Suaramuslim.net – Kita tidak perlu lagi secara panjang lebar membahas istilah debat dari sudut bahasa. Cukuplah dimengerti bahwa debat itu adalah suatu aktivitas tukar pikiran, menyampaikan dan mempertahankan pendapat, memberi argumen, bahkan bisa menyerang pendapat lawan, agar dapat mematahkan argumen lawan dan memenangkannya.
Sekarang kita fokus pada makna debat dari sudut budaya bangsa kita. Apakah ada di bangsa kita ini yang namanya debat itu?
Debat (debate) adalah barang baru di bangsa kita. Debat adalah produk budaya demokrasi negara modern. Debat dilakukan oleh dua individu atau kelompok yang setara. Kesetaraan yang terlatih dalam proses budaya demokrasi yang telah berlangsung lama sejak pascarevolusi politik di Prancis akhir abad 18.
Indonesia baru merdeka secara politik di pertengahan abad 20. Bangsa ini secara budaya mewarisi nilai feodalisme yang kental. Budaya feodalisme ini masih menjadi barikade bagi mentalitas budaya kita untuk menyerap dan menerjemahkan nilai-nilai demokrasi yang berdimensi modern itu.
Dalam bangsa kita ini sejak lama hanya dikenal istilah: rapat, musyawarah, rundingan, rembugan. Istilah diskusi (discussion) saja adalah barang baru. Jadi debat dan diskusi itu semuanya istilah yang lahir dari budaya baru atau modern.
Dalam rapat, musyawarah, rundingan atau rembugan, pasti ada yang dituakan. Umumnya usia lebih tua, pengalaman lebih banyak, berwibawa dan ditaati. Peserta rapat, musyawarah, rundingan atau rembugan, bersikap sopan dan santun. Sering yang dipertua atau peserta menggunakan petatah petitih, atau pantun untuk menghaluskan kata.
Jarang dan hampir tidak pernah ada yang kita sebut dengan debat seperti sekarang ini. Bagi orang Melayu debat itu tidak lebih adalah ‘tengkar’. Terlebih bagi orang Jawa, debat itu sangat dihindari karena sama dengan ‘padhu’ atau mengajak berkelahi.
Demikianlah kita bisa lebih memahami gejala debat capres dan cawapres yang berlangsung hari-hari ini. Dalam kondisi budaya yang seperempat matang berdemokrasi pada bangsa ini, debat dengan gagap dilakukan karena mental berdemokrasi kita masih belum siap.
Sebagai misal, di satu pihak Anies berusaha mempraktikkan budaya debat demokrasi modern, tetapi Prabowo bisa saja menanggapi dengan mentalitas budaya yang berbeda. Prabowo dengan usianya yang jauh lebih senior, merasa pantas menggenggam nilai ‘yang dipertua’. Pertanyaan Anies dianggap sebagai serangan yang tidak patut dari orang yang usianya lebih muda dan seolah-olah mengajak ‘padhu’ atau ‘bertengkar’.
Dari perspektif ini analisis ini mungkin berguna.
Mari kita lihat lagi debat Cawapres di tanggal 22 Desember nanti. Situasi yang mungkin berbeda, tetapi dengan gejala mentalitas budaya yang sama akankah terulang lagi?
Gejala yang sangat menarik di Indonesia. Debat gaya demokrasi modern dalam ‘pseudo democracy’ Indonesia.
Mari tafakur.