Mengapa peringatan G30S/PKI kian memudar?

Membaca Jejak Kelam Kekejaman PKI

Suaramuslim.net – Hari ini, 30 September. Dulu, tanggal ini selalu mengingatkan kita pada satu peristiwa kelam dalam sejarah bangsa: Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan G30S/PKI. Namun belakangan, gema peringatannya semakin samar. Tayangan film dokumenter yang dulu rutin diputar, kini jarang terdengar. Upacara atau apel memperingatinya pun tak lagi seramai masa lalu. Bahkan nyaris tak terdengar.

Pertanyaannya: apakah memang ada desain untuk melupakan sejarah? Atau, sekadar tanda bahwa nasionalisme generasi kita mulai pudar?

Pertanyaan-pertanyaan itu penting kita ajukan, bukan untuk membangkitkan kebencian, tetapi demi menjaga kewaspadaan sejarah. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah abai terhadap memori kolektifnya.

Luka sejarah, dari kyai hingga jenderal

G30S bukan hanya soal catatan tentang tujuh jenderal yang gugur secara tragis. Lebih jauh, gerakan itu adalah puncak dari rangkaian kebrutalan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sudah berlangsung sejak jauh hari sebelumnya.

Sejarah mencatat, pada era 1948 di Madiun, PKI melakukan pemberontakan yang menelan korban ribuan jiwa. Para kyai, santri, dan tokoh masyarakat menjadi sasaran pembantaian. Laporan-laporan akademik, kesaksian saksi hidup, hingga penelitian sejarah menyingkap bagaimana masjid dibakar, pesantren diserbu, dan ulama dibunuh tanpa ampun.

Puncaknya terjadi pada 30 September 1965. Tujuh jenderal Angkatan Darat (pahlawan revolusi) menjadi korban kekejaman penculikan dan pembunuhan. Peristiwa itu tak boleh kita pandang hanya sebagai episode politik, tapi harus kita maknai sebagai tragedi kemanusiaan yang meninggalkan luka mendalam.

Mengapa PKI brutal?

Pertanyaan berikutnya adalah: mengapa PKI melakukan kebrutalan itu?

Dari sisi ideologi, PKI berangkat dari doktrin komunisme internasional yang menolak keberadaan agama dan kepemilikan pribadi.

Di mata ideologi ini, agama dianggap candu yang melemahkan rakyat, sementara kepemilikan tanah dan sumber daya harus dihapuskan. Konsep semacam itu jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan keindonesiaan yang religius dan plural.

Dari sisi politik, PKI ingin merebut kekuasaan secara total. Mereka melihat Angkatan Darat dan kelompok Islam (terutama para ulama NU) sebagai penghalang utama bagi ambisi mereka. Maka teror, fitnah, dan pembunuhan menjadi instrumen politik yang dianggap sah.

Dari sisi agama, jelas komunisme ateistik bertolak belakang dengan ajaran Islam maupun agama-agama lain yang hidup di Indonesia. Tak heran bila konflik ideologi itu akhirnya meletup dalam bentuk kekerasan terbuka.

Relevansi untuk masa kini

Mungkin ada yang bertanya: “Apa relevansinya peristiwa 1965 bagi generasi sekarang?” Jawabannya sederhana: sejarah adalah cermin. Jika kita menutupinya, kita akan kehilangan refleksi penting tentang siapa kita, bagaimana kita sampai di titik ini, dan apa yang seharusnya kita hindari ke depan.

Dalam konteks hari ini, peristiwa G30S menjadi peringatan bahwa ideologi ekstrem (apapun bentuknya) akan selalu menjadi ancaman bagi keutuhan bangsa. Bukan hanya komunisme, tetapi juga fundamentalisme, radikalisme, hingga paham yang suka menuduh intoleran kepada yang lain, sementara mereka sendiri justru melakukan paham intoleran berbaju modern. Semua itu berpotensi menggerogoti fondasi bangsa jika kita lengah.

Literasi sejarah untuk gen z

Di sinilah pentingnya memberikan edukasi dan literasi sejarah kepada generasi muda. Kita tidak bisa menyalahkan mereka, sebab dunia mereka kini lebih banyak dijejali konten hiburan digital daripada narasi kebangsaan. Tugas kitalah (para pendidik, orang tua, dan pemimpin bangsa) untuk menghadirkan kembali sejarah dalam bentuk yang kontekstual, inspiratif, dan relevan.

Gen Z perlu tahu bahwa peristiwa G30S bukan soal sejarah catatan masa lalu. Peristiwa tersebut adalah pelajaran berharga tentang bahaya ideologi yang menafikan kemanusiaan. Edukasi itu tidak harus dalam bentuk propaganda, bisa juga melalui literasi sejarah yang jujur, obyektif, dan akademik.

Mereka perlu diberi pemahaman bahwa kewaspadaan bukan berarti fobia terhadap masa lalu, tetapi sikap bijak untuk mencegah tragedi serupa terjadi lagi. Karena PKI bisa saja tidak hadir dalam bentuk lama, tetapi ideologi serupa bisa muncul dalam rupa baru yang lebih halus. Entah lewat narasi politik, ekonomi, maupun budaya digital.

Pesan moral dan refleksi kebangsaan

Sejarah kadang memang pahit, tetapi melupakannya lebih berbahaya. Itulah sebabnya mengapa setiap 30 September, bangsa ini masih perlu mengibarkan bendera merah putih setengah tiang. Bukan untuk seremoni, tetapi untuk refleksi mendalam: bahwa darah para pahlawan revolusi, para kyai, dan rakyat yang gugur harus menjadi pengingat untuk memperkuat nasionalisme.

Di tengah derasnya arus globalisasi, nasionalisme bukan berarti menutup diri, tapi justru harus jadi kemampuan menjaga jati diri. Menghormati sejarah, merawat perbedaan, dan menguatkan persatuan.

Generasi muda harus memaknai peringatan G30S sebagai momentum untuk meneguhkan kembali komitmen pada Pancasila, pada nilai religiusitas, dan pada kebangsaan yang humanis.

Hari ini, jika peringatan G30S terasa memudar, jangan buru-buru menyalahkan siapa-siapa. Justru momentum ini harus dijadikan ajakan untuk menghidupkan kembali literasi sejarah dengan cara yang kreatif, kritis, dan inspiratif.

Kita tidak boleh melupakan peristiwa 1965. Bukan untuk menyuburkan dendam, tetapi untuk menjaga kewaspadaan. Bukan untuk mengulang trauma, tetapi untuk meneguhkan nasionalisme.

Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.