Antara solidaritas dan akuntabilitas: Jangan matikan semangat donasi kita

Suaramuslim.net – Belakangan ini, jagat media sosial gaduh soal ”Donasi harus izin dulu ke Kemensos!” Judul dan isu-isu itu meluncur seperti peluru. Timeline penuh sentimen. Warganet berebut menyimpulkan, seolah negara sedang berhadap-hadapan dengan niat baik masyarakat.

Padahal, masalahnya tidak sesederhana itu. Tapi juga tidak serumit yang dibayangkan. Kita ini sebenarnya sedang kehilangan ruang tenang untuk berpikir logis.

Bangsa ini punya tradisi gotong royong yang jauh lebih tua dari negara itu sendiri. Bahkan sebelum republik ini berdiri, rakyat sudah saling bantu secara diam-diam. Tak ada izin, tak ada kamera, tak ada trending. Hanya hati yang tergerak. Ikhlas.

Karena itu, wajar bila masyarakat marah ketika merasa niat baiknya seperti hendak dibatasi. Energi itu murni. Tapi yang berbahaya adalah ketika energi murni itu ditarik ke arah destruktif.

Di titik inilah, menurut saya, ICMI perlu hadir sebagai penjernih. Sebagai cermin. Sebagai penuntun akal sehat publik.

Mari kita tarik masalah ini ke meja yang lebih beradab. Bukan timeline. Bukan komentar. Tapi meja analisis.

Bantuan tidak sampai kepada yang membutuhkan

Kita harus terbuka dan berterus terang bahwa memang banyak bantuan tidak sampai ke korban. Itu fakta lapangan, bukan asumsi.

Banyak temuan di lapangan kejadian yang lalu-lalu, yaitu: bantuan menumpuk di posko utama, sementara dusun terisolasi kosong. Relawan lokal bingung mengatur arus logistik. Dan yang lebih menyedihkan: ada penggalang dana yang tidak pernah melaporkan ke mana uang itu disalurkan.

Penggalangan dana versi digital memberi kecepatan. Tetapi juga memberi ruang luas bagi penipuan, manipulasi, dan marketing berkedok kemanusiaan. Di era klik dan swipe, siapa pun bisa membuat “donasi” dalam satu menit, lalu menutupnya dalam satu malam.

Apakah negara harus diam? Tidak. Apakah negara boleh mempersulit? Juga tidak. Kita sedang berada di garis tipis antara solidaritas dan akuntabilitas.

Aturan bukan untuk mematikan

Aturan bukan dimaksudkan untuk mematikan semangat baik. Aturan, dalam kadar tertentu, adalah pagar agar ladang kebaikan tidak dipakai untuk memelihara kejahatan. Masalahnya, framing publik yang terlanjur buyar membuat pagar terlihat seperti tembok penjara.

Di sinilah komunikasi kebijakan sering tersandung: cara penyampaian tidak seindah niatnya. Masyarakat membaca “izin donasi” sebagai “pemerintah melarang atau mempersulit”.

Yang diatur adalah penggalangan dana publik, karena uang publik adalah amanah publik. Dan setiap amanah harus bisa diaudit.

Untuk yang kecil, laporan sederhana cukup. Untuk yang besar, harus ada auditor eksternal. Tidak sulit. Tapi harus jelas.

Budaya filantropi di era digital

Kita tidak bisa hanya menyandarkan semuanya pada pemerintah. Budaya filantropi di era digital butuh tiga pilar:

(1) Pemerintah yang adaptif. Izin harus cepat, daring, dan tanpa kerumitan. Bencana tidak menunggu tanda tangan.

(2) Penggalang dana yang beretika. Influencer, selebgram, publik figur. Mereka itu menikmati kepercayaan publik. Maka tanggung jawab mereka juga harus besar.

(3) Masyarakat yang melek literasi donasi. Jangan mudah terkecoh akun palsu. Jangan percaya hanya karena videonya sedih. Kepekaan harus disertai kewaspadaan.

Jika tiga pilar ini kokoh, maka tidak akan ada lagi energi publik yang terbuang hanya untuk membahas “izin donasi”. Karena semuanya sudah berjalan alamiah dan transparan.

Sebagai Ketua ICMI Jawa Timur, saya selalu percaya bahwa akal sehat adalah modal utama umat. Kita tidak boleh terjebak pada polarisasi murahan: seolah memilih antara “niat baik masyarakat” dan “aturan pemerintah”. Apalagi menjadikan itu sebagai isu yang membuat kegaduhan baru.

Keduanya bukan musuh. Keduanya saling melengkapi. Solidaritas tanpa akuntabilitas bisa berakhir sebagai bencana kedua. Akuntabilitas tanpa empati bisa membunuh aksi kemanusiaan.

Sikap kita harus jernih: Bantuan harus cepat. Tetapi pertanggungjawaban harus lengkap. Inilah semangat yang ingin ICMI jaga. Menjaga moralitas publik, menyeimbangkan nalar bangsa, dan menuntun agar kebaikan berjalan dengan akal, bukan dengan emosi.

Bencana mungkin datang tiba-tiba. Tapi kebaikan tidak boleh tiba-tiba hilang hanya karena salah paham. Bangsa ini lahir dari gotong royong. Ia tumbuh dari solidaritas. Dan ia akan maju bila solidaritas itu dibingkai dengan tata kelola yang benar.

Mari terus berdonasi. Mari terus bergerak. Tapi mari juga memastikan bahwa setiap rupiah yang kita kumpulkan benar-benar jatuh ke tangan mereka yang paling membutuhkan.

Itulah kebaikan yang tidak hanya cepat, tapi juga selamat. Itulah kebaikan yang tidak hanya viral, tapi juga benar. Dan itulah kebaikan yang akan terus kita jaga bersama.

Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.