Suaramuslim.net – Pernahkah Anda merasa hidup berjalan seperti roda yang kadang berputar cepat, kadang tersendat, kadang terasa tak adil? Ada hari di mana segalanya terasa mudah, lalu esoknya seolah semua pintu tertutup.
Jika kita berada dalam momen seperti itu maka saatnya kita segera ingat Surah Al-Mulk. Kita buka dan kita baca dengan tenang. Rasakan kehadirannya seperti hembusan angin sore, lembut menenangkan. Ia seakan berbisik pelan: tenanglah, hidup ini memang ujian, tapi setiap ujian selalu mengandung makna.
Surah Al-Mulk, surah ke-67 dalam Al-Qur’an, disebut juga Al-Waqiyah al-Manjiyah, sang pelindung dan penyelamat. Ia terdiri dari 30 ayat yang pendek, namun isinya padat, dalam, dan menyentuh sendi-sendi eksistensi manusia: tentang kekuasaan, kehidupan, kematian, dan makna.
Menurut para ulama tafsir, seperti Ibnu Katsir dan Al-Maraghi, surah ini turun untuk meneguhkan hati umat Islam Makkah yang hidup di bawah tekanan. Namun, bagi kita yang hidup di zaman modern, tekanan itu pastinya sudah berganti bentuk. Bukan dari kaum Quraisy, tapi tekanan dari target, deadline, kecemasan finansial, atau kelelahan jiwa.
Mari kita baca. Ayat pertamanya begitu kuat: “Tabaarakal-ladzi biyadihil-mulk wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir.” Maha Suci Allah yang di tangan-Nya segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ayat ini adalah deklarasi keimanan sekaligus terapi psikologis. Ia menegaskan bahwa kendali hidup bukan di tangan manusia, bukan di tangan bos, bukan di tangan pasar, bahkan bukan di tangan diri kita sendiri. Semua berada di bawah kendali Allah.
Dalam dunia yang serba cepat, di mana manusia berlomba menjadi “pengendali”, ayat ini mengajak kita mengembalikan kendali itu kepada Sang Pemilik Kehidupan: Allah.
Mari kita lanjutkan membaca ayat kedua: “Dialah yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.”
Kata “ujian” di sini bukan ancaman, tapi penegasan bahwa hidup bukan kebetulan. Kita diuji bukan untuk disiksa, tetapi untuk ditumbuhkan. Viktor Frankl, psikolog yang selamat dari kamp Nazi, menyebut hal ini sebagai meaningful suffering, penderitaan yang bermakna. Hidup jadi lebih ringan saat kita tahu: ada makna di balik setiap lelah.
Lalu di ayat 3-5, Allah mengajak kita menatap langit menggambarkan harmoni ciptaan-Nya. Tidak ada satu pun “retak” di sana. Dalam tafsir modern, Quraish Shihab menyebut ini sebagai ajakan untuk berpikir ilmiah sekaligus spiritual.
Para ilmuwan pun menyebut rasa kagum terhadap alam sebagai spiritual awe, pengalaman yang menenangkan otak, menurunkan stres, dan meningkatkan rasa syukur. Langit, ternyata bukan sekadar pemandangan, tapi terapi jiwa.
Namun, Surah Al-Mulk juga jujur memberi peringatan keras, khususnya bagi mereka yang menolak kebenaran. Ayat 6–11 menggambarkan penyesalan orang-orang yang mendustakan, sedangkan ayat 12 memberi kabar bahagia bagi yang takut kepada Allah walau tanpa terlihat oleh manusia. Inilah pelajaran moral yang penting: iman bukan soal tampilan, tapi kesadaran batin.
Rasulullah SAW bersabda: “Surah Tabaarakal-ladzi biyadihil-mulk adalah surah yang mencegah pembacanya dari siksa kubur.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai).
Banyak orang memahami hadis ini secara magis, seolah cukup dibaca tanpa makna. Padahal, surah ini menyelamatkan karena mengubah kesadaran: membangkitkan tauhid, muraqabah (rasa diawasi Allah), dan istiqamah dalam amal.
Jika dibaca setiap malam, surah ini menjadi semacam meditasi spiritual, mengembalikan ketenangan sebelum tidur, sebagaimana “mindfulness before sleep” dalam psikologi modern.
Surah Al-Mulk juga bicara tentang rezeki. “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu jika Allah menahannya?” Begitu ayat 21 bertanya. Sebuah kalimat yang sederhana tapi sangat menenangkan: Rezekimu tak akan salah alamat. Ia datang pada waktunya, dengan caranya, lewat jalannya. Kadang lewat orang yang tak disangka, kadang lewat kehilangan yang justru menyelamatkan.
Dan pada bagian akhirnya, Allah mengingatkan keterbatasan manusia: “Kapan datangnya hari kiamat?” Pertanyaan klasik yang dijawab bukan dengan tanggal, melainkan dengan pesan: fokuslah pada kesiapan, bukan pada ramalan.
Di sini, Al-Mulk menutup perjalanannya dengan indah. Ia membawa kita dari rasa takut menjadi pasrah, dari cemas menjadi yakin, dari gelisah menjadi tenang.
Maka, kalau hidup terasa berat, bacalah Al-Mulk sebelum tidur. Bukan sekadar bacaan ritual, tapi percakapan batin dengan Allah.
Rasakan tiap katanya menenangkan dada. Ucapkan dalam hati: “Aku hidup dalam kerajaan Allah yang penuh kasih dan kebijaksanaan. Setiap ujian hidup adalah bagian dari kasih sayang dan pendidikan-Nya. Aku tenang, karena Allah Maha Mengatur dan Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Surah Al-Mulk bukan hanya tentang akhirat, tapi tentang bagaimana menjalani dunia dengan damai. Ia bukan sekadar surah pelindung, tapi juga penuntun, dari kebingungan menuju makna, dari keangkuhan menuju kesadaran. Dan jangan-jangan memang itulah yang paling kita butuhkan, yaitu: boleh banyak rencana, tapi harus lebih banyak tenang.
Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

