandang isu emansipasi perempuan sebagai hal yang sangat serius dan strategis. Dalam berbagai diskusi internal, ICMI menegaskan bahwa perempuan bukan hanya calon ibu bagi anak-anaknya, tapi juga “ibu” bagi peradaban. Seorang perempuan yang cerdas dan bernalar tinggi akan melahirkan generasi yang tak sekadar patuh, tapi juga kritis dan mandiri.
Karena itu, ICMI mendorong peningkatan kapasitas perempuan di segala bidang: politik, ekonomi, pendidikan, hingga teknologi. Salah satunya dengan mengusulkan kuota 30 persen perempuan di berbagai lini pemerintahan sebagai langkah afirmatif menuju kesetaraan (Jakartasatu.com, 2024). Selain itu, pendirian Sekolah Politik Perempuan ICMI menjadi komitmen nyata dalam memperkuat keterlibatan perempuan dalam kebijakan publik (MPR.go.id, 2023).
Kartini sendiri tidak hidup cukup lama untuk melihat buah perjuangannya. Tapi kita yang hidup hari ini, tak punya alasan untuk berhenti meneruskan cita-citanya.
Tantangan emansipasi hari ini juga datang dalam rupa yang lebih halus: generasi Z perempuan yang tumbuh di era digital, penuh distraksi dan standar kecantikan semu. Mereka dibanjiri motivasi semu dari media sosial, tapi minim literasi kritis. Emansipasi zaman ini bukan lagi soal melawan penjajah fisik, tapi penjajahan pikiran: standar sukses yang sempit, kebebasan yang semu, dan obsesi pada validasi sosial.
Untuk itulah, perempuan Indonesia hari ini tak cukup hanya “berpendidikan”, tapi harus juga melek literasi digital, ekonomi, politik, dan spiritual. Seorang Kartini masa kini tidak hanya harus tahu bagaimana menjadi ibu yang baik, tetapi juga menjadi perempuan yang mampu berdiskusi, memutuskan, dan berdiri sejajar.
Perempuan yang berdaya bukanlah yang menyaingi lelaki, tapi yang merdeka dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Persis seperti yang dibayangkan Kartini, dan seperti yang ingin diwujudkan ICMI melalui pengarusutamaan peran perempuan dalam kebijakan dan ruang publik.
Satu hal yang tidak berubah sejak zaman Kartini: perempuan tetap menjadi fondasi bangsa. Tapi cara kita memperlakukan perempuan akan menentukan, bangsa seperti apa yang ingin kita bangun.
Dan seperti kata Kartini sendiri, “Bukan sekali-kali kami hendak menjadi saingan kaum laki-laki, tetapi kami hendak bekerja bersama-sama, berjalan maju bersama-sama, supaya kami menjadi manusia yang cakap dan sempurna.” (Soeroto, 1979).
Zaman berubah. Tapi cita-cita Kartini masih menunggu kita semua: untuk diwujudkan, bukan sekadar diperingati.
Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur