JAKARTA (Suaramuslim.net) – Baitul Maqdis Institute menyambut baik keputusan sejumlah negara seperti Inggris, Prancis, Kanada, Australia, Portugal dan lainnya yang secara resmi mengakui keberadaan dan kedaulatan Negara Palestina.
Direktur Eksekutif Baitul Maqdis Institute, Pizaro Gozali Idrus menilai, pengakuan ini harus dibaca secara kritis agar tidak berhenti pada simbolisme politik belaka dan memberikan makna terhadap perjuangan bangsa Palestina.
Pengakuan resmi atas Negara Palestina yang dilakukan oleh sejumlah negara Eropa dan Barat merupakan bentuk dukungan terhadap perjuangan rakyat Palestina yang telah lama mengalami penjajahan, apartheid, dan penindasan.
Meski demikian, lanjut Pizaro, pengakuan ini datang sangat terlambat.
“Rakyat Palestina telah mengalami penderitaan selama lebih dari satu abad dengan kehancuran besar-besaran yang terus berlangsung hingga hari ini, khususnya di Jalur Gaza,” ujar Pizaro dalam rilis yang diterima Suaramuslim.net, Selasa (23/09/2025).
Pengakuan yang terlambat dan dilakukan tanpa langkah nyata hanya akan menjadi hiburan sesaat yang kosong, jauh dari substansi penyelesaian masalah.
Inggris, yang kini mengakui Palestina, merupakan pihak yang bertanggung jawab sebagai salah satu aktor utama dalam sejarah awal penjajahan atas Palestina melalui Deklarasi Balfour tahun 1917, yang secara sepihak menjanjikan tanah Palestina kepada gerakan Zionis.
“Pengakuan yang baru diberikan 108 tahun kemudian ini merupakan ironi sejarah yang menyakitkan bagi bangsa Palestina,” kata Pizaro.
Menurutnya, langkah ini tidak cukup jika tidak disertai dengan pertanggungjawaban moral dan politik atas peran historis Inggris dalam tragedi panjang yang menimpa rakyat Palestina.
Baitul Maqdis Institute menegaskan pengakuan Negara Palestina seharusnya dibarengi dengan langkah nyata dan tegas untuk memberikan sanksi berat bagi penjajah Israel yakni penghentian penjualan senjata ke Israel, pemutusan kerja sama militer dan keamanan, pembekuan hubungan ekonomi dan politik dengan Israel, dan menyeret Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, Menteri Keamanan Itamar Ben-Gvir, Menteri Pertahanan Israel Katz, Kepala Militer Eyal Zamir, dan pejabat lainnya yang terlibat genosida ke pengadilan.
“Tanpa langkah-langkah strategis tersebut, pengakuan ini hanya bersifat simbolik dan tidak berpengaruh terhadap nasib rakyat Palestina,” tegas Pizaro.
Menurut Pizaro, faksi-faksi perlawanan di Palestina berhak untuk terus melawan genosida dan agresi brutal yang dilakukan penjajah Israel. Karena perlawanan bersenjata sebagai mekanisme pertahanan diri merupakan salah satu hak bangsa Palestina untuk bisa mempertahankan Tanah Air-nya, kedaulatannya, kebebasannya dari cengkeraman dan agresi Zionis Israel. Hak itu diakui oleh hukum internasional.
“Banyak warga Gaza menyambut pengakuan ini dengan skeptisisme. Mereka melihat dunia mengakui Palestina, namun genosida dan kehancuran masih terus terjadi. Apakah warga Palestina harus membayar harga semahal ini agar dunia mengakui mereka layak memiliki negara?” Imbuh Pizaro.
Ini menunjukkan bahwa tanpa tindakan nyata, pengakuan politik saja tidak cukup untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan yang berlangsung.
Baitul Maqdis Institute menekankan bahwa perjuangan Palestina bukan semata persoalan diplomatik, melainkan persoalan keadilan, hak asasi manusia, dan penegakan hukum internasional. Maka, pengakuan negara harus disertai dengan tindakan riil untuk menghentikan agresi, mengadili penjahat perang, dan menjamin hak-hak sah rakyat Palestina.
Pewarta: Mutia Arifin
Editor: Muhammad Nashir