Suaramuslim.net – Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji sedang memasuki babak krusial. Di tengah sorotan publik terhadap akuntabilitas dan transparansi dana umat yang mencapai lebih dari Rp160 triliun, satu pertanyaan mendasar kembali mengemuka: Apakah Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sebaiknya tetap menjadi lembaga independen, atau justru ditempatkan di bawah pemerintah?
Pertanyaan ini bukan untuk perdebatan teknis kelembagaan. Tetapi untuk memenuhi prinsip good hajj governance. Untuk tata kelola haji yang amanah, profesional, dan menyejahterakan umat.
Ketika kepercayaan publik menjadi modal utama pengelolaan dana haji, maka arah reformasi kelembagaan BPKH akan menentukan masa depan manajemen haji Indonesia.
Kelebihan sebagai lembaga independen
Status BPKH sebagai lembaga independen sejatinya dimaksudkan untuk menjamin check and balance terhadap pemerintah. Independensi memberi ruang bagi profesionalisme, objektivitas, dan efisiensi dalam mengelola dana umat tanpa intervensi politik dan birokrasi yang biasanya lambat dan hierarkis.
Dalam praktik global, pengelolaan dana publik yang berorientasi pada nilai manfaat jangka panjang memang lebih efektif jika dikelola oleh entitas yang otonom, transparan, dan akuntabel langsung kepada publik. BPKH, dengan struktur Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana yang dipilih berdasarkan kompetensi, idealnya bisa meniru model lembaga keuangan publik seperti sovereign wealth fund di negara lain.
Di samping itu, independensi bisa memperkuat legitimasi moral, mengingat dana haji adalah amanah umat, bukan dana APBN. Karena itu, keputusannya seharusnya berlandaskan prinsip syariah dan maslahat, bukan pertimbangan politik jangka pendek.
Kelemahan dan risiko independen
Namun, independensi tanpa keseimbangan pengawasan dapat berujung pada moral hazard. Ketika lembaga terlalu otonom, maka akuntabilitas bisa kabur. Publik sulit mengontrol arah investasi, dan pemerintah pun tak memiliki instrumen korektif jika kebijakan keuangan haji menyimpang dari kepentingan jamaah.
Kasus investasi di surat berharga atau instrumen keuangan yang minim dampak langsung bagi ekonomi umat menjadi contoh nyata. Di sinilah paradoks muncul: BPKH memang bebas, tapi justru kehilangan kedekatan dengan umat yang dananya dikelola.
Selain itu, status independen juga sering menimbulkan ambiguitas dalam tanggung jawab. Apabila terjadi kerugian investasi, siapa yang bertanggung jawab. Negara atau lembaga independen itu sendiri? Celah ini perlu diperjelas dalam revisi UU Nomor 34 Tahun 2014 ini, agar tidak ada “ruang abu-abu” antara kemandirian dan tanggung jawab publik.
Jika di bawah pemerintah
Sebaliknya, menempatkan BPKH di bawah pemerintah memang dapat memperkuat kontrol administratif dan politik. Pemerintah bisa memastikan keselarasan antara kebijakan haji nasional, diplomasi dengan Arab Saudi, dan pengelolaan dana umat. Prinsip unity of command akan lebih mudah diterapkan.
Namun, model ini berisiko mengembalikan “birokratisasi” dalam pengelolaan dana haji. Keputusan investasi bisa terseret kepentingan politik, bukan rasionalitas ekonomi dan syariah. Dana umat pun berpotensi menjadi bagian dari kebijakan fiskal pemerintah, mengaburkan batas antara dana publik dan dana keagamaan.
Maka, jika opsi ini diambil, perlu jaminan tegas tentang transparansi, pelibatan masyarakat sipil, dan audit independen yang kuat agar BPKH tidak sekadar menjadi “satker” baru di bawah kementerian.
Jalan tengah: Mandiri dengan pengawasan publik yang kuat
Dalam konteks reformasi tata kelola haji ke depan, Indonesia memerlukan hybrid model. Yaitu lembaga mandiri yang transparan dan akuntabel melalui mekanisme pengawasan publik yang kuat. BPKH tetap independen secara kelembagaan, namun berada dalam kerangka tata kelola nasional yang diawasi secara sistemik oleh DPR, BPK, dan masyarakat sipil.
Arah revisi UU 34/2014 seharusnya tidak hanya mengatur siapa mengawasi siapa. Tetapi bagaimana membangun ekosistem governance yang sehat, yaitu dengan pengawasan berlapis, pelaporan berkala, dan partisipasi umat yang aktif. Di era keterbukaan informasi, kepercayaan hanya bisa lahir dari transparansi yang nyata, bukan slogan dan janji populis.
Amanah sebagai titik temu
Poin pentingnya, baik BPKH tetap independen maupun berada di bawah pemerintah, orientasi utamanya tidak boleh bergeser, yaitu bahwa dana haji adalah amanah suci. Ia bukan milik lembaga, bukan milik negara, tetapi milik umat. Reformasi kelembagaan hanyalah alat. Tujuannya tetap satu: menegakkan amanah, mewujudkan kemaslahatan.
Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur, Ketua Litbang DPP AMPHURI
Artikel ini merupakan refleksi akademik dan masukan konstruktif atas proses revisi UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Ditulis untuk memperkaya wacana publik tentang arah reformasi kelembagaan keuangan haji yang berkeadaban dan berkeadilan bagi umat.

