Mengapa petugas haji sebaiknya muslim?

Suaramuslim.net – Pernyataan pemerintah dan DPR yang menyepakati petugas haji tidak harus beragama Islam di daerah minoritas memantik reaksi keras dari sebagian umat. Wajar jika isu ini berpotensi memunculkan kegaduhan, sebab haji bukan urusan administratif belaka, tetapi ibadah yang sarat dengan nilai spiritual.

Menurut penjelasan resmi, kebijakan ini terbatas pada petugas embarkasi di daerah-daerah dengan populasi Muslim minoritas, misalnya Papua atau Sulawesi Utara. Pemerintah menegaskan bahwa di Tanah Suci tetap hanya petugas Muslim yang akan mendampingi jemaah.

Artinya, keterlibatan non Muslim hanya sebatas dukungan teknis di embarkasi, seperti tenaga kesehatan atau pengelola logistik. Namun di sinilah letak persoalannya. Sepeka apapun batasan administratif diatur, publik tetap akan memandang bahwa penyelenggaraan ibadah haji sebaiknya sepenuhnya dikelola oleh mereka yang seiman.

Hal ini bukan soal diskriminasi, tetapi soal yang menyangkut rasa aman spiritual jamaah yang sedang menempuh perjalanan suci.

Merawat kesan dimensi spiritual

Ibadah haji adalah ritual transendental yang menuntut kesiapan fisik, mental, sekaligus bimbingan spiritual. Umat Islam yang menjalankan ibadah haji fokusnya adalah mendatangi panggilan Ilahi dan kerinduan untuk menyempurnakan rukun Islamnya. Kehadiran petugas Muslim memastikan bahwa interaksi yang terjadi tetap dalam bingkai religius, sehingga jamaah merasa lebih tenteram dan terlayani sesuai nilai-nilai keimanan.

Di sinilah pentingnya kepekaan. Bukan berarti non-Muslim tidak mampu bekerja profesional, tetapi lebih karena konteks pekerjaan ini sangat kental dengan dimensi syariat. Maka wajar jika umat berharap petugas yang ada pun mampu merasakan dan memahami ruh ibadah yang sedang dijalankan.

Argumen kebangsaan dan konstitusi

Dalam perspektif kebangsaan, Indonesia menjamin kebebasan beragama sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 UUD 1945. Kebebasan itu berarti negara berkewajiban memberi fasilitas terbaik bagi setiap umat beragama untuk beribadah sesuai keyakinannya. Maka, ketika umat Islam menunaikan haji, negara seharusnya mengerahkan segenap sumber daya Muslim untuk mendampingi ibadah tersebut.

Lebih jauh, alasan keterbatasan tenaga Muslim di daerah minoritas perlu ditinjau ulang. Indonesia memiliki stok besar profesional Muslim; dokter, perawat, logistik, administrator; yang bisa dimobilisasi ke berbagai daerah. Artinya, alasan efisiensi tidak cukup kuat untuk mengorbankan sensitivitas spiritual.

Selain dimensi teologis, ada pula risiko sosial yang patut diperhitungkan. Kebijakan ini berpotensi memicu resistensi dan memperlebar ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan DPR. Umat bisa merasa pemerintah dan DPR kurang peka terhadap nilai-nilai religius yang mereka junjung. Jika tak dikelola dengan baik, polemik ini dapat berkembang menjadi isu politik yang mengganggu stabilitas.

Rekomendasi paling diharapkan

Sebagai cendekiawan Muslim, saya berpandangan bahwa solusi terbaik adalah, Pertama; untuk menjaga kekhusyukan, sensitivitas, dan integritas penyelenggaraan haji, para petugas yang bersentuhan dengan jamaah wajib Muslim.

Pengalaman negara lain seperti Malaysia menunjukkan bahwa keterlibatan non-Muslim tidak pernah diizinkan pada aspek pelayanan jamaah, melainkan dibatasi pada dukungan teknis di luar ranah ibadah.

Kedua; mengutamakan mobilisasi tenaga Muslim lintas daerah. Pemerintah bisa merekrut profesional Muslim dari berbagai daerah untuk ditempatkan di wilayah minoritas, sehingga kebutuhan tetap terpenuhi tanpa mengurangi sensitivitas.

Ketiga; menyusun regulasi yang transparan dan eksplisit. Undang-undang, dan terutama Peraturan Menteri (Permen) yang akan mengatur detail soal ini harus jelas, agar publik tidak menafsirkan berlebihan.

Keempat; transparansi memang penting, tetapi bukan untuk melegitimasi kebijakan yang sejak awal kontraproduktif dengan esensi ibadah haji. Artinya. keterbukaan informasi tidak boleh dijadikan justifikasi untuk melangkahi sensitivitas syariat.

Pemerintah tentu memiliki niat baik dalam menyusun RUU Haji. Namun, dalam konteks ibadah, dimensi spiritual harus selalu menjadi prioritas utama. Negara tidak boleh hanya melihat haji sebagai urusan manajemen, tetapi justru yang lebih penting dari manajemen adalah memastikan bahwa ibadah haji didukung penuh oleh tim petugas dari mereka yang seiman.

Dengan menjaga sensitivitas ini, maka sesungguhnya DPR dan pemerintah tidak hanya menegakkan prinsip konstitusi, tetapi juga merawat ketenangan batin jutaan umat Islam Indonesia yang menunaikan panggilan suci ke Baitullah.

Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.