Suaramuslim.net – Di sebuah fase dalam perjalanan bangsa ini, ada seorang presiden yang berkuasa seperti matahari siang hari: besar, terang, dan tidak memberi ruang pada bayangan.
Kekuasaan mengalir dari dirinya, mengatur apa yang boleh dikatakan dan apa yang harus dibungkam. Ia menentukan siapa yang pantas dipuji, siapa yang harus hilang dari catatan.
Di fase yang sama, ada seorang perempuan buruh pabrik. Tidak dikenal publik. Tidak memiliki pasukan. Hanya memiliki keberanian dan suara.
Namanya Marsinah. Ia menuntut sesuatu yang sederhana: Upah yang layak. Hak seorang manusia.
Dalam rezim yang takut pada suara kecil namun jujur, keberanian seperti itu dianggap ancaman. Ia dihilangkan.
Kasusnya digelapkan. Kebenaran dipaksa tenggelam dalam arsip yang ditutup rapat. Tetapi waktu adalah pengkhianat bagi kekuasaan.
Hari ini, nama yang pernah berusaha dibungkam itu justru berdiri sebagai simbol keberanian. Nama yang dulu direndahkan, kini diangkat oleh sejarah. Nama yang dulu dianggap gangguan, kini dianggap pahlawan.
Ironinya, sejarah bangsa ini menyaksikan dua nama dipajang di ruang yang sama: Pahlawan!
Seseorang yang memimpin rezim yang membungkam suara. Dan seseorang yang dibungkam oleh rezim itu.
Di sinilah sejarah tertawa kecil.
Kekuasaan bisa mengatur gelar. Tapi hanya sejarah yang mengatur kehormatan. Gelar dapat diberikan melalui upacara, tapi martabat hanya diberikan oleh keberanian.
Marsinah tidak membutuhkan monumen untuk diingat. Ia hidup dalam suara buruh yang terus menuntut keadilan. Ia hidup dalam kata berani yang diucapkan dengan gemetar.
Ada pahlawan yang naik karena jabatan.
Ada pahlawan yang naik karena keberanian.
Yang pertama ‘mungkin’ dihormati oleh negara.
Yang kedua, dihormati oleh sejarah, juga nurani.
Cak Bonang
Aktivis Srawungan Arek Kampung Suroboyo
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

