Ijazah ditahan, hak pekerja disandera

Suaramuslim.net – “Ijazah itu bukan jaminan utang, tapi pintu masa depan. Menahannya sama saja menyandera hak hidup dan martabat seseorang.”

Belakangan ini, publik kembali dihebohkan dengan fenomena penahanan ijazah oleh perusahaan terhadap karyawannya. Ijazah, sebagai dokumen pribadi dan legal seseorang yang membuktikan capaian pendidikan dan kualifikasi, dalam banyak kasus dijadikan semacam “jaminan” oleh pemberi kerja.

Mirisnya, penahanan ini kerap masih terjadi meskipun hubungan kerja telah berakhir, baik karena pengunduran diri, pemutusan kontrak, atau bahkan pemecatan. Para pekerja tidak bisa melamar pekerjaan baru karena dokumen penting mereka masih “tersandera” di meja HRD perusahaan sebelumnya.

Praktik yang tak memiliki dasar hukum

Secara normatif, tidak ada dasar hukum yang memperbolehkan penahanan dokumen pribadi oleh pemberi kerja. Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003) tidak menyebutkan bahwa ijazah dapat dijadikan jaminan kerja. Bahkan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata Pasal 1365) menyebutkan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain wajib diganti kerugiannya.

Sementara itu, KUHP Pasal 372 juga dapat dikenakan bagi pelaku yang menyimpan atau menggunakan barang milik orang lain secara melawan hukum, termasuk dokumen pribadi seperti ijazah. Beberapa pengacara bahkan mengategorikan penahanan ini sebagai bentuk penggelapan atau penahanan barang tanpa hak.

Namun celah dalam regulasi membuat banyak kasus ini tidak kunjung selesai. Pekerja yang menjadi korban sering kali tak berdaya, tak tahu harus melapor ke mana, atau bahkan takut bersuara karena khawatir masuk dalam “daftar hitam” perusahaan lain.

Etika perusahaan dan keadilan sosial

Dalam konteks hubungan industrial modern, tindakan menahan ijazah adalah bentuk relasi kuasa yang timpang. Ini bukan soal administrasi, tapi menyangkut etika bisnis dan perlakuan adil terhadap pekerja. Padahal, karyawan adalah aset perusahaan, bukan objek yang bisa dikendalikan dengan cara-cara koersif.

Linda Treviño dalam bukunya Managing Business Ethics menyebutkan bahwa perusahaan yang sehat secara moral akan menjunjung nilai integritas dan menghormati hak-hak individu, termasuk dalam hal administrasi dan perlakuan pasca-kerja.

Dengan menahan ijazah, perusahaan tak hanya merusak citranya, tetapi juga menambah luka struktural dalam wajah ketenagakerjaan Indonesia: wajah yang masih penuh dengan ketimpangan, minim perlindungan, dan rapuh dalam menegakkan keadilan.

Negara harus hadir

Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan dan Dinas Tenaga Kerja Daerah harus lebih progresif menyikapi fenomena ini. Tidak cukup hanya menyebut penahanan ijazah “tidak etis”, tetapi perlu ada langkah hukum yang jelas: apakah pelanggaran ini bisa dilaporkan, bagaimana mekanismenya, dan bagaimana sanksinya.

Langkah-langkah yang bisa dilakukan antara lain: Pertama; Menerbitkan regulasi yang secara tegas melarang praktik penahanan dokumen pribadi karyawan. Kedua; Membentuk tim mediasi cepat di Disnaker untuk menyelesaikan kasus-kasus yang masih berlangsung. Ketiga; Mendorong penguatan lembaga pengawas ketenagakerjaan agar proaktif melindungi hak pekerja.

Tak kalah penting, perlu edukasi massal kepada para pekerja tentang hak-haknya agar mereka tidak lagi menjadi korban dalam senyap.

Dari ketakutan menuju keadilan

Ijazah adalah simbol jerih payah, harapan keluarga, dan harga diri. Menahannya bukan hanya soal administrasi, tapi tentang menyandera masa depan. Di tengah semangat membangun kualitas SDM dan iklim ketenagakerjaan yang sehat, praktik semacam ini seharusnya sudah lama ditinggalkan.

Dunia kerja yang adil adalah dunia kerja yang menghormati hak, bukan menahannya.

Ulul Albab
Akademisi Universitas Dr. Soetomo Surabaya
Ketua ICMI Jawa Timur

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.