Suaramuslim.net – Kesombongan dan keterlambatan melakukan lockdown merupakan dua hal yang membuat virus corona menggurita sehingga mampu membunuh manusia. Cina merupakan sebuah negara pertama yang melakukan kesombongan. Kesombongan itu didasarkan pada realitas ekonomi-politik Cina yang menguasai dunia.
Cina saat ini menjadi kekuatan raksasa, dan hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi negara adidaya seperti Amerika Serikat. Allah membalas kesombongan itu dengan mengirim tentara-Nya. Kesombongan itu seakan sirna dengan datangnya virus corona, dan saat ini membuat Cina powerless alias tak berdaya.
Virus corona begitu cepat membunuh rakyatnya secara massif. Di sisi lain, keterlambatan melakukan lockdown atau menyombongkan diri dengan meremehkan virus itu juga faktor yang membuat virus itu bertambah ganas.
Iran dan Italia menjadi contoh bagaimana rakyatnya yang menganggap remeh dan menyombongkan diri bahwa mereka tidak akan terkena virus itu.
Cina dan Efektivitas Lockdown
Begitu dianggap sebagai penyebab dan sumber virus, Cina langsung menerepkan kebijakan lockdown. Cina menutup akses keluar dan masuknya warga dari negaranya. Kebijakan ini sangat efektif, sehingga angka kematian yang terkena virus ini terus menurun.
Memang ekonomi negara Cina mengalami penurunan hingga 50 persen, namun angka kematian dan warga yang terkena virus corona terus menurun.
Kebijakan melockdown memang menyakitkan dan membuat lumpuh negeri ini, namun korban virus corona terus berangsur membaik dan segera pulih.
Kebijakan lockdown memang berat. Ketika akses keluar dan masuk dilarang maka transaksi keuangan mandeg sehingga posisi keuangan negara seperti lumpuh. Namun dengan kebijakan itu, jumlah warga masyarakat yang tertular virus corona terus mengalami penurunan.
Menyelamatkan nyawa warganya jauh lebih penting daripada ingin mengejar keuntungan ekonomi, dengan risiko rakyatnya sengsara dan mati sia-sia.
Hal yang berbeda justru dialami negara Iran dan Italia yang terlambat dalam melakukan lockdown. Terlebih lagi, ketika korban sudah mulai merangkak naik, rakyatnya merespons kebijakan lockdown itu dengan menyombongkan diri.
Rakyatnya tidak patuh terhadap kebijakan lockdown. Mereka tetap melakukan kegiatan di luar dan berkerumun. Bahkan tidak sedikit yang masih melakukan perjalanan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Negara Italia bisa dijadikan sebagai pelajaran, di mana sejak diumumkan tanggal 20 Gebruari, warga Italia positif Covid-19 terus bertambah. Ketika angka kematian akibat covid-19 tembus 230 dari 6.000 yang dinyatakan positif, pada tanggal 8 Maret Italia baru mengumumkan lockdown.
Hampir selang dua minggu, tepatnya 18 hari setelah kebijakan itu, ekonominya sangat berat. Akibat meremehkan kebijakan pemerintah itu. negara berpenduduk 16 juta ini semakin parah situasinya. Dalam sehari pernah ada 368 orang yang mati karena covid-19. Setiap hari korban meninggal terus bertambah angkanya.
Pertambahan jumlah warga yang postif covid-19 semakin banyak dan tingkat kematiannya juga terus naik.
Bahkan karena berbagai keterbatasan rumah sakit, para dokter dipaksa untuk memilih siapa yang harus dirawat dan diprioritaskan untuk hidup, dan siapa yang dibiarkan akan mati. Bahkan dokter terpaksa memprioritaskan pasien yang muda, dan merelakan usia tua untuk mati.
Hal ini karena demikian banyaknya korban yang sulit ditangani secara bersamaan, sehingga membiarkan yang lebih tua harus dikorbankan.
Sejarah merekam bahwa kesalahan masyarakat Italia, sehingga mengalami situasi separah itu, karena Italia telat melakukan lockdown. Bahkan warga masyarakatnya tak disiplin. Kebijakan lockdown sudah dikeluarkan namun sebagian warga di Italia Utara, tempat covid-19 mewabah, lari dan meninggalkan wilayah itu.
Di antara mereka yang lari ada yang positif Covid-19, sehingga menular ke wilayah lain. Dengan adanya pergerakan lari ke luar, maka penyebaran Covid-19 semakin meluas, dan korbannya semakin banyak.
Indonesia dan Keterlambatan Kebijakan Lockdown
Apa yang terjadi di Cina dan Italia seharusnya menjadi cermin bagi Indonesia dalam menangani Covid-19. Pemerintah harus segera menerapkan kebijakan lockdown dengan berbagai langkah komprehensif dan konkret. Bahkan diperlukan panduan yang terukur dan konsisten dari pemerintah pusat terkait apa yang harus diwaspadai dan dilakukan oleh rakyat. Bukan menunggu korban massif sebagaimana yang terjadi di Italia dan Iran.
Wilayah Indonesia yang demikian luas menjadi faktor sulitnya penanganan menyebarnya virus ini.
Sudah tak selayaknya kebijakan negara direspons oleh masing-masing daerah (kepala daerah) secara berbeda. Kebijakan yang diambil daerah berbeda-beda. Ada kepala daerah yang menerapkan kebijakan lockdown dengan membatasi warganya agar tak keluar rumah. Sekolah diliburkan, dan para pegawai diminta bekerja di rumah, sehingga persebaran virus ini tidak semakin massif.
Negara harus secepatnya memfasilitasi perlengkapan alat kesehatan yang dibutuhkan dan ruang isolasi di masing-masing rumah sakit. Sudah harus segera ditunjuk rumah sakit yang standar dalam menangani korban virus ini.
Realitasnya, jumlah rumah sakit yang ditunjuk pemerintah pusat masih sangat terbatas. Bila ini tetap dan tak bergerak, maka untuk menangani melonjaknya pasien yang datang ke rumah sakit akan kesulitan. Bila tak mampu menangani, dengan jumlah pasien yang banyak, maka korban akan mudah berjatuhan.
Negara juga harus menerapkan kedisiplinan bagi masyarakat Indonesia agar patuh terhadap kebijakan lockdown. Bisa jadi melibatkan tentara atau polisi dan masyarakat yang terlatih untuk menegakkan disiplin ini. Bila perlu menghentikan semua akses masuk sehingga menutup warga asing masuk ke Indonesia.
Memang menganggap remeh virus ini merupakan bentuk kesombongan baru, sebagaimana yang sudah dialami negara Italia. Corona merupakan tentara Allah, sekaligus musibah yang dikirim karena kesombongan dan kelalaian manusia. Dengan virus ini menunjukkan kebesaran Allah dan kecilnya manusia. Merasa rendah diri di hadapan kebesaran Allah merupakan salah satu cara menghadapi fitnah corona ini, bukan merasa sombong dan meremehkan.
Sudah selayaknya manusia tunduk dan patuh serta menyadari bahwa hidupnya selama ini banyak melanggar ketentuan-ketentuan Allah.
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net