Suaramuslim.net – Kisah-kisah Nabi, sahabat Nabi, tabi’in dan tabiut tabi’in banyak mengajarkan kita bagaimana menjadi orang yang lebih baik lagi dalam menjalani hidup. Seperti kisah yang diceritakan oleh Abu Hanifah ketika melaksanakan tahallul untuk menyempurnakan ibadah umrahnya.
Abu Hanifah adalah seorang Tabi’in (generasi setelah sahabat Nabi). Ia memiliki nama Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi, dilahirkan pada tahun 80 Hijriyyah atau 699 Masehi di Kufah, Irak. Karena keluasan ilmunya, ia dijuluki masyarakat dengan nama Imam Al A’dzhom.
Suatu ketika Abu Hanifah menjalankan ibadah umrah, beliau hendak melakukan tahallul. Dicarinyalah tukang cukur yang berada di sekitar masjidil haram. Ketika sudah menemukan tukang cukur, beliau bertanya, “Berapa biaya cukur di sini?”. Tukang cukur tersebut menjawab, “Wahai saudaraku, bertakwalah kepada Allah. Engkau tahallul merupakan ibadah, dan saya mencukur kamu juga ibadah. Jangan tanya nilainya, bayarlah sesukamu”.
Pada saat duduk dan siap untuk dicukur, sang tukang cukur berkata, “Wahai fulan, duduklah menghadap kiblat. Saat ini kau sedang tahallul, alangkah baiknya jika kau menghadap kiblat”. Maka Abu Hanifah pun mengubah posisi duduknya untuk mengahadap kiblat.
Lalu, Imam Abu Hanifah memberikan sisi kiri kepalanya untuk dicukur terlebih dahulu. Tukang cukur tersebut berkata, “Bertakwalah kepada Allah, mulailah dengan sebelah kanan. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam gemar mendahulukan sisi sebelah kanan”.
Hal ini sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim (Muttafaqun ‘alaih), bahwa dari Aisyah radhiyallahu’anha, ia berkata, “Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam amat menyukai memulai dengan kanan dalam mengenakan sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam urusannya yang penting semuanya”. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Al Bukhari dalam Shahihnya dalam Kitabul Wudhu Bab at-Tayammuni fil Wudhu’i wal Ghusli 1/269 hadits no.168, dan Imam Muslim dalam Shahihnya, dalam Kitabu ath-Thaharati Babut tayammun fith Thahuur wa Ghairih 1/226 hadits no.268.
Kemudian pada saat dicukur, Abu Hanifah hanya duduk dan diam. Sang tukang cukur pun berkata, “Wahai fulan, jangan diam, berdizikirlah kepada Allah, saat ini kau sedang ibadah”.
Hingga pada saat selesai cukur, Abu Hanifah membayarnya dan pergi. Ketika akan pergi, tukang cukur tersebut berkata lagi, “Wahai fulan, kau ingin kemana?” Imam Abu Hanifah menjawab, “Saya ingin pulang”. Tukang cukur berkata, “Sebentar, kau baru saja melakukan tahallul. Sunnah Rasulullah berdoa setelah umrah, maka berdoalah. Sebab doa orang yang setelah umrah itu mustajab”. Maka Abu Hanifah pun berdoa.
Setelah itu, Abu Hanifah heran dengan tukang cukur yang daritadi menasehati dan memberinya ilmu. Keheranan tersebut muncul sebab penampilan tukang cukur tersebut yang tak seperti ulama, namun memberikan ilmu fiqih tahallul yang luar biasa kepadanya. Akhirnya, Abu Hanifah pun bertanya, “Saya ingin bertanya kepadamu atas nama Allah, darimana kau belajar lima hal tadi yang kau ingatkan kepada saya?”. Tukang cukur menjawab, “Dulu waktu saya mencukur Atha’ bin Abi Rabah, beliau mengajarkan saya lima hal itu”.
Melalui peristiwa ini, Abu Hanifah mendapatkan lima ilmu tentang hukum fiqih tahallul. Pertama, tidak membatasi ibadah dengan ukuran materi. Ibadah harus dilakukan karena Allah Azza Wa Jalla, dan senantiasa hanya berharap balasan dari-Nya.
Kedua, posisi duduk yang sebaiknya menghadap kiblat pada saat melakukan tahallul.
Ketiga, mendahulukan segala sesuatu urusan yang penting dengan sisi kanan. Sebagaimana hadits yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah menyukai mendahulukan sisi kanan dalam melakukan beberapa hal.
Keempat, memanfaatkan waktu untuk berdizikir (mengingat) Allah subhanahu wa ta’ala.
Kelima, berdoa sebanyak-banyaknya kepada Allah, termasuk sesudah melaksanakan ibadah umrah.
Kisah ini membuktikan kemasyhuran seorang Atha’ bin Abi Rabah dan ilmunya yang terus bermanfaat meskipun ia telah meninggal. Seorang tukang cukur yang pernah ia sampaikan ilmu kepadanya, menyebarkannya ilmu tersebut hingga Imam Abu Hanifah.
Semoga ilmu yang disampaikan oleh Atha’ bin Abi Rabah dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari termasuk ketika melakukan ibadah umrah. Sikap seorang Abu Hanifah yang mendengarkan dan menerapkan ilmu yang disampaikan oleh tukang cukur juga patut kita teladani.
Kontributor: Aiman Bahalwan*
Editor: Oki Aryono
*Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga dan Founder Penulis Muda Sidoarjo