Suaramuslim.net – Serangkaian gempa kembali mengguncang wilayah Lombok dan sekitarnya. Pada hari Jumat (24/8) tercatat korban meninggal akibat gempa mencapai 555 jiwa. Sementara 390.529 orang mengungsi di ribuan titik pengungsian.
Dilansir dari laman bnpb.go.id (24/8) menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPD, Sutopo, gempa susulan masih sering terjadi dengan intensitas kecil. Sampai dengan 24/8/2018 sore telah terjadi 1.089 kali gempa pascagempa kekuatan M7 pada 5/8/2018. Dari 1.089 kali gempa susulan tersebut gempa yang dirasakan ada 50 kali.
Wilayah Indonesia merupakan wilayah yang dilalui jalur ring of fire, dimana wilayah Indonesia memiliki 129 gunung berapi yang masih aktif. Wilayah Indonesia pun terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia, yaitu Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.
Oleh karena itu, Indonesia berpotensi terhadap bencana alam seperti gempa, tsunami, dan gunung meletus. Wilayah Indonesia yang tropis juga berpotensi terjadi bencana alam lainnya seperti banjir, tanah longsor, angin puting beliung, hujan ekstrem, dan kekeringan.
Sebagaimana umat Islam yakini bahwa turunnya bencana alam merupakan qadha’ atau ketetapan dari Allah. Manusia tidak dapat mengendalikan kapan terjadi suatu bencana sebagaimana gempa di Lombok. Namun, ada beberapa ikhtiar atau usaha yang dapat dilakukan manusia dalam menanggulangi bencana alam. Menyelamatkan diri sendiri atau orang lain dari bencana adalah hal yang wajib dilakukan karena termasuk dalam kategori ikhtiar.
Berbicara mengenai ikhtiar yang dilakukan ketika bencana alam terjadi, maka sepatutnya melihat teladan dari Khalifah Umar bin Khattab. Pada masa Umar bin Khattab menjabat sebagai amirul mukminin, terjadi musim paceklik di seluruh kawasan jazirah Arab. Tanaman-tanaman gagal panen, termasuk lahan-lahan di sekitar lembah Sungai Euprat, Tigris, dan Nil. Banyak orang-orang yang masuk ke Madinah untuk meminta bantuan pemerintah. Akhirnya Khalifah Umar membentuk tim untuk menanggulangi bencana kekeringan ini.
Setiap orang dari tim penanggulangan bencana ditempatkan pada pos-pos di perbatasan Kota Madinah untuk mencatat hilir mudik orang yang mencari bantuan makanan. Hingga tercatat sepuluh ribu orang yang masuk ke dalam Madinah dan lima puluh ribu orang yang masih berada di daerah asalnya. Khalifah Umar segera menyalurkan bantuan kepada orang yang berada di luar Madinah dan menampung orang yang mengungsi.
Khalifah Umar memberikan segalanya hingga tidak ada yang dapat diberikan. Kemudian Khalifah Umar mengirim surat kepada Abu Musa di Bashrah dan Amru bin Ash di Mesir yang berisi, “Bantulah umat Muhammad, mereka hampir binasa”.
Kemudian kedua gubernur mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar hingga mencukupi kebutuhan pangan rakyat yang mengalami musibah kekeringan. Selain itu, Khalifah Umar pun senantiasa bermunajat kepada Allah melalui doa meminta turun hujan bersama paman Nabi, Abbas.
Sungguh sangatlah agung dan mulia sikap Khalifah Umar bin Khattab dalam mengayomi rakyatnya. Ia tak malu untuk terjun langsung menjadi pelayan bagi rakyatnya yang membutuhkan bantuannya. Ia pun tidak mempermasalahkan tubuhnya kurus dan kulitnya menghitam ketika ia dan rakyatnya dilanda musim paceklik.
Tidak ada perlakuan khusus terhadap Umar selama musim paceklik. Umar radhiyallahu’anhu berkata, “Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.”
Khalifah Umar menyadari bahwa ia akan mempertanggungjawabkan posisinya sebagai pemimpin. Sebagaimana hadits riwayat Bukhari, “Imam (waliyul amri) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.”
Sepenggal kisah Khalifah Umar bin Khattab dapat dijadikan pelajaran atas penanggulangan bencana di Indonesia. Oleh karena itu, pemimpin negeri hendaknya fokus dan bersungguh-sungguh mengerahkan segala pemikiran dan perbuatan yang akan dilakukan terhadap korban bencana di Lombok sebagaimana Khalifah Umar yang fokus mengatasi permasalahan paceklik selama sembilan bulan lamanya.
Di tengah kemeriahan acara Asian Games dan isu politik semoga tidak menjadikan pemerintah lalai untuk mengayomi rakyat yang sedang menunggu bantuan yang belum terdistribusi secara merata. Pemerintah tidak boleh melempar tanggung jawab dengan dalih membantu dalam rangka kemanusiaan adalah kewajiban bersama. Individu dan negara memiliki ranah dan tanggung jawab yang berbeda dalam penanggulangan bencana alam.
Kontributor: Dinda Sarihati Sutejo*
Editor: Oki Aryono
*Tim Islamic Youth Community Kota Pasuruan