SURABAYA (Suaramuslim.net) – Pemerintah, via Rapat Kabinet (02/11), memutuskan bahwa pada 2019 tidak ada kenaikan tarif cukai rokok. Pada konteks regulasi, pembatalan ini adalah bentuk anti regulasi, karena UU Cukai mengamanatkan kenaikan cukai sampai 57 persen. Pada konteks perlindungan konsumen dan kesehatan publik, hal ini adalah hal yang ironis dan paradoks.
Penggunaan tembakau khususnya rokok berakibat merusak, dilihat dari aspek kesehatan, ekonomi dan sosial, dari perspektif perorangan atau pun masyarakat. Hal ini merupakan kesimpulan dari penelitian dan analisa yang telah banyak sekali dilakukan. Atas dasar inilah maka upaya pengamanan perlu dilakukan oleh negara. Selain pendidikan kepada masyarakat, maka salah satu bentuk pengamanan yang sangat penting adalah adanya regulasi pengendalian rokok yang dapat dijadikan dasar oleh berbagai pihak.
Rokok dan Anggaran Kesehatan
Penggiat anti rokok sekaligus anggota Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Fuad Baradja dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Radio Network 93.8 fm melalui sambungan telepon Rabu (14/11) mengatakan, ada 4 instrumen pengendalian rokok yang paling utama, peningkatan cukai yang tidak terjangkau bagi anak-anak dan masyarakat miskin, penghapusan iklan berbentuk promosi dan sponsorship, penerapan kawasan tanpa rokok serta pencantuman bahaya rokok bergambar di bungkus rokok.
“Ini yang ada di eksibisi Framework Convention on Tobacco Control dan sudah diratifikasi oleh 180 negara lebih, Indonesia satu-satunya negara di Asia yang tidak melakukannya,” paparnya.
Fuad menyebut industri rokok memang memberikan pemasukan untuk negara. Namun ternyata, industri rokok juga menggerus uang negara. Biaya kesehatan yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk biaya pengobatan akibat rokok juga tidak kecil.
“Pada periode Januari–Agustus 2018, pengeluaran kesehatan sebesar 12,8 triliun dan 4 besar tertinggi adalah penyakit jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal. Semua penyakit ini berkaitan erat dengan rokok. Kadang-kadang saya berpikir apa tidak merasa penting mengendalikan rokok hanya untuk mendapatkan cukai,” ungkapnya.
Padahal lanjut Fuad, rokok berkontribusi pada besarnya nilai klaim pasien pengobatan penyakit katastropik pada periode Januari–Agustus 2018, pengeluaran kesehatan sebesar 12,8 triliun dan 3 besar tertinggi adalah penyakit jantung, kanker, dan stroke. Dengan peningkatan cukai rokok, Fuad berharap tingkat konsumsi rokok akan menurun sehingga berdampak pada penurunan prevalensi perokok dan menurunnya kejadian penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung dan kanker.
“Dengan kesadaran masyarakat dunia akan kesehatan, industri rokok suatu saat akan gulung tikar. Bahkan bangsa Eropa menyebut, 2050 rokok sudah punah. Mereka serius mengendalikan rokok namun tidak menutup pabrik rokok. Masa iya sesuatu yang berbahaya dilestarikan sih?” Katanya.
Pemerintah Abaikan Dampak Rokok
Pembatalan rencana kenaikan cukai rokok sangat membahayakan generasi muda. Fuad menegaskan, remaja adalah target pembeli rokok di masa depan. Jadi, jelas target mereka adalah remaja. Ini yang bahaya ketika kesehatan dikorbankan jika harga rokok semakin terjangkau.
“Jika remaja tidak merokok maka industri rokok akan bangkrut. Apa kita rela menjadikan generasi remaja target industri itu. Ya ini karena lemahnya aturan di Indonesia, mengapa rokok sangat mudah dijangkau dengan harga murah?” Tanya Fuad.
Fuad menganalisa, sebenarnya ada hasil ganda jika pemerintah menaikkan cukai rokok, maka akan mendapat pemasukan lebih banyak. Sebaliknya, jika tidak dinaikkan maka akan ada peluang perokok baru, jika semakin banyak pecandu maka semakin meningkat pula seseorang yang sakit karena rokok.
“Banyak sekali perokok ingin berhenti tapi susah, di klinik terapi berhenti merokok yang saya kelola, 90 persen pasien saya usia di atas 40 tahun menyatakan, mulai merokok sejak SMP. Merek dijerat industri rokok sejak kecil. Karena jika sudah kecanduan akan susah keluar, dan pundi rokok pun akan semakin mengalir,” tegasnya.
“Banyak pandangan yang menilai, bahkan mengkhawatirkan saat industi rokok diatur dan harganya dimahalkan efeknya mematikan para karyawan di pabrik rokok dan petani tembakau,” tambahnya.
Harus dipahami, lanjut Fuad, hingga saat ini 60 persen tembakau yang digunakan pabrik rokok di Indonesia masih impor. Hasil produksi tembakau di Indonesia sekitar 180 ribu sampai 190 ribu ton per tahun. Sedangkan yang dibutuhkan mencapai 330 ribu ton per tahun, maka pasti tidak mencukupi.
“jadi jangan dibenturkan dengan alasan petani tembakau untuk melawan pengendalian tembakau, karena hampir 400 miliar pertahun rokok yang diproduksi sedangkan lahan petani tembakau setiap tahun mengalami penyusutan maka wajar apabila mereka para petani kurang sejahtera, justru menguntungkan apabila lahan itu ditanami komoditas lainnya,” tegasnya.
Sementara untuk karyawan pabrik rokok, menurut Fuad, saat ini jenis rokok yang dilinting adalah rokok tanpa filter. Penikmat rokok tanpa filter semakin menyusut karena lebih didominasi rokok dengan filter. Adapun di pabrik-pabrik rokok saat ini justru mereka menggunakan mesin untuk memproduksi rokok filter.
Di era disrupsi, manusia semakin tergerus oleh mesin, dan itu sudah terjadi di industri rokok. Tinggi atau rendah cukai rokok, para buruh pabrik rokok ini akan digantikan mesin,” pungkas Fuad.
Mengabaikan Visi Kesehatan Publik
Sementara itu, Sekretaris Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Agus Suyanto dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Radio Network 93.8 fm melalui sambungan telepon (14/11) menyatakan, kebijakan pembatalan kenaikan cukai rokok ini membuktikan pemerintah tidak mempunyai visi terhadap kesehatan publik.
Pembatalan kenaikan cukai, lanjut Agus, mengakibatkan produksi rokok meningkat dan makin terjangkau oleh anak-anak, remaja, dan rumah tangga miskin. Itu artinya pemerintah menjerumuskan mereka dalam ketergantungan konsumsi rokok. Dan menjerumuskan mereka dalam jurang kemiskinan yang lebih dalam.
“Esensi dari cukai adalah bentuk pengendalian, setiap barang yang dikenai cukai maka peredarannya harus dikendalikan, antara lain produk minuman berakohol dan rokok. Alkohol sudah jelas, tidak bisa beriklan, cukainya tinggi, dan tidak bisa diperjualbelikan secara bebas. Berbeda dengan cukai rokok yang sampai saat ini mendapat perlakuan yang khusus, maka ini akan berdampak signifikan bagi masyarakat khususnya kesehatan,” paparnya.
Agus menilai pembatalan ini juga akan mengakibatkan kinerja BPJS Kesehatan akan semakin berdarah dari sisi finansial. Rokok menjadi salah satu pemicu utama berbagai penyakit katastropik. Jenis penyakit inilah yang mengakibatkan kinerja finansial BPJS Kesehatan berdarah-darah.
“Data menunjukkan dengan sangat kuat bahwa dominannya konsumsi rokok di tengah masyarakat, lebih dari 35 persen dari total populasi,” ungkapnya.
Menurut Agus, pembatalan ini pada akhirnya hanya dijadikan kepentingan politik jangka pendek (pilpres). Pemerintah telah mengorbankan kepentingan perlindungan konsumen dan kesehatan publik demi kepentingan jangka pendek.
“Ini menjadi indikator negatif, karena di satu sisi cukai tidak naik tetapi akan mengorbankan kepentingan publik yang lebih luas terutama kesehatan. Karena dampaknya bukan hanya kesehatan, jika rokok murah maka semua kalangan dapat membeli khususnya anak-anak sekolah,” pungkasnya.
Karena itu, lanjut Agus, hal yang penting adalah upaya menekan jumlah perokok dengan kenaikan cukai, terutama pada kalangan menengah ke bawah, agar masyarakat miskin tidak mudah sakit yang juga berdampak pada tagihan BPJS.
Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir