Suaramuslim.net – Setiap bencana dengan korban besar dan luas memerlukan respons terkoordinasi dalam skala luas. Bencana global memerlukan respons terkoordinasi dalam skala global.
Respons terkoordinasi menyaratkan kepemimpinan yang tegas, lugas dan jelas. Saat ini kita menghadapi dua masalah: kepemimpinan yang tidak efektif dan free-ridingism. Keduanya hadir dalam satu paket yang bisa membahayakan nasib banyak orang.
Free-ridingism ini dapat ditelusuri dari teori tindakan kolektif yang diajukan oleh Mancur Olson (1965). Teori ini menantang kebijakan lama yang mengatakan bahwa setiap orang akan melakukan kebaikan untuk dirinya sendiri untuk mencapai kebaikan kolektif.
Misalnya, setiap orang akan dengan sukarela tidak membuang sampah sembarangan agar lingkungan bersama secara kolektif menjadi bersih. Kebersihan adalah kebajikan bersama (public goods). Tapi ternyata tidak semua orang bersedia menahan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan.
Makin besar kelompoknya, godaan untuk menjadi penumpang gelap ( free rider , naik sepur tanpa bayar) itu makin besar: tetap membuang sampah sembarangan karena toh aksi saya sendiri tidak memiliki dampak besar terhadap kebersihan kolektif.
Pandemi Covid-19 yang melanda bumi saat ini bersifat sangat menular melalui interaksi fisik manusia terutama melalui droplet (cairan yang keluar dari mulut karena batuk, bersin, meludah, dan berbicara yang menempel langsung ke bagian tubuh manusia lain, atau benda-benda lain di sekitarnya yang disentuh manusia lain lalu tanpa sengaja menyentuh wajahnya dengan tangannya sendiri).
Komplikasi muncul karena inkubasinya 14 hari. Yang tertular masih tampak sehat sampai masa inkubasinya selesai dan berpotensi menjadi penular tanpa menyadarinya. Yang sudah sakit tapi kurang informasi juga berpotensi menjadi penular karena masih berkeliaran, tidak mengisolasi diri di rumah.
Covid-19 ini mematikan bagi kelompok masyarakat tua dan memiliki penyakit generatif bawaan seperti hipertensi, dan diabetes.
Empat sampai enam persen pasien Covid-19 meninggal dalam waktu relatif cepat: pneumonia akut, kegagalan fungsi organ-organ vital lalu kematian dalam waktu kurang dari sepekan.
Inilah yang terjadi di Amerika Serikat saat ini, terutama di Negara Bagian New York. Perang melawan pandemi ini rumusnya satu: karantina wilayah, yaitu menghentikan penularan secepat mungkin dalam area seluas mungkin secara serentak dan berani menanggung semua konsekuensi sosial, ekonomi dan politiknya.
Masyarakat dunia diimbau dan atau dipaksa untuk menyediakan lingkungan yang bebas Covid-19 sebagai kebajikan kolektif. Inilah yang pernah dilakukan Muhammad Rasulullah, “bagi yang di luar kawasan wabah, jangan memasukinya; bagi yang terlanjur berada di kawasan wabah jangan keluar dan bersiap untuk mati syahid.”
Untuk menciptakan situasi yang aman dari penularan dan memusnahkan Covid-19 ini yang dibutuhkan secara kolektif, setiap orang secara sukarela hendaknya mengisolasi diri di rumah masing-masing agar tidak menulari dan tertular. Kerumunan kecil di luar rumah harus sangat dibatasi dengan memakai masker dan melakukan physical distancing sejauh sekitar dua meter dari orang lain. Kerumunan besar dilarang sama sekali.
Secepat mungkin jumlah yang tertular harus ditekan serendah mungkin agar bisa ditangani dalam keterbatasan sarana dan prasarana kesehatan yang bisa disediakan oleh masyarakat dan pemerintah.
Di negeri yang menyatakan ber-Ketuhanan yang Maha Esa ini, aksi free riding justru muncul di tempat-tempat ibadah. Di Indonesia, terjadi di masjid dan gereja.
Ada sekelompok kecil manusia saleh yang ingin tetap membentuk kerumunan karena ingin beribadah pada Tuhannya secara berjamaah. Kelompok kecil ini berkeberatan untuk mengorbankan diri dengan tinggal dan menjalankan ibadah di rumah, sambil menyatakan tidak takut menghadapi Covid-19.
Di tengah kemilitanan tuntutannya untuk tetap berjamaah, dengan menolak beribadah di rumah saja, kelompok ini sebenarnya sedang melakukan free-riding dengan tidak melakukan tindakan kolektif yang dibutuhkan untuk menghentikan penularan.
Ini sekaligus sikap yang tidak menghargai pengorbanan lebih banyak orang untuk mengambil risiko menjadi munafik dengan mencukupkan diri beribadah di rumah agar wabah ini segera bisa dihentikan dan Covid-19 dimusnahkan dari planet ini.
Pemerintah saat ini juga terindikasi melakukan free-riding dengan mengambil keuntungan ekonomi politik di tengah wabah Covid-19.
Sikap ini kemudian ditiru oleh sekelompok manusia yang memaksa berkerumun di tempat-tempat ibadah, berani menulari orang lain, namun mungkin belum berani mati syahid di rumahnya sendiri.
Gunung Anyar, 16 April 2020
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net