Suaramuslim.net – Bias gender dalam sistem peradilan adalah salah satu isu yang masih sangat relevan di banyak negara, termasuk Indonesia. Meskipun sudah ada berbagai upaya untuk menciptakan sistem peradilan yang adil dan setara, perempuan sering kali masih menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dari ketidaksetaraan dalam akses ke keadilan hingga adanya bias dalam proses pengadilan, perempuan sering kali menjadi pihak yang dirugikan dalam sistem hukum yang ada.
Indonesia, sebagai negara dengan komitmen terhadap perlindungan hak asasi manusia, masih menghadapi banyak tantangan dalam mereformasi sistem peradilannya agar bebas dari bias gender.
Pada kenyataannya, meskipun ada beberapa undang-undang dan kebijakan yang mengatur perlindungan terhadap perempuan, masih banyak celah dalam implementasi dan praktik di lapangan.
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis fenomena bias gender dalam sistem peradilan di Indonesia, serta melihat langkah-langkah reformasi yang seharusnya dilakukan untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih adil dan setara.
Fenomena bias gender dalam peradilan
Bias gender dalam peradilan dapat dilihat dalam berbagai bentuk, seperti ketidaksetaraan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, ketidakseimbangan dalam akses ke pembelaan hukum, serta stereotip gender yang mempengaruhi keputusan hakim.
Salah satu bentuk bias gender yang paling terlihat adalah dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual. Dalam banyak kasus, perempuan sering kali dipersalahkan atau dianggap tidak cukup bukti untuk mendukung tuduhan mereka, sementara pelaku sering kali tidak diberikan hukuman yang setimpal.
Menurut Siti Mariah dalam bukunya Perempuan dan Hukum di Indonesia (2020), bias gender ini sering kali diperburuk oleh kultur patriarki yang masih dominan dalam banyak aspek kehidupan sosial dan budaya, termasuk dalam sistem peradilan.
Banyak hakim dan aparat penegak hukum yang masih memandang perempuan dari perspektif yang sempit, seperti menyalahkan korban kekerasan seksual atau rumah tangga karena cara berpakaian atau perilaku mereka. Hal ini menciptakan ketidakadilan yang semakin memperburuk posisi perempuan dalam sistem peradilan.
Penyebab bias gender dalam sistem peradilan
Bias gender dalam sistem peradilan tidak hanya disebabkan oleh ketidakadilan struktural, tetapi juga oleh kultur patriarki yang telah tertanam dalam banyak lapisan masyarakat. Sistem hukum yang ada sering kali dibentuk oleh norma-norma yang telah mengakar kuat dalam budaya, yang menganggap bahwa laki-laki lebih dominan dan perempuan lebih lemah.
Sebagai contoh, dalam beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga, korban perempuan sering kali dianggap sebagai pihak yang kurang bernasib baik, atau bahkan dianggap sebagai penyebab dari kekerasan yang dialami.
Riyadi, J. dalam Gender dan Hukum di Indonesia (2019) mengemukakan bahwa bias gender ini terjadi tidak hanya dalam proses pengadilan, tetapi juga dalam pendidikan hukum yang diterima oleh para profesional hukum.
Banyak praktisi hukum, baik itu hakim, jaksa, maupun pengacara, yang belum sepenuhnya memahami pentingnya perspektif gender dalam penegakan hukum. Hal ini menyebabkan mereka cenderung menilai kasus-kasus perempuan berdasarkan bias subyektif mereka, daripada berdasarkan prinsip keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi.
Implementasi Undang-Undang Perlindungan Perempuan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2020 tentang Perlindungan Pekerja Migran Perempuan adalah beberapa contoh undang-undang yang mengatur perlindungan terhadap perempuan. Namun, implementasi dari undang-undang tersebut sering kali tidak maksimal. Banyak korban kekerasan, terutama perempuan, yang enggan untuk melaporkan kasus mereka karena takut akan stigma sosial atau bahkan ancaman dari pelaku.
Salah satu tantangan terbesar dalam implementasi undang-undang perlindungan perempuan adalah kurangnya edukasi hukum dan akses informasi bagi perempuan, terutama di daerah-daerah terpencil.
Martha W. dalam Hak Perempuan dan Hukum di Indonesia (2021) mengungkapkan bahwa meskipun undang-undang sudah ada, tidak semua perempuan memiliki pengetahuan tentang hak-hak mereka dalam sistem hukum, serta prosedur yang tepat untuk mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini menyebabkan banyak perempuan yang tidak mendapatkan keadilan yang seharusnya mereka terima.
Reformasi yang diperlukan dalam sistem peradilan
Reformasi dalam sistem peradilan yang ada di Indonesia sangat penting untuk memastikan bahwa perempuan mendapatkan perlakuan yang setara di hadapan hukum. Pendidikan hukum berbasis kesetaraan gender adalah salah satu langkah awal yang harus dilakukan. Pendidikan ini tidak hanya ditujukan untuk calon hakim dan pengacara, tetapi juga untuk masyarakat umum agar mereka dapat lebih memahami hak-hak perempuan dan cara melindungi diri mereka sendiri.
Langkah kedua yang perlu diambil adalah perbaikan dalam prosedur peradilan yang lebih sensitif terhadap gender. Misalnya, dalam kasus kekerasan seksual, hakim harus dapat menghindari penggunaan stereotip gender yang merugikan korban perempuan.
Siti Mariah menekankan dalam bukunya bahwa pengadilan harus memiliki prosedur yang sensitif gender, seperti memastikan adanya pendampingan bagi korban kekerasan seksual selama proses persidangan dan memberikan perlindungan terhadap identitas korban.
Langkah ketiga adalah memperkuat akses keadilan bagi perempuan di daerah-daerah terpencil atau kurang terlayani. Salah satu cara untuk mencapai hal ini adalah dengan menyediakan layanan hukum pro bono bagi perempuan yang tidak mampu membayar biaya pengacara atau tidak tahu cara mengakses sistem hukum.
Bias gender dalam sistem peradilan Indonesia adalah masalah yang harus segera ditangani. Meskipun sudah ada beberapa undang-undang yang bertujuan untuk melindungi perempuan, implementasi yang lemah dan adanya bias gender dalam proses peradilan sering kali menghalangi perempuan mendapatkan keadilan yang mereka butuhkan.
Oleh karena itu, reformasi dalam sistem peradilan, mulai dari pendidikan hukum berbasis kesetaraan gender hingga perbaikan prosedur peradilan, sangat penting untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan setara bagi perempuan. Dengan reformasi yang tepat, diharapkan perempuan akan lebih mudah untuk mendapatkan perlindungan hukum dan memastikan bahwa hak-hak mereka dihormati dalam sistem peradilan Indonesia.
R. Arif Mulyohadi
Dosen Ilmu Hukum Institut Agama Islam Syaichona Mohammad Cholil Bangkalan
Anggota Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI) Orwil Jatim
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.