Suaramuslim.net – Tampang Hanif, teman saya, menarik perhatian lelaki yang melewatinya. Lelaki yang orang-orang di sekitar kampus negeri di Purwokerto menyebutnya—maaf—tidak waras.
“Hasan al-Banna! Hasan al-Banna!” teriak si lelaki di depan Hanif sambil diselingi desis antusias.
Entah mengapa teman saya itu menarik perhatian si lelaki tersebut; ketertarikan yang menghubungkan dengan tokoh besar pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir. Semata karena Hanif peranakan Arab sajakah? Bisa jadi.
Bila orang yang kadung dicap tidak waras sering berdendang, ini sudah biasa. Atau bila ditemukan orang hilang akal di jalanan sembari tertawa-tawa, ini juga umum. Nah, yang didapati teman saya berbeda. ‘Menuding’ sebagai Hasan al-Banna dengan penuh ekspresif seolah menemukan kenangan lama atau sosok dipujanya di waktu lampau.
“Orang itu pintar, Mas,” jelas tukang kunci yang mangkal di dekat masjid kampus yang sama tadi. “Dulunya dia rajin ikut pengajian.”
Pintar dan rajin mengaji. Itu identitas lama lelaki tidak waras tersebut. Kini kondisinya menyedihkan. Dia berlalu lalang di jelasalanan di area kampus, mendapati mahasiswa era kiwari yang mengaji pemikiran al-Banna ataupun anak didik ideologisnya. Sebuah aktivitas yang, bisa jadi, pernah diperbuat lelaki itu. Sayangnya, ketika waktu shalat, sesekali dia didapati membikin gaduh. Suara dan polahnya cukup membuat jamaah masjid terusik dari kekhusyukan.
Biasanya, orang yang akalnya berkurang sering mengingat sosok yang melekat di hati pada waktu warasnya. Kalau tidak kata-kata, lazim juga dengan perbuatan. Ada ibu-ibu yang di pasar dekat rumah saya dianggap ‘stres’, selalu menimbang boneka. Konon, ibu tersebut jadi begitu akibat terpukul mentalnya begitu buah hatinya tersapu awan panas Merapi bertahun silam.
Besar kemungkinan, lelaki penyapa Hanif memiliki kenangan dengan Hasan al-Banna. Al-Banna pernah melekat di hati lelaki pintar itu. Bisa jadi kalau bukan sebagai pengkaji, sekurangnya mengenal dalam hingga orang berhidung mancung dan bercambang mengingatkannya pada sosok yang mengesankan hati ‘semasa normal’.
Padahal, kearaban Hanif tidak setampak saudara-saudaranya. Karena itu, saya jadi ingin mengetes ‘ingatan’ lelaki pengidam Hasan al-Banna itu dengan mengajak teman saya yang lebih bercambang tebal dan kearab-araban (meski sebenarnya bukan berdarah Arab). Ditambah tarbusi gelap selaksa foto ikonik al-Banna, rasa-rasanya bak ‘menghadirkan’ kenangan lama dan sulutan semangat yang hilang pada lelaki itu. Tapi saya berpikir ulang, cemas tepatnya, bilamana ia malah bersedih ketika semua kenangan pada sang tokoh luruh dalam tumpah sesal dan kepedihan.
Di zaman banyak orang hanya membaca cepat, tahu banyak hal tapi miskin pemaknaan, menyelami sepenuh hayat bahkan ketika pikiran diuji Allah dengan “ditarik kewarasannya”, sungguh satu ibrah. Kedekatan pada makna diri yang dilegasikan sang tokoh, Hasan al-Banna dalam bahasan ini, sungguh mengharukan. Moga saja, lelaki yang teranggap—maaf—‘gila’ itu balik ke fitrah; kembali ke peraduan mihrab untuk bersujud bersama saudara seimannya. Dan tugas kita: bukan menghinanya. Kapan pun.
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net