Suaramuslim.net – Tidak ada yang perlu ditakuti dari perubahan, kecuali satu: ketika perubahan kehilangan arah. Dan itulah yang kami khawatirkan dari lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 yang melegalkan umrah mandiri.
Kami bukan takut bersaing. Kami juga bukan takut rugi, bukan pula takut jamaah akan “lari” ke jalur mandiri. Yang kami takutkan justru jauh lebih besar, yaitu: negara kebablasan dalam memahami makna ibadah.
Sebagian orang, termasuk beberapa pejabat dan influencer digital, tampak begitu gembira menyambut “umrah mandiri”. Narasinya indah. Ada yang bilang “pilihan rakyat”. Ada yang bernarasi “membuka kesempatan lebih luas”. Ada juga yang mengatakan “lebih murah dan bebas”. Padahal, di balik narasi yang manis itu, ada potensi kekacauan besar dalam tata kelola ibadah umat.
Ibadah umrah bukan liburan religi. Tapi perjalanan spiritual dengan tata cara yang sakral, berdasarkan manasik, syar’i, syarat hukum yang ketat, dan risiko lintas negara yang tidak kecil.
Menyamakan umrah dengan perjalanan wisata, lalu menyerahkannya sepenuhnya kepada siapa pun yang ingin berangkat, itu seperti melepas jamaah ke padang pasir tanpa peta, tanpa kompas, tanpa bimbingan.
Negara semestinya hadir bukan hanya sebagai “pemberi izin” (melegalkan), tetapi juga harus tetap sebagai pelindung ibadah. Apalagi dalam konteks Indonesia, di mana umat Islam datang dari latar belakang sosial, pendidikan, dan ekonomi yang beragam.
Tidak semua orang paham sistem nusuk, cara mendapatkan visa, mengatur penginapan, memahami manasik, atau mengurus dokumen internasional. Di sinilah peran PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah) dibutuhkan: bukan sekadar sebagai agen, tapi muhtasib modern, yaitu pelayan ibadah yang memadukan profesionalisme bisnis dan nilai syariah.
PPIU itu bekerja dalam kerangka hukum: wajib berbentuk PT, punya jaminan bank, bayar pajak, gaji karyawan sesuai UMR, memiliki pembimbing bersertifikat, dan patuh terhadap regulasi harga minimum (yang bahkan pemerintah mencegah mereka menjual paket murah sekalipun bisa).
Mereka, PPIU, adalah wajah Indonesia yang tertib di tanah suci. Mereka membawa nama baik bangsa. Bukan hanya dalam pakaian ihram, tapi juga dalam perilaku jamaah di Tanah Haram.
Lalu datanglah pasal-pasal baru dalam UU 14/2025. Yaitu Pasal 86, 87A, dan 122 membuka jalan umrah mandiri, tanpa kejelasan siapa yang mengawasi, siapa yang bertanggung jawab, dan bagaimana negara memastikan jamaah itu terlindungi.
Pasal itu seolah membuka gerbang tanpa penjaga, dengan asumsi “semua orang bisa mengurus diri sendiri”.
Apalagi pasal 122 yang mengancam denda dan pidana berat bagi siapa saja yang akan mengurus jamaah mandiri tanpa hak. Artinya jamaah umrah mandiri benar-benar mandiri tanpa bantuan. Dan pihak yang paling berhak membantu sebenarnya adalah PPIU, yang haknya menjadi berbeda dengan semangat mandiri karena PPIU diatur ketat oleh regulasi.
Artinya menurut ketentuan, PPIU pun belum otomatis boleh melayani sebelum ada aturan yang lebuh jelas.
Apalagi infuencer, atau siapapun yang mengajak-ajak umrah mandiri bareng dengan melakukan promo gencar-gencaran di medsos. Yang ini pun oleh pasal 122 diancam sanksi dan pidana. Mungkin ini yang belum banyak dipahami sehingga seolah upaya uji Judicial Review ke MK oleh PPIU dianggap sebagai “ketakutan bersaing” dan stigma negatif lainya.
Maka, Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi bukan bentuk ketakutan, tapi bentuk tanggung jawab. Ini bukan soal bisnis. Ini soal keadilan konstitusional, yang ingin memperjuangkan bahwa setiap warga negara yang beribadah ke luar negeri berhak atas perlindungan negara (Pasal 28D UUD 1945).
Bahwa negara tidak boleh abai hanya karena ingin tampak modern dan mengikuti kebijakan Arab Saudi. Bahwa inovasi kebijakan tidak boleh membuat rakyatnya jadi korban percobaan.
Kami di AMPHURI percaya: Regulasi boleh berubah, tapi nilai ibadah tak bisa ditawar. Teknologi boleh mempercepat proses, tapi tidak boleh memperdangkal makna. Dan kompetisi boleh dibuka, tapi tetap harus dalam koridor etika dan perlindungan.
Kami tidak sedang menolak perubahan. Kami sedang menjaga agar perubahan tidak berubah menjadi kesesatan kebijakan. Karena bagi kami, meluruskan arah kebijakan bukan sekadar advokasi hukum, tapi ibadah intelektual, jihad konstitusi untuk memastikan setiap jamaah berangkat dengan aman, pulang dengan iman.
Dan kalau untuk itu disebut “takut”, maka harus diluruskan bahwa kami memang “takut kalau negara kebablasan.”
Ulul Albab, M.S
Ketua Litbang DPP AMPHURI
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

