Suaramuslim.net – Penulis baru saja mendapatkan pesan WhatsApp dari seorang teman yang bekerja sebagai petinggi di OJK. Bunyi pesannya sederhana, tapi bikin ngopi pagi berubah rasa:
“Innalillahi. Bukalapak tutup operasional marketplace-nya. Saya tunggu analisa Cak Maksum.”
Setelah membaca pesan itu, saya hanya bisa menatap layar sambil berpikir; Ah, akhirnya roadmaps mereka sampai juga di sini.
Badai startup digital dan predatory pricing
Bukalapak pernah menjadi bintang terang di langit startup Indonesia. Narasinya indah: revolusi digital, memberdayakan UMKM, dan membangun ekonomi berbasis teknologi. Tapi siapa sangka, bintang itu kini meredup.
Tutupnya layanan marketplace produk fisik Bukalapak adalah simbol dari kegagalan kapitalisme digital yang menjanjikan segalanya, tetapi pada akhirnya hanya meninggalkan kehancuran pasar dan mimpi yang terjual.
Ini bukan hanya tentang Bukalapak. Ini adalah cerita dari model bisnis startup digital yang sering mengandalkan strategi bakar uang. Predatory pricing adalah senjatanya: jual murah, matikan pesaing, kuasai pasar. Namun, strategi ini seperti bumerang. Ketika ongkir terus digratiskan, cashback dibagikan, dan diskon tak henti-henti, biaya operasional membengkak seperti balon yang siap meledak.
Investor yang dulu tersenyum puas saat IPO, kini mulai sadar bahwa senyuman mereka terlalu mahal. Uang yang diinvestasikan ibarat masuk ke lubang hitam tanpa ujung.
Koperasi: Solusi lama yang tak pernah dicoba
Di tengah badai ini, ada konsep yang selalu kita abaikan: koperasi. Sejak dicantumkan dalam Pasal 33 UUD 1945, koperasi adalah jawaban asli Indonesia terhadap kapitalisme global. Konsepnya tidak berbasis modal besar, tetapi solidaritas dan keadilan sosial. Namun, masalahnya sederhana: koperasi hanya hidup dalam pidato dan seminar, tidak pernah benar-benar diimplementasikan sesuai idealnya.
Kita sering mendengar keluhan bahwa koperasi itu utopis. Tapi mari kita bandingkan: koperasi yang dianggap gagal karena disalahgunakan segelintir pihak, atau startup yang menghabiskan triliunan untuk “membeli mimpi”? Mana yang sebenarnya lebih utopis?
RPJMN 2025-2029: Koperasi Digital sebagai harapan
Tekad pemerintah dalam RPJMN 2025-2029 untuk menghidupkan koperasi adalah langkah besar yang patut kita apresiasi. Jika koperasi bisa beradaptasi dengan teknologi digital, ini bukan hanya menjadi solusi ekonomi, tetapi juga cara untuk merebut kembali kedaulatan pasar yang selama ini dikuasai kapitalisme global, koperasi mengintegrasikan khususnya pangan dan sembako dari hulu ke hilir dalam orkestrasi yang didukung kebijakan dengan stimulasi yang menguntungkan rakyat.
Bayangkan sebuah platform koperasi digital yang memungkinkan anggota mengakses dan mendapatkan sembako, mendapatkan income bulanan (SHU bulanan) dari putaran bisnisnya, pembiayaan, berdagang, dan berbagi keuntungan dengan prinsip keadilan. Teknologi yang selama ini digunakan untuk mendukung kapitalisme dapat kita ubah menjadi alat pemberdayaan rakyat.
Bukalapak tutup sudah sesuai roadmap mereka, kok!
Jadi, ketika Bukalapak menutup layanan marketplace-nya, apakah itu mengejutkan? Tidak. Ini sudah ada di roadmap mereka. Startup unicorn seperti Bukalapak sejak awal bukan dibangun untuk bertahan, tetapi untuk dijual; exit strategy.
Kepada teman-teman yang dulu ikut beli saham Bukalapak sambil percaya bahwa ini akan menjadi “Amazon-nya Indonesia,” saya hanya ingin berkata: ya memang begitu rencananya.
Startup digital ini bukan cerita tentang ekonomi rakyat, tetapi tentang bagaimana kapitalisme memainkan panggungnya. Sekarang, giliran kita mengambil alih panggung dengan koperasi. Karena, seperti kata pepatah lama, kita bisa salah jalan, tapi jangan salah mimpi.
Agus M Maksum
Pembuat Platform Digital Ekonomi Pancasila
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.