JAKARTA (Suaramuslim.net) – Buku berjudul “Saya Bacharuddin Jusuf Habibie (The Untold Story)” telah diluncurkan di The Habibie Center Jakarta, Sabtu (29/01/22).
Peluncuran buku ke-56 yang ditulis Andi Makmur Makka ini terselenggara berkat kerja sama The Habibie Center, Penerbit Republika, Dompet Dhuafa, dan MAPIPTEK (Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi).
Buku ini selain ditulis berdasarkan penuturan BJ Habibie sendiri, juga mengisahkan berbagai sisi lain dalam perjalanan hidupnya dari sejak kecil, masa muda, hingga menjadi ilmuwan di Jerman, dan sebagai eksekutif top di industri pesawat terbang di negara Eropa tersebut.
Habibie kemudian diminta Presiden Suharto kembali ke Indonesia untuk membangun industri strategis antara lain kedirgantaraan. Prestasinya ini dan peran pentingnya di pemerintahan kemudian mendorongnya untuk dipilih sebagai Presiden RI menggantikan Suharto.
Makmur Makka, tokoh pers yang cukup dekat dengan BJ Habibie sejak sebagai Menristek/Ketua BPPT hingga menjadi Presiden ketiga RI kemudian menuliskan penuturan Habibie dengan cermat dan dilengkapi dengan hasil serangkaian wawancara selama 10 hari yang dilakukannya pada 2005.
Serangkaian buku karyanya tentang Habibie, antara lain adalah “Mr. Crack dari Parepare”, “Soeharto & Habibie”, “B.J. Habibie – the Power of Ideas” serta “Habibie: Kecil Tetapi Otak Semua”.
Makmur Makka mengaku telah menuliskan buku barunya tersebut hingga sekitar 1.000 halaman. Namun tulisannya terpaksa dipotong penerbitnya menjadi hanya 498 halaman, untuk penyesuaian harga. Karena itu ia menjanjikan akan melanjutkan menulis buku tentang BJ Habibie.
Menurut dia, perjalanan, tindakan dan pemikiran Habibie sangat penting untuk dituangkan dalam tulisan sebagai sumber inspirasi bagi generasi berikutnya.
“BJ Habibie, merupakan ilmuwan dan negarawan yang telah meletakkan fondasi berbagai kebijakan yang sangat dibutuhkan untuk kemajuan bangsa Indonesia,” ujar Makmur Makka.
Dalam peluncuran buku ini, juga hadir para pembicara Dr. Ir. Ninok Leksono Dermawan (Rektor Universitas Multimedia Nusantara Jakarta), Dr. Ir.Unggul Priyanto (Kepala BPPT periode 2014-2019), Dr. Ir. Bambang Setiadi (Mantan Ketua Dewan Riset Nasional (DRN) dan Badan Standardisasi Nasional (BSN)) serta Umar Juoro, MA, M.AP.E. (Ketua Institut Demokrasi dan Ekonomi The Habibie Center).
Gemar iptek dan merekayasa
Menurut Ninok Leksono, peluncuran buku mengenai BJ Habibie kali ini bukan sekadar peluncuran buku, tetapi bisa memberi kesempatan kita mereaktualisasi gagasan Habibie yang diselaraskan dengan era kekinian.
Ia mendukung visi pembangunan yang diamanatkan Presiden pertama RI Soekarno, bahwa kemajuan bangsa dipengaruhi dua teknologi yaitu kedirgantaraan dan kemaritiman.
Habibie dahulu mampu menjadi pemimpin berbagai lembaga dengan fondasi iptek dan menggagas banyak kebijakan serta memacu generasi muda menguasai iptek melalui program beasiswa keluar negeri.
Menurut Ninok ‘gemar iptek dan merekayasa’ ini saat ini sudah langka. Selain itu rasa cinta karya bangsa sendiri di masyarakat juga tidak ada, karena mereka beranggapan kalau bisa beli mengapa harus bikin.
“Gagasan yang selalu didengungkan Habibie ini yang harus dibangkitkan lagi dan ditulis dalam buku-buku agar generasi berikutnya bisa kembali meminati bidang iptek,” kata Ninok.
Konsultan teknologi negara
Unggul Priyanto menyebut konsep Habibie yang juga menonjol adalah “memulai di akhir, berakhir di awal” bagi awam sulit dipahami, tetapi yang dimaksud Habibie adalah bahwa membangun tidak harus melakukan riset dari awal, tetapi bisa memulai dari tengah atau ujung, yang khususnya perlu diterapkan oleh negara berkembang seperti Indonesia.
Konsep ini, menurut Unggul, telah dipraktikkan oleh negara lain seperti Cina. Mereka mengembangkan kereta api cepat dengan hanya membeli lisensi dari Jepang dan Jerman, lalu meningkatkannya dan sekarang kereta cepat Cina bahkan sudah mengalahkan buatan negara tersebut.
Habibie dulu juga berpikiran demikian dalam mendirikan industri kedirgantaraan yaitu mulai membuat pesawat buatan Spanyol Cassa 212, kemudian berinovasi membuat CN-235 hingga mandiri merancang bangun N-250, jenis pesawat yang canggih di kelasnya.
“Jadi inovasi tidak perlu merupakan temuan baru, tidak harus diawali dengan temuan sendiri, tapi bisa merupakan pengembangan dan menjadi suatu produk baru yang lebih baik,” papar Unggul.
Habibie lalu membentuk lembaga BPPT yang memiliki tugas besar seperti sebagai konsultan teknologi negara, pendamping Bappenas, hingga sebagai clearing house untuk mem-back up berbagai industri strategis yang diinisiasinya yang perannya sangat besar.
Habibie, juga membangun berbagai laboratorium pengujian di Puspiptek Serpong untuk mem-back up IPTN dan industri strategis lainnya.
Pengkajian teknologi juga dilakukan BPPT antara lain dalam pembelian teknologi asing. Contohnya ketika TNI AU akan membeli pesawat tempur dengan dua pilihan F16 buatan AS atau Mirage2000 buatan Rusia/Uni Soviet. Ini harus dikaji secara teknologi dan harus disetujui oleh Habibie sebagai Kepala BPPT.
Namun sepeninggal Habibie peran BPPT semakin mengecil menjadi lembaga riset biasa. Beberapa perubahan kebijakan terjadi sejalan dengan pergantian pemerintahan dan Menritek/Kepala BPPT. Hingga puncaknya terjadi pemisahan Kementerian Ristek dan BPPT pada tahun 2015.
Standarisasi SNI
Menurut Bambang Setiadi, Habibie merupakan pemikir jangka panjang yang ketika membentuk Badan Standarisasi Nasional (BSN) dan menjadi pemimpin pertamanya sudah mengetahui dampak dan manfaatnya standardisasi produk bagi bangsa di masa depan, meski banyak yang mempertanyakan.
Ia mencontohkan, bagaimana jika tabung gas dan berbagai perangkat lainnya seperti selang dan regulator tidak berdasarkan standar yang telah diuji berdasar teknologi dan menjadi penyebab banyaknya ledakan tabung gas di mana-mana pada beberapa dekade lalu.
Karena itu ia menegaskan standarisasi SNI seperti yang diinisiasi Habibie telah menyelamatkan bangsa.
Ia juga mencontohkan SNI helm yang selain menyelamatkan jutaan pengemudi motor dari kecelakaan (pada 2018, dari 196.457 kejadian, 73,49 persen merupakan kecelakaan motor), juga memaksa helm impor mengikuti standar SNI dan ini memicu industri helm dalam negeri bisa berkembang dan bahkan menjadi industri besar eksportir helm.
SNI kini, ujarnya, selain telah diterima secara global juga telah menekan 20 persen impor.
Jadi, kata Bambang, apa yang Habibie gagas di masa lalu, dampaknya sangat besar pada masa berikutnya, termasuk dampak dari berbagai lembaga lain yang juga dibentuk Habibie.