Suaramuslim.net – Perkembangan teknologi memungkinkan seseorang untuk bisa belajar apapun sendiri, tanpa guru. Namun ternyata hal itu tidak berlaku untuk Al Quran. Mengapa demikian?
Mempelajari Al Quran layaknya mempelajari sebuah bahasa. Dalam mempelajari sebuah bahasa membutuhkan seseorang yang mencontohkan, yang mendampingi atau guru yang mempraktikkannya.
Namun, terbatasnya ruang dan waktu menjadi penghambat untuk berguru dalam belajar membaca Al Quran. Sehingga pilihan terjatuh pada pembelajaran Al Quran secara mandiri atau otodidak.
Kecanggihan teknologi masa kini membuat seorang bisa memperoleh dan mempelajari apapun dengan mudah, termasuk membaca Al Quran. Bahkan kini dengan berbagai macam kemudahan di dunia maya sekalipun, kita bisa mempelajari Al Quran secara otodidak lewat internet atau dunia maya.
Meski demikian, muslim.or.id melansir statement Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam Kitabul ‘Ilmi menjelaskan bahwa seseorang penuntut ilmu hendaknya memiliki guru dan tidak membiarkan dirinya belajar sendiri tanpa bimbingan.
Lalu di kesempatan lain, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya tentang sebuah ungkapan yang berbunyi, “Barangsiapa yang gurunya adalah bukunya, maka kesalahannya lebih banyak daripada benarnya.”
Syaikh mengatakan bahwa perkataan ini tidaklah benar maupun salah secara mutlak. Akan tetapi seseorang yang belajar dari sebuah buku dan orang-orang yang dikenal dengan ilmunya serta dapat dipercaya dalam menyampaikan ilmunya secara bersamaan maka hal ini dapat meminimalisir kesalahan yang terjadi.
Al Quran, Mukjizat yang Tak Bisa dipelajari Otodidak
Al Quran adalah mukjizat yang di dalamnya terkandung hukum, sejarah, dan firman Allah subhanahu wa ta’ala yang harus diimani. Sehingga Al Quran adalah himpunan ilmu yang tak bisa dipelajari dengan cara otodidak atau belajar sendiri.
Ustadz Agung Tranajaya, Lc, M.Psi, Koordinator Grand MBA (Gerakan Dakwah Mengajar Belajar Al Quran) Pusat, mengatakan bahwa Al Quran sarat dengan hal ihwal yang mendalam dan terkesan rumit tapi sesungguhnya sangat mudah jika kita ingin mempelajarinya. Namun sebagaimana bahasa, Al Quran tidak bisa dipelajari tanpa ada guru yang mengajarkan.
“Belajar Al Qur’an itu seperti belajar bahasa. Mempelajari suatu bahasa itu harus ada yang mencontohkan, harus ada guru, dan ada yang kompeten mempraktikkan,” kata Agung Tranajaya ditemui hidayatullah.com.
Dalam bahasa Jawa misalnya, menurut Agung, tidak bisa orang belajar bahasa Jawa secara otodidak. Diperlukan guru yang bisa bahasa Jawa. Karena di dalam bahasa itu ada hal-hal yang memang harus dicontohkan baru dapat diketahui cara mengucapkannya.
Agung mencontohkan, dalam bahasa Jawa misalkan, ada kata loro yang artinya dua dengan “loro” artinya sakit, keduanya jelas memiliki cara dan bunyi pengucapan yang berbeda walau sama secara teks. Ada Juga kata mendem (mengubur) dan mendem (mabuk), serupa tapi tak sama.
“Sama tulisan, beda penyebutan, dan itu beda artinya. Jadi untuk mengetahuinya tidak bisa otodidak, harus mendengar melihat bagaimana sih caranya. Begitulah Al Qur’an,” katanya.
Dalam bahasa apapun, kesalahan mengucapkan bisa menyebabkan salah dimaknai. Kondisi serupa akan berakibat fatal apabila terjadi dalam melafazkan Al Qur’an.
“Ini menjadi lebih penting ketika kita belajar bahasa Al Qur’an yang di dalamnya ada hal-hal yang harus diimani, ada hukum, ada sejarah, dan Al Qur’an itu adalah firman Allah subhahanu wa ta’ala yang diturunkan untuk membimbing manusia ke jalan yang benar,” tegas Ustadz Agung.
“Di sinilah mengapa belajar Al Qur’an, tajwid, dan tahsin itu menjadi sangat penting,” tambahnya.
Menurutnya, banyaknya lembaga atau pribadi yang menawarkan metode atau sistem membaca Al Qur’an dengan cepat hanyalah sebagai pintu masuk saja untuk menggugah kesadaran bahwa ternyata Al Qur’an itu memang mudah dipelajari sehingga orang tertarik belajar.
Ketika seseorang sudah tertarik belajar, maka dia tidak akan berhenti belajar karena sudah timbul rasa suka dan cinta. Setelah itu, belajar Al Qur’an tidak bisa secara instan. Terutama yang tidak bisa instan itu adalah sifat dan makhraj huruf.
“Harus berlatih, apalagi yang notabene di Indonesia, sukunya beragam, bahasa beragam, itu tidak bisa instan. Karena karakter bahasa Arab itu berbeda dengan bahasa lainnya,” tutupnya.
Reporter: Mufatihatul Islam
Editor: Muhammad Nashir