Hifz al-Mal dan napas keadilan buruh

Suaramuslim.net – Ada yang lebih hening dari jeda jam istirahat, lebih dalam dari makna upah, dan lebih luas dari lintasan mesin produksi: yakni keinginan manusia untuk dimengerti dalam pekerjaannya. Itu yang sering kali luput dalam peringatan Hari Buruh. Bukan hanya soal hak, tetapi juga harkat.

Tidak semua orang bekerja hanya karena terdesak kebutuhan. Seringkali, seseorang bangun sebelum fajar, menembus kemacetan, menahan tekanan, lalu pulang dengan lelah hanya untuk mengulangnya esok hari. Karena dalam kerja, ada harga diri yang dijaga, ada rasa berguna yang diperjuangkan. Di sanalah kerja menjadi lebih dari sekadar rutinitas. Tetapi lebih dari itu, ia membentuk ruang batin tempat manusia merawat makna dan martabatnya.

Ibadah dan kontribusi sosial

Dalam khazanah Islam, kerja dipandang bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan juga bagian dari ibadah dan kontribusi sosial. Maka ketika maqasid syariah menyebut hifz al-mal (perlindungan terhadap harta) tujuannya bukan hanya menjaga kekayaan dari kehilangan, tetapi memuliakan usaha halal yang diperoleh dengan jerih payah. Ia melindungi hasil kerja dari eksploitasi, dan menjamin bahwa yang diterima adalah pantas, adil, dan berkah.

Namun kerja tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu berada dalam lanskap kekuasaan, kebijakan, dan teknologi. Dalam teori hubungan industrial, John Dunlop memetakan tiga aktor utama: pekerja, manajemen, dan institusi kebijakan. Ketiganya terhubung dalam sistem nilai dan aturan. Bila relasi ini timpang, ketegangan pun muncul. Namun jika relasinya adil dan terbuka, maka kerja bisa menjadi ruang bertumbuh bersama.

Namun, ketimpangan dalam dunia kerja kini tidak selalu terlihat dengan jelas. Misalnya, buruh harian yang masih menerima upah di bawah UMR, pekerja paruh waktu yang belum mendapatkan jaminan yang memadai, bahkan guru PAUD yang terus mengabdi dengan penuh dedikasi meski gajinya masih jauh dari cukup. Seperti halnya seorang penjaga sekolah dasar di pinggiran kota, yang dengan tulus membuka gerbang setiap pagi, meskipun penghasilannya kadang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Ia bekerja bukan hanya untuk bertahan hidup, tetapi untuk memberi makna dan kontribusi dalam kehidupan sehari-hari. Ketika usaha tulus seperti ini tidak mendapatkan pengakuan yang semestinya, kita kehilangan lebih dari sekadar rasa keadilan. Kita kehilangan empati dan penghormatan terhadap sesama.

Keadilan sebagai poros harmoni sosial

Prinsip keadilan, dalam ajaran Islam, adalah poros dari harmoni sosial. Al-Ghazali pernah menyatakan, “Keadilan menata dunia, sedangkan ketidakadilan merusaknya.”

Dalam dunia kerja, ini berarti bahwa setiap individu, dengan perannya masing-masing, harus diperlakukan setara; dihargai bukan hanya dari produktivitas, tetapi dari kemanusiaannya.

Ibnu Khaldun mengungkapkan dengan tajam bahwa keadilan adalah syarat tegaknya peradaban. Bila keadilan goyah, sendi-sendi sosial pun ikut rapuh. Ini bukan sekadar refleksi sejarah, tapi pesan abadi: ketika buruh kehilangan haknya, yang terguncang bukan hanya kehidupannya, tapi juga keseimbangan masyarakat secara keseluruhan.

Hari Buruh, dalam terang itu, seharusnya menjadi ruang tafakur bersama. Sudahkah kerja hari ini memberi makna, atau justru mengikis kemanusiaan kita sedikit demi sedikit?

Kita perlu membayangkan ulang hubungan industrial yang tidak berhenti pada kepatuhan administratif, tetapi menyentuh dimensi relasional. Nilai-nilai seperti musyawarah, ukhuwah, dan maslahah tidak hanya hidup di ruang ibadah, tetapi juga di ruang negosiasi, di dalam struktur kebijakan, dan di hati para pemimpin organisasi.

Di banyak pelosok negeri, masih banyak buruh perempuan yang menjahit dari rumah dalam sistem borongan yang tidak menyentuh perlindungan hukum. Mereka bekerja di bawah radar formalitas, namun menopang ekonomi rumah tangga.

Di sinilah hifz al-mal menemukan makna sejatinya: bukan hanya menjaga aset ekonomi, tapi menjaga martabat mereka yang berjuang dengan peluh. Ia bukan sekadar legalitas, tetapi etika; bukan hanya kecukupan, tetapi keberkahan.

Sebagaimana dikatakan Al-Farabi, “Kota yang baik adalah tempat di mana setiap orang dapat meraih kebahagiaannya.”

Bila tempat kerja hari ini belum menjadi ruang seperti itu, maka Hari Buruh semestinya menjadi jeda yang menggugah kesadaran: bahwa relasi yang adil harus dibangun, agar ruang kerja tidak hanya menjadi ladang penghasilan, tetapi taman tumbuhnya peradaban.

Sebab pada akhirnya, buruh bukan hanya roda ekonomi. Mereka adalah penjaga nilai-nilai peradaban. Penyair diam yang tiap hari menulis bait-bait tentang harga diri, kontribusi, dan martabat, dengan tangan yang menggenggam kenyataan, dan hati yang tidak henti menakar harapan.

Heri Cahyo Bagus Setiawan
Dosen Pengajar MSDM di FEB Universitas Negeri Surabaya
Direktur Utama PT Riset Manajemen Indonesia

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.