Suaramuslim.net – Angga Bagus Perwira tidak akan kembali ke bangku sekolahnya di SMPN 1 Geyer, Grobogan. Bocah 12 tahun itu pergi terlalu cepat. Bukan karena penyakit, tapi karena kekerasan yang terjadi di tempat yang seharusnya menjadi ruang aman. Kita semua berduka, sekaligus bertanya, bagaimana mungkin sebuah institusi pendidikan bisa berubah menjadi arena perundungan yang merenggut nyawa?
Kematian Angga harus menjadi berita duka, sekaligus peringatan keras bagi dunia pendidikan kita. Betapapun, kasus ini sangat menggugah dan menggebrak nurani kita, sebab di balik seragam putih biru, ternyata bisa tersimpan fakta pahit bahwa sebagian anak kita masih hidup dalam ketakutan, bukan keteladanan. Sekolah yang seharusnya menumbuhkan cinta dan keberanian justru terperosok menumbuhkan luka yang dalam.
Sebagai Ketua ICMI Jawa Timur, saya merasa sangat prihatin. Bukan hanya terhadap peristiwa ini, tetapi terhadap lemahnya sistem perlindungan anak di lingkungan sekolah.
Sekolah harus kita maknai bukan sekadar sebagai tempat belajar matematika dan bahasa, tetapi juga ruang membangun karakter, empati, dan kemanusiaan. Ketika pengawasan guru melemah, ketika perundungan dianggap “kenakalan anak-anak,” maka di situlah nilai-nilai pendidikan sejati sedang runtuh.
Kita tidak sedang membicarakan kasus ini dalam kerangka individu semata. Kita sedang membicarakan cermin dari kondisi sosial yang lebih luas, yaitu: budaya kekerasan yang diterima sebagai sesuatu yang “biasa”. Padahal, satu tindakan kasar hari ini dapat melahirkan trauma yang membekas seumur hidup. Dalam kasus Angga, trauma itu bahkan berujung pada kehilangan nyawa.
Sudah saatnya semua pihak, mulai dari sekolah, dinas pendidikan, guru, hingga orang tua, perlu menegaskan kembali komitmen bahwa sekolah harus bebas dari segala bentuk kriminalitas.
Tidak boleh ada kekerasan yang ditutupi dengan dalih “proses pembinaan”. Tidak boleh ada siswa yang merasa sendirian menghadapi tekanan teman-temannya. Tidak boleh ada guru yang menutup mata karena takut mencoreng nama baik sekolah.
Kami, ICMI Jatim, mendorong agar sistem perlindungan siswa diperkuat secara nyata. Guru perlu dibekali dengan kemampuan deteksi dini terhadap perundungan. Sekolah wajib memiliki mekanisme pengaduan yang cepat, aman, dan rahasia. Orang tua perlu dilibatkan secara aktif dalam komunikasi harian dengan pihak sekolah. Dan pemerintah daerah wajib memastikan setiap sekolah memiliki satuan tugas pencegahan kekerasan yang benar-benar bekerja, bukan hanya formalitas.
Lebih dari itu, kita perlu menanamkan kembali nilai kekeluargaan dalam pendidikan. Sekolah harus kembali menjadi rumah kedua yang hangat, tempat setiap anak merasa diterima dan dihargai, apa pun latar belakangnya. Di sinilah esensi pendidikan sejati, yaitu: membentuk manusia yang bukan hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga berakhlak dan berempati.
Kita berutang kepada Angga. Bukan hanya soal mencari keadilan, tetapi untuk memastikan tidak ada lagi anak Indonesia yang harus pulang dalam keadaan tak bernyawa karena kekerasan di sekolah. Semoga peristiwa ini menjadi momentum refleksi dan reformasi moral bagi dunia pendidikan kita.
Saya menyerukan agar pihak berwenang mengusut kasus ini secara tuntas. Bukan sekadar mencari siapa yang bersalah dan berbuat kriminal, tetapi juga untuk memperoleh fakta yang sebenar-benarnya. Tujuannya adalah agar kita dapat belajar sebagai bangsa: memperbaiki sistem pengawasan, memperkuat pendidikan karakter, dan memastikan setiap kebijakan di masa depan benar-benar berpihak pada keselamatan dan martabat anak-anak kita.
Sekolah harus menjadi tempat tumbuhnya kasih sayang dan kedamaian, bukan kuburan bagi anak-anak generasi mendatang.
Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur