L’État, C’est Moi: Ketika Raja Louis XIV Reinkarnasi di Istana Jakarta

Suaramuslim.net – Ada satu kalimat yang pernah mengguncang dunia politik Eropa: “L’État, c’est moi.” — Negara adalah aku.

Dulu diucapkan oleh Raja Louis XIV dari Prancis, sang Roi Soleil alias Raja Matahari, simbol absolutisme kekuasaan. Kini, entah kenapa, kalimat itu terasa bergaung lagi di Jakarta. Bukan dari mulut raja, tapi dari ruang pelantikan yang katanya republik.

Pelantikan Dony Oskaria sebagai Kepala BP BUMN hanyalah contoh kecil dari fenomena besar bernama: kerajaan terselubung dengan jubah republik.

Rakyat disuguhi drama legalitas, sumpah jabatan, dan lagu kebangsaan, tapi di balik layar, hukum hanya menjadi figuran. MK yang dulu sakral, kini seperti pelayan kerajaan; berdiri tegak hanya ketika diberi aba-aba.

Rangkap jabatan? Dilarang oleh MK. Tapi kalau sudah “atas restu”, larangan berubah jadi “kebijakan strategis”.

Kalau dulu lex superior derogat lex inferior, sekarang prinsipnya lex Prabowo derogat omnia lex; hukum Prabowo mengalahkan semua hukum.

Pejabat merangkap pengusaha? Boleh.

Pejabat jadi komisaris? Sangat boleh.

Pejabat jadi raja kecil di BUMN, asal loyal? Wajib hukumnya.

Negara ini perlahan bergeser dari rule of law ke rule of loyal. Yang penting bukan taat hukum, tapi taat kepada yang duduk di atas hukum.

Kini hukum bukan lagi teks, tapi napas kekuasaan. Ia hidup, mati, atau berubah tergantung nada suara dari Istana Negara.

Kalau penguasa bilang hitam itu putih, maka tugas para menteri, juru bicara, dan buzzer negara adalah menjelaskan kenapa putih itu justru lebih hitam daripada hitam itu sendiri.

Dan jangan salah, semuanya dikemas dengan bumbu nasionalisme.

“Demi mempercepat pembenahan BUMN.”

“Demi kemandirian ekonomi.”

“Demi efisiensi birokrasi.”

Padahal, kalau dibuka lapis-lapisnya, yang dipercepat cuma satu hal: akses para kroni menjamah keuangan negara.

Kita ini seperti hidup di panggung teater istana, di mana aktornya bicara tentang moral dan hukum, tapi di balik layar mereka tertawa sambil menandatangani keputusan yang menampar wajah rakyat.

Dan rakyat, seperti biasa, disuruh tepuk tangan. Kalau tidak, nanti dibilang “anti-negara”, “tidak nasionalis”, atau “tidak paham niat baik penguasa.”

Hukum kini hanya aksesoris konstitusional, semacam kalung demokrasi yang dipakai saat pelantikan agar terlihat elegan. Tapi setelah kamera mati, kalung itu dilepas dan diganti dengan rantai loyalitas.

Maka jangan heran kalau hari ini MK bisa diabaikan, DPR jadi stempel, dan para menteri bisa rangkap jabatan tanpa rasa malu.

Di republik yang sedang bermetamorfosis jadi monarki ini, aturan bukan untuk ditaati, tapi untuk ditabrak dengan gaya komedi. Kalau perlu, sambil pidato soal moral adab dan cinta tanah air.

Louis XIV mungkin sudah mati, tapi rohnya hidup kembali, kali ini di Istana Jakarta. Bedanya, dulu dia berkata dengan bahasa Prancis; sekarang kalimat itu diterjemahkan dengan logat nasionalisme penuh kepalsuan belaka.

“Negara adalah saya.

Dan hukum… ya, hukum itu tergantung siapa yang tanda tangan.”

Apakah Tuhan masih ditakuti?

Mungkin iya, tapi hanya kalau Dia punya surat keputusan presiden.

Cak Bonang
Aktivis Arek Kampung Suroboyo

Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.