Suaramuslim.net – Selama sepuluh tahun di Madinah, masjid betul-betul diberdayakan secara maksimal. Masjid bukan saja dijadikan sebagai tempat ibadah “mahdhah” seperti shalat, dzikir dan lain sebagainya. Berikut ini adalah beberapa wujud pemberdayaannya:
Pertama, sebagai media untuk dakwah, transfer ilmu dan pengembangan pendidikan. Saat Nabi duduk bersama sahabatnya di masjid, ada orang yang datang seraya bertanya, “Siapa diantara kalian yang bernama Muhammad?” Lalu dijawablah oleh salah seorang sahabat, “Orang ini, yang berkulit putih yang sedang bersandar”. Kemudian, berlangsunglah dialog hangat antara keduanya.
Begitu banyak pertanyaan yang disodorkan tapi dijawab dengan baik oleh Nabi. Akhirnya, orang itu berkata, “Aku beriman dengan apa yang engkau bawa dan aku adalah utusan kaumku, aku Dhimam bin Tsa’labah saudara dari Bani Sa’d bin Bakr.” (HR Bukhari). Lebih dari itu, Prof. Dr Radhib As-Sirjāni dalam buku Mādza Qaddama al-Muslimūna li al-‘Ālām (2009:199) mencatat bahwa saat itu masjid menjadi sebagai markas (pusat) untuk menyebarkan wawasan (budaya) keislaman dan di antara lembaga pengajaran yang sangat vital.
Kedua, sebagai tempat musyawarah dalam menentukan strategi politik dan militer. Beliau biasa melepas pasukan sariyyah (ekspedisi militer)nya dari masjid. Harts bin Hassan menceritakan bahwa saat dia datang ke Madinah, dirinya melihat Rasulullah berdiri di atas mimbar masjid sedangkan Bilal berada di depan beliau dengan berselempang pedang. Tiba-tiba ada orang yang membawa bendera hitam. Setelah dicari tahu, ternyata itu ‘Amru bin Ash yang baru saja datang dari perang (HR Ibnu Majah). Contoh ini menunjukkan bahwa masjid diberdayakan juga untuk musyawarah strategi militer dan politik.
Ketiga, sebagai tempat “i’dad” (persiapan jihad). Dalam satu riwayat disebutkan bahwa orang-orang dari keturunan Habsyi bermain tombak dan pedang di masjid. Pada waktu itu Rasulullah dan sahabatnya menonton. Aisyah pun berlindung di balik Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam sebagaimana penuturannya sendiri, “Saya lihat Rasulul lah shalallahu ‘alaihi wa salam menghadang saya waktu saya melihat orang-orang Habasyah bermain (pedang) di masjid.” (HR Bukhari, Muslim).
Keempat, sebagai tempat untuk menampung orang yang kurang mampu secara ekonomi. Seperti Ahlus Shuffah, para musafir dan lain sebagainya. Salah satu jebolan Ahlu Shuffah adalah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Beliau adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Domisili di serambi masjid ini dimanfaatkan betul oleh beliau sebagai wadah menuntut ilmu, sehingga tidak mengherankan jika beliau termasuk ahli hadits di kalanagan sahabat.
Kelima, sebagai tempat untuk menyambut delegasi-delegasi atau tamu. Tahun kesembilan Hijriah, adalah tahun di mana orang-orang Arab sekitar mengutus delegasi-delegasinya. Tujuannya, jika tidak masuk Islam, maka berdamai dengan membayar jizya. Mereka ini oleh Rasulullah disambut dengan hangat di masjid.
Keenam, media untuk menampilkan kesenian. Dalam hal ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pernah melayani tantangan dari delegasi Bani Tamim yang mengajak bertanding adu kemampuan syair dan orasi (khutbah). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam mengutus Hassan bin Tsabit dan Tsabit bin Qais untuk meladeni mereka. Keduanya pun memenangkan duel kesenian tersebut (Ibnu Hisyam, 1375: II/567 dan Abu Sa’ad, 1424: II/135-138). Meski demikian, waktunya bukan pada saat orang sedang menjalankan shalat di masjid, tapi saat senggang.
Ketujuh, tempat untuk melangsungkan akad nikah. ‘Aisyah meriwayatkan sabda nabi, “Beritakanlah pernikahan ini dan selenggarakanlah ia di dalam masjid, lalu pukullah rebana-rebana”. (HR Tirmidzi).
Kedelapan, untuk merawat pasien yang terluka dalam perang. Seperti Sa’ad bin Mu’adz yang dibuatkan kemah khusus untuk merawatnya akibat luka panah yang mengenai lengannya. Lebih dari itu, masjid juga pernah dijadikan tempat untuk menjerat tawanan. Sebagaimana Tsumāmah bin Atsal yang diikat di tiang masjid.
Dengan pemberdayaan-pemberdayaan ini, tidak mengherankan jika masjid pada zaman Nabi –utamanya saat di Madinah– sebagai muara kebangkitan umat. Masjid benar-benar dimakmurkan dan diberdayakan dengan maksimal. Beberapa tahun setelah itu, umat Islam mampu menjadi saka guru peradaban dunia.
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono