Penulis: Yusuf Maulana
Suaramuslim.net – Ketika seorang Islamis visioner negeri ini mericau di Twitter asa tampilnya Kroasia sebagai pemenang Piala Dunia, hasilnya semalam berkebalikan dengan “ijtihad” beliau. Konteks kebaruan pemenang (yang berasosiasi semantik dengan kepemimpinan nasional di negeri ini yang acap digaungkannya), juga syarahan geopolitik negara bangsa hari ini, tampaknya perlu ditukikkan ke soal yang lebih pelik hari ini.
Cabaran (tantangan) sekularisme terhadap pemahaman Islam politik niscaya untuk digali dalam praktik yang berlangsung di Prancis. Terlebih ketika Presiden Emmanuel Macron pekan lalu membuat satu putusan “kondusif” yang ingin membuat satu bingkai dan aturan rigid berkaitan dengan Islam dan sekularisme Prancis.
Sebagai penganut sekularisme garis keras (Laïcité), pendekatan Macron ini menarik untuk disimak, terutama para pemikir dan visioner islamisme masa milenial. Dialektika dan saling isi antar-peradaban bersiap dihadirkan di Prancis. Ini merupakan pelajaran dan hikmah yang patut diikuti.
Tampaknya, ini pelajaran kemenangan mengapa Sang Empu Langit menunjukkan takdir kemenangan pada Prancis yaitu agar Muslim tak euforia pada segala yang berbau baru dari tampilan luar. Sudah ada hal baru yang lebih signifikan ke depan, dengan pergulatan dan dinamika yang harus dimasuki—suka ataupun tidak.
Dengan demikian, “pembangkangan” kita pada satu status quo semestinya juga perlu satu minda mendalam. Bukan semata asal-beda; bukan sekadar asal bukan dia atau mereka. Menaklukkan lawan dalam ranah politik, misalnya, bisa juga dipantik dari sikap serupa. Untuk itu, kiranya inspirasi tampilnya Prancis kali kedua sebagai pemenangan Piala Dunia harus disiangi dari sisi filosofis—negeri yang memang banyak melahirkan para pemikir.
Kesiapan kita untuk masuk dalam kubangan sistem yang tidak murni dengan idealisme merupakan satu perjuangan tersendiri. Letih berpayah harus direngkuh Bukan menempuh jalur aman yang hanya memuluskan sanjungan orang pada kekuatan kita. Dan kesebelasan Prancis dalam Piala Dunia, sekali lagi, ajarkan hal ini.
Fokus pada kemenangan alih-alih peragaan indah tapi sarat perpecahan, ditekankan sang pelatih Didier Deschamps. Ia manfaatkan pengalaman dan pengamatannya agar satu kesatuan di atas ego para pemainnya yang memang bertalenta.
Dalam pergerakan Islam hari ini, talenta-talenta di umat begitu berlimpah. Berjibun, malam. Hanya saja, semua potensi itu saling menafikan yang lain; semua ingin bersaing tampil sebagai yang tersorot di media.
Jadilah, persatuan hanya angan dan keindahan di Kalam Ilahi. Sisanya, ditanggalkan dalam sesalan ketika semua kekalahan mendera. Dari Prancis hari ini, kesiapan berpayah dalam perjuangan memang semua berawal dari diri pribadi. Bukan dari mengarahkan pada pihak lain.
Begitu pula mestinya para aktivis dakwah di sini mengawali perjuangan di tengah sekularisme yang masih menjerat. Harus jeli dan cerdas menyikapi; bukan mencari jalur aman dan menghindari tebing tajam peradaban “jahat”.
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net