Suaramuslim.net – Bali selalu menghadirkan wajah “indah”. Di pulau inilah Silaturahmi Kerja Nasional ICMI 2025 digelar pada 5-7 Desember 2025. Berbagai media nasional dan daerah, offline maupun online, turut meliput dan meramaikan percakapan tentang ICMI di ranah publik.
Saya membaca banyak berita tentang Silaknas itu. Mulai dari media asal Bandung, Surabaya, Medan, Makassar, Manado, Palembang, Aceh, Banten, Yogyakarta, hingga media Bali sendiri. Judulnya mirip-mirip. Sudut pandangnya beragam. Tapi pesannya seragam. Yaitu “ICMI ditagih”. Bukan soal acara. Bukan soal forum. Tapi soal peran.
Silaknas kali ini memang ramai. Tapi yang menarik justru bukan keramaiannya. Tetapi tentang apa yang ditangkap media dari keramaian itu. Media melihat Silaknas bukan sebagai agenda organisasi semata, tetapi lebih dalam, yaitu sebagai ujian relevansi cendekiawan Muslim di tengah perubahan zaman.
Ketua Umum ICMI, Prof. Arif Satria, banyak dikutip. Hampir di semua berita. Kalimat kuncinya sama: inovasi dan keberlanjutan ekologis. Dua kata yang terasa akademik, tapi sesungguhnya sangat politis. Sebab begitu bicara keberlanjutan, kita sedang menyoal cara bangsa ini membangun. Karena, selama ini kita gemar membangun. Tapi tidak selalu gemar menjaga.
Arif Satria menegaskan pembangunan tidak boleh mengorbankan lingkungan. Media menuliskannya berulang-ulang. Mungkin karena kalimat itu terasa sederhana. Tapi justru karena sederhana, kita sering mengabaikannya. Pembangunan selalu punya alasan. Alam jarang punya pembela.
Bali adalah contoh nyata. Pariwisata maju. Ekonomi bergerak. Tapi tekanan ekologis nyata. Sampah. Air. Ruang hidup. Bali seakan menjadi catatan kaki dari apa yang kita sebut pembangunan.
Karena itu Silaknas di Bali terasa simbolik. Seperti mengingatkan: teori harus berani bertemu kenyataan.
Media juga menangkap penekanan pada sumber daya manusia. Yaitu: bahwa bicara sumber daya manusia harus dipastikan bukan sekadar bicara soal pintar. Tapi berkarakter. Berintegritas. Ini penting. Sebab bonus demografi bisa menjadi anugerah. Bisa juga menjadi bencana. Semua tergantung kualitas manusianya.
Kita sering bicara SDM unggul. Tapi jarang bertanya: unggul untuk apa? Untuk siapa?
Dalam banyak laporan, ekonomi halal juga mencuat. Tapi bukan sebagai simbol agama. Media justru menekankan pesan integrasi. Halal bukan stiker. Halal adalah sistem. Butuh riset. Butuh Industri. Butuh UMKM. Butuh Kebijakan. Tanpa itu, halal hanya slogan.
Dari membaca berbagai media itu saya juga menangkap satu kegelisahan yang sama di berbagai media: jangan-jangan forum cendekiawan berhenti di wacana. Kekhawatiran ini tidak diucapkan tajam. Tapi terasa. Seolah media ingin bertanya: setelah Silaknas, lalu apa?
Ini wajar. Masyarakat (publik) lelah dengan rekomendasi yang indah, tapi tak pernah turun ke kebijakan. Lelah dengan seminar megah yang tak mengubah arah pembangunan. ICMI, sebagai organisasi cendekiawan, tentu dituntut lebih.
Beberapa media bahkan menyebutnya jelas: Silaknas adalah ujian relevansi ICMI. Kata “ujian” itu menarik. Karena ujian selalu menuntut hasil. Bukan hanya niat baik. Tapi hasi. Sekali lagi, hasil.
Khusus dari perspektif Jawa Timur, bagi saya pesan itu terasa dekat. Jawa Timur sedang berlari cepat: industri, maritim, pangan. Tapi lari cepat tanpa arah bisa berbahaya. Di sinilah gagasan tentang inovasi berkelanjutan dan integritas menjadi penting. Tidak semuanya harus cepat. Ada yang harus tepat.
ICMI di daerah tidak bisa hanya menjadi penonton wacana nasional. Harus menjadi penerjemah. Mengubah gagasan besar menjadi kebijakan lokal. Mengawal agar pembangunan tidak tercerabut dari nilai.
Membaca media tentang Silaknas ini seperti membaca harapan publik. Media tidak menulis dengan nada menuduh. Tapi juga tidak memuji berlebihan. Mereka menunggu. Apakah ICMI benar-benar mau dan mampu melangkah lebih jauh.
Forum sudah selesai. Kursi sudah disusun kembali. Spanduk diturunkan. Tapi pekerjaan justru baru dimulai.
ICMI tidak kekurangan intelektual. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian keluar dari ruang nyaman. Dari diskusi ke keputusan. Dari rekomendasi ke pengawalan.
Indonesia menuju 2045. Waktunya tidak lama. Kita tidak butuh lebih banyak pidato tentang masa depan. Kita butuh lebih banyak keberanian untuk menata hari ini.
Itulah yang, saya kira, sedang ditagih media kepada ICMI.
Surabaya, 6 Desember 2025
Ulul Albab, ICMI Jatim.

