Transformasi Kemenag ke Kemenhaj

Kemenag Buka Beasiswa Program Magister Lanjut ke Doktor

Suaramuslim.net – Ide membentuk kementerian baru bernama Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj) muncul bukan hanya sebagai respons atas kompleksitas pengelolaan ibadah haji dan umrah, tetapi juga sebagai bentuk pengakuan bahwa sistem yang berjalan selama ini berada pada batas maksimal kapasitas organisasionalnya.

Setiap tahun, lebih dari 250 ribu jemaah haji dan jutaan jemaah umrah bergerak dari berbagai penjuru Indonesia menuju Tanah Suci. Arus mobilisasi ini bukan hanya ritual keagamaan, melainkan juga logistik raksasa, manajemen risiko, diplomasi internasional, pelayanan publik lintas negara, hingga tata kelola dana yang sangat besar.

Dalam konteks inilah gagasan pemisahan urusan haji dari Kementerian Agama (Kemenag) menjadi lembaga khusus mulai masuk dalam diskusi kebijakan nasional.

Namun persoalan ini tidak bisa dipahami secara hitam putih. Membentuk kementerian baru berarti mengubah struktur birokrasi, rantai komando, dan proses administrasi. Lebih dari itu, perubahan ini harus dilihat dalam perspektif teori administrasi publik, manajemen sektor publik, serta logika reformasi kelembagaan yang sehat dan berkelanjutan.

1. Kompleksitas layanan dan logika pemisahan fungsi

Selama puluhan tahun, Kementerian Agama memegang amanah mengelola penyelenggaraan ibadah haji. Tanggung jawab ini diperluas seiring meningkatnya minat masyarakat untuk berumrah. Namun sejalan dengan meningkatnya jumlah jemaah, bertambah pula kompleksitas masalah: antrean haji yang panjang, persoalan akomodasi, visa, kesehatan, perlindungan jemaah, hingga pengawasan terhadap Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).

Dalam perspektif administrasi publik, beban organisasi yang terlalu besar biasanya berujung pada overlapping functions, tumpang tindih kewenangan, dan menurunnya kualitas layanan.

Kementerian Agama mengelola terlalu banyak urusan, dari pendidikan madrasah hingga kerukunan umat, dari validasi produk halal hingga penyuluh agama. Urusan haji dan umrah menjadi hanya salah satu dari sekian banyak prioritas.

Karena itu, pembentukan kementerian baru dapat dilihat sebagai upaya restructuring untuk memastikan fokus dan spesialisasi. Dalam literatur organizational design, pemisahan fungsi adalah strategi untuk memperjelas mandat, memperkuat akuntabilitas, serta mengurangi risiko organisasi kehilangan fokus pada layanan utama.

2. Dari birokrasi rutin ke lembaga pelayanan khusus

Selama ini, pengelolaan haji berjalan dalam kerangka birokrasi klasik: prosedural, hierarkis, dan sangat terikat regulasi. Namun karakter layanan haji dan umrah sebenarnya menuntut logika berbeda: service delivery, responsivitas, dan manajemen operasi yang mirip dengan sektor logistik dan layanan internasional.

Kemenhaj, bila dirancang dengan tepat, berpotensi mengadopsi pendekatan New Public Management dengan mengedepankan: standar pelayanan publik yang terukur, kontrak kinerja, transparansi biaya, serta orientasi pada kepuasan dan keselamatan jemaah.

Lebih jauh, pendekatan public value memperlihatkan bahwa keberhasilan lembaga bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga bagaimana negara menciptakan nilai bagi warganya. Dalam konteks Kemenhaj, nilai publik itu berupa rasa aman, kelayakan layanan, dan pengelolaan ibadah yang bermartabat. Bila institusi baru mampu mewujudkan nilai-nilai tersebut, maka reformasi ini akan mendapat legitimasi kuat dari masyarakat.

3. Risiko fragmentasi dan beban transisi

Namun tidak ada reformasi kelembagaan yang bebas risiko. Pemisahan kementerian membawa tantangan, terutama dalam masa transisi. Dalam teori institutional change, pemindahan fungsi dari satu lembaga ke lembaga baru bisa menimbulkan: ketidakjelasan jabatan dan tugas, kekosongan koordinasi, potensi konflik kewenangan, serta meningkatnya biaya administrasi jangka pendek.

Selain itu, hubungan bilateral Indonesia–Arab Saudi terkait kuota, layanan, dan regulasi haji tidak sederhana. Selama ini urusan tersebut ditangani secara diplomatik melalui jalur keagamaan di bawah Kemenag. Kemenhaj harus memastikan kapasitas diplomasi tersebut tidak ikut hilang dalam proses restrukturisasi.

Untuk menghindari fragmentasi, struktur Kemenhaj harus terintegrasi dengan sistem administrasi nasional, termasuk sinkronisasi dengan Kemenaker, Kemenlu, Kementerian Perhubungan, BP2MI, serta otoritas kesehatan. Reformasi kelembagaan bukan sekadar memindahkan ruangan dan pegawai, melainkan membangun ulang ekosistem tata kelola.

4. Penguatan pengawasan, regulasi, dan governance

Salah satu kritik utama terhadap tata kelola haji dan umrah selama ini adalah lemahnya pengawasan terhadap biro perjalanan, lemahnya akuntabilitas publik, serta tidak sinkronnya data jemaah, kuota, dan keberangkatan. Dengan kementerian khusus, harapannya struktur pengawasan dapat dibuat lebih kuat, lebih independen, dan lebih profesional.

Dalam perspektif good governance, tiga pilar yang harus diperkuat adalah: (1). Kepastian regulasi, khususnya terkait izin PPIU, standar layanan, dan perlindungan jemaah. (2). Transparansi, termasuk keterbukaan biaya dan penggunaan dana haji. (3). Akuntabilitas publik, melalui mekanisme pengaduan yang efektif, audit reguler, dan keterlibatan masyarakat sipil.

Kemenhaj harus menghindari jebakan birokratisasi berlebih. Lembaga baru tidak boleh menjadi sekadar kantor baru yang mengulang pola lama. Justru transformasi ini harus menjadi momentum memperbaiki tata kelola secara sistemik.

5. SDM, profesionalisme, dan budaya organisasi baru

Persoalan paling mendasar dalam manajemen sektor publik adalah sumber daya manusia. Reformasi yang baik harus menempatkan profesionalisme sebagai inti, bukan sekadar rotasi jabatan. Untuk itu, Kemenhaj harus merancang: sistem rekrutmen berbasis kompetensi, pelatihan khusus manajemen layanan internasional, standardisasi petugas haji dan umrah, serta sistem promosi berbasis merit.

Budaya organisasi juga harus dibangun sejak awal. Banyak lembaga baru gagal karena mewarisi budaya birokratis lembaga lama, yang tidak sesuai dengan jenis layanan yang ingin dikembangkan. Kemenhaj harus memiliki etos pelayanan publik yang lebih cepat, adaptif, dan berorientasi jemaah.

6. Kepercayaan publik sebagai legitimasi utama

Transformasi kelembagaan tidak akan berarti bila tidak berdampak pada meningkatnya kepercayaan publik. Jemaah haji dan umrah berangkat dengan harapan spiritual yang besar; pelayanan yang buruk bukan hanya mengecewakan, tetapi merusak pengalaman ibadah.

Dalam kerangka public trust theory, legitimasi sebuah reformasi bergantung pada dua hal: Pertama: kemampuan organisasi menghasilkan layanan yang lebih baik, dan Kedua; kesediaan negara untuk menjaga integritas pelayanan.

Dengan demikian, keberhasilan Kemenhaj bukan hanya dinilai dari terbentuknya struktur baru, tetapi dari seberapa besar perbaikan nyata yang dirasakan masyarakat.

Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.