Suaramuslim.net – Ada peristiwa yang sedang mengguncang ruang publik kita beberapa hari terakhir. Sebuah tayangan di salah satu program televisi nasional, Trans7, menimbulkan gelombang reaksi yang luar biasa. Dunia pesantren — yang biasanya tenang, teduh, dan fokus pada tafaqquh fiddin — kali ini bangkit bersuara.
Para kiai, santri, dan alumni pesantren di berbagai daerah serempak mengekspresikan kekecewaan, bahkan kemarahan. Di sisi lain, ada pula kelompok yang justru membela stasiun televisi itu dengan dalih kebebasan berekspresi dan satire sosial.
Gelombang itu kini membesar di media sosial. Satu unggahan bisa viral dalam hitungan jam. Hastag-hastag bernada pembelaan kepada kiai dan pesantren pun bertaburan. Tak sedikit pula yang membalas dengan narasi tandingan, sebagian di antaranya bernada sinis.
Kita seperti menyaksikan dua arus besar yang berhadapan di dunia maya; antara mereka yang merasa nilai-nilai pesantren dinistakan dan mereka yang merasa tidak ada yang salah dengan tayangan tersebut.
Ujian kedewasaan umat
Sebagai Ketua ICMI Jawa Timur, saya memandang fenomena ini bukan semata soal konten televisi. Ini adalah ujian kedewasaan umat. Ujian tentang bagaimana kita mengelola emosi, menjaga adab, dan menimbang setiap reaksi agar tidak justru menambah bara dalam rumah besar kebangsaan kita. Sebab yang lebih berbahaya dari tayangan itu sendiri adalah kemungkinan ditungganginya kasus ini oleh kepentingan politik tertentu.
Dalam situasi saat ini yang penuh dinamika, isu agama selalu menjadi bahan bakar yang mudah menyala. Cukup satu percikan kecil, bisa membakar sentimen yang lebih luas. Karena itu, penting bagi umat untuk tidak reaktif dan tidak mudah diarahkan oleh framing pihak-pihak yang hendak memecah belah.
Kemarahan yang muncul dari hati santri dan para kiai adalah sesuatu yang wajar. Dunia pesantren memiliki kehormatan, nilai, dan marwah yang dijaga berabad-abad lamanya. Namun, ketika marah, kita harus tetap menjaga hikmah. Jangan sampai kemarahan yang lahir dari cinta pada agama justru berubah menjadi alat bagi kelompok lain yang ingin mengadu domba dan menciptakan ketegangan horizontal.
Saya melihat fenomena ini dari dua sisi. Dari satu sisi, kasus ini menyingkap betapa kuatnya daya hidup moral dan kultural pesantren di tengah masyarakat. Masyarakat tidak lagi diam ketika nilai-nilai agama mereka direndahkan. Ini pertanda baik; kesadaran spiritual masih hidup dan berdenyut kuat di tengah arus globalisasi.
Namun di sisi lain, saya juga melihat betapa rentannya ruang digital kita dari infiltrasi kepentingan yang tidak tulus. Banyak akun anonim, banyak narasi yang sengaja dibuat untuk memperuncing perbedaan, bahkan menstigmatisasi kelompok tertentu. Inilah sebabnya umat perlu tabayyun ; memeriksa, menimbang, dan tidak tergesa-gesa menghakimi.
Islam mengajarkan kita untuk menegakkan kebenaran dengan bil hikmah wal mau‘idhotil hasanah, dengan kebijaksanaan dan nasihat yang baik. Artinya, kita boleh tegas menolak pelecehan terhadap nilai agama, tetapi tetap dengan cara yang bermartabat dan beradab. Rasulullah SAW tidak pernah membalas caci maki dengan caci maki, tapi dengan senyum, argumentasi yang jernih, dan akhlak yang tinggi.
Alarm moral bagi media massa
Dalam konteks kebangsaan, kejadian ini seharusnya menjadi alarm moral bagi media massa. Dunia penyiaran harus lebih peka terhadap nilai-nilai kultural dan spiritual bangsa ini. Kreativitas boleh tinggi, tapi empati harus lebih tinggi lagi. Menghibur masyarakat tidak boleh dilakukan dengan menertawakan simbol-simbol yang dimuliakan umat.
Bagi pesantren sendiri, kasus ini justru bisa menjadi momentum refleksi dan kebangkitan. Pesantren tidak boleh terus dipersepsikan sebagai dunia tertutup yang jauh dari realitas media. Sebaliknya, pesantren harus hadir di ruang publik dengan narasi-narasi cerdas, segar, dan mencerdaskan. Jangan hanya bereaksi ketika diserang, tapi aktif menampilkan wajah Islam yang ramah, ilmiah, dan berperadaban.
ICMI Jawa Timur siap berada di garis depan dalam menjaga harmoni, memperkuat ukhuwah, dan mendorong dialog yang sehat antara dunia pesantren, media, dan masyarakat luas. Kita tidak boleh terjebak pada jebakan politik identitas yang memperuncing perbedaan di antara umat Islam sendiri.
Mari kita jadikan peristiwa ini bukan sebagai luka, tapi sebagai pelajaran kebangsaan — bahwa menjaga kehormatan agama tidak harus dilakukan dengan amarah, melainkan dengan kecerdasan dan keikhlasan. Karena bangsa ini tidak akan maju dengan saling mencurigai, melainkan dengan saling menghormati.
Semoga Allah SWT memberi kita hati yang jernih, akal yang sehat, dan keberanian untuk tetap bijak di tengah gelombang yang menguji kedewasaan umat.
Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur