Suaramuslim.net – Kabar itu datang dari Canberra. Australia resmi mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Bagi sebagian orang, berita ini bisa saja hanya menjadi berita diplomasi biasa. Tetapi bagi dunia Islam, dan khususnya bagi Indonesia, berita ini adalah momentum yang jauh lebih besar dan strategis serta penting.
Australia memang bukan negara pertama yang mengakui Palestina. Lebih dari 140 negara sudah lebih dulu mengambil sikap yang sama. Namun, langkah Australia punya bobot tersendiri. Sebagai sekutu dekat Amerika Serikat, Australia selama ini dikenal mengikuti arus kebijakan Barat dalam isu Timur Tengah. Maka ketika Canberra mengambil jalan berbeda, getarannya terasa lebih keras.
Bagi Indonesia, pengakuan ini seharusnya menjadi peluang. Sejak era Bung Karno, Indonesia konsisten menolak penjajahan dalam bentuk apa pun. Palestina adalah simbol dari sikap itu. Dukungan Indonesia kepada perjuangan Palestina bukan hanya soal agama, tetapi juga soal prinsip.
Kini, dengan langkah Australia, diplomasi Indonesia bisa bergerak lebih luwes. Ada ruang baru untuk membangun koalisi global lintas blok demi perdamaian yang lebih adil.
Di sisi lain, dunia Islam pun mendapatkan amunisi moral tambahan. Selama bertahun-tahun, isu Palestina sering dipandang sebagai agenda eksklusif dunia Arab atau negara-negara Muslim. Maka, ketika negara-negara non-Muslim seperti Australia mulai mengakui Palestina, narasi itu menjadi runtuh. Perjuangan Palestina bukan lagi isu keagamaan, tapi isu kemanusiaan.
Dari perspektif Islam, pengakuan ini harus dibaca sebagai isyarat. Bahwa keadilan bisa datang dari pintu mana saja. Islam selalu mengajarkan persaudaraan universal, bahkan dengan mereka yang berbeda iman. Dukungan dari Australia bisa dilihat sebagai wujud nyata dari ajaran itu. Sebuah solidaritas kemanusiaan yang melampaui sekat peradaban.
Namun, kita tidak boleh naif. Politik internasional selalu penuh kalkulasi. Australia tentu punya pertimbangan strategis sendiri. Bisa jadi ini cara untuk menyeimbangkan citra di mata dunia, di tengah sorotan tajam terhadap kebijakan mereka di kawasan Pasifik atau isu migrasi. Tetapi terlepas dari motif itu, fakta tetaplah fakta: pengakuan itu memberi legitimasi tambahan bagi Palestina.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana Indonesia menyikapinya? Apakah kita cukup berhenti di level pernyataan dukungan? Atau berani mengambil langkah konkret, misalnya mendorong ASEAN agar satu suara dalam isu Palestina?
Kita pastilah tahu, bahwa solidaritas itu tidak bisa berhenti di pernyataan saja. Harus diwujudkan dalam aksi diplomasi, dalam forum internasional, bahkan dalam kerja sama ekonomi dan sosial. Indonesia dengan pengalaman panjangnya sebagai juru damai punya modal besar. Kita pernah menjadi mediator konflik di Kamboja, Mindanao, dan Aceh. Mengapa tidak mencoba peran serupa untuk Palestina?
Australia sudah membuka pintu. Kini giliran Indonesia dan dunia Islam untuk masuk, dengan membawa visi perdamaian yang berkeadilan. Jangan sampai momentum ini lewat begitu saja.
Karena, dukungan kepada Palestina bukan hanya soal politik luar negeri. Tapi cermin dari siapa kita. Bangsa yang sejak awal menolak segala bentuk penjajahan, bangsa yang menempatkan kemerdekaan sebagai hak segala bangsa. Dan selama masih ada bangsa yang terjajah, tugas itu belum selesai.
Yuk tetap semangat: Hapus segala bentuk penjajahan di manapun, dan “merdekakan semua bangsa di manapun”.
Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur